Senin, 02 November 2020

Tugu Sebani : Dua Patok Batu Pintu Masuk Kotaraja?


Ada dua buah patok batu yang ditancapkan di pinggir jalan dengan posisi berseberangan. Patok batu itu, bukan patok biasa, melainkan benda cagar budaya yang diperkirakan dari era Kerajaan Majapahit. Dua patok batu itu memang sudah masuk data benda cagar budaya di Kabupaten Jombang. Secara berkala, petugas masih mengecek dan mendata kondisinya di lokasi. Tapi misterinya tetap belum terkuak.

Dua patok batu itu ditanam paten di tanah, saat pembangunan jalan desa. Lokasinya ada di Dusun Tugu, Desa Sebani, Kecamatan Sumobito tepat di perempatan Masjid Assyuro. Dari toponim Dusun Tugu, tampaknya patok ini seakan menjadi cikal bakal penamaan dusun dimana lokasinya berada. Patok yang disebut penduduk setempat sebagai tugu ini sedikit menggambarkan bahwa dulunya memang punya fungsi sebagai penanda sesuatu.


Tugu Sebani, kini berada persis di batas desa antara Desa Sebani dan Desa Badas yang berada dalam satu kecamatan Sumobito. Menariknya Desa Sebani juga bersebelahan dengan Desa Mentoro dan Desa Madiopuro. Keempat desa ini dikenal sebagai lokasi yang memiliki banyak jejak peninggalan kerajaan kuno yang sayangnya sudah tinggal sisanya saja. Meski demikian, puzzle informasi masih beredar di masyarakat sehingga menyisakan misteri yang belum terkuak.

Tugu Jalan Desa Sebani

Satu patok berukuran agak tinggi ditancapkan di semacam prasasti penanda pembangunan jalan desa, sedangkan pasangannya agak rendah. Bisa jadi memang karena beda ukuran, atau memang beda kedalaman saat penancapan.

Dipasang permanen dalam prasasti pembangunan jalan paving

Patok pertama, dipercaya masih insitu alias berada di lokasi aslinya. Sedangkan patok kedua merupakan hasil dari perpindahan tak jauh dari tugu pertama. Lokasi patok kedua sebenarnya dulunya ada di utara patok pertama. Namun karena pembangunan jalan, akhirnya dipindah dan dipasang permanen di seberang timur patok pertama.

Patok Kedua : Lokasi di seberang timur patok pertama

Kedua patok ini terbuat dari batu andesit, dengan bentuk balok persegi panjang yang ditancapkan tegak. Meski sudutnya lengkung, namun masih terlihat lekuk baloknya yang memanjang. Patok pertama yang agak tinggi, terlihat agak kasar permukaannya. Meski tak bisa dikatakan halus, masih tampak ada satu cekungan besar di sisi atasnya. Cekungan seperti ini biasa disebut lekuk dakon yang mengingatkan kita semua pada permainan tradisional dakonan.

Patok pertama : punya satu cekungan besar

Patok kedua yang ukurannya lebih kecil, tampak halus permukaannya. ‘Kebalokannya’ tampak lebih jelas dengan bagian atas penuh cekungan. Bila dihitung, ada sepuluh cekungan di sisi yang menghadap ke atas, dengan deskripsi empat cekungan besar dan enam cekungan kecil. Sayangnya, cekungan dakon ini letaknya semburat. Tak beraturan seperti watudakon yang umumnya punya deretan cekungan rapi.

Patok kedua : Punya sepuluh cekungan

Di masa lalu, cekungan-cekungan seperti dakon ini kerap digunakan untuk menghaluskan bahan makanan atau sesuatu yang mungkin memerlukan sarana untuk diuleg di dalam batu. Bila berjumlah lebih dari sepuluh lubang, maka dipergunakan untuk menghitung masa tanam. Sedangkan bila berjumlah lebih dari 50 maka dipergunakan untuk kepentingan penanggalan. Sayangnya, cekungan di patok kedua hanya ada sepuluh sedangkan bentuknya pun tak beraturan. Mungkin ada penjelasan tentang ini?

Berseberangan

Cekungan-cekungan ini bahkan kerap dijadikan mainan anak-anak setempat. Saat Jombang City Guide berkunjung, cekungan dakon ini bahkan dijadikan sarana iseng oknum yang menuangnya dengan cairan dari minuman probiotik. Sisa botolnya bahkan masih ada di sampingnya, sedangkan oknumnya sudah lanjut bermain entah kemana. Atau mungkin sudah pulang karena waktunya tidur siang.

Dituangi yakult, cobak...

Dalam hati Jombang City Guide hanya bisa mbatin, bisa jadi Si Oknum ini ternyata tak cocok rasanya. Mungkin awalnya dikira seperti thaitea atau apa gitu kali ya. Jadi sisa minuman probiotiknya dituang sekenanya di media yang kelihatannya dia tak tahu kalau benda itu adalah cagar budaya yang erat kaitannya dengan sejarah desanya, bahkan asal-usul kotanya! Grrrrrrrr..................................................

Tugu tapal batas

Penduduk setempat mempercayai bahwa patok ini merupakan tugu tapal batas untuk memasuki Kerajaan Majapahit. Kepercayaan ini didapat dari cerita turun-temurun yang beredar di kalangan masyarakat setempat.

Bisa jadi kedua patok ini merupakan lingga semu, atau bahkan srandu penanda lokasi. Memang, lokasi kedua patok ini bersebelahan desa dengan Desa Madiopuro yang dipercaya sebagai kotaraja Majapahit. Bahkan bisa jadi dulunya desa lokasi tugu patok batu ini adalah bagian dari Sang Kutaraja.

Cekungan dakon di sisi atas tugu juga mungkin menjadi penanda bahwa dulunya patok ini digunakan sebagai alat untuk menghaluskan sesuatu. Misteri sungai yang hilang dalam kisah Patok Menturo agaknya bisa menjadi petunjuk bahwa mungkin saja kedua tugu ini dulunya berlokasi di area yang tak jauh dari sungai. Jalur masuk ke ibukota Majapahit bisa jadi juga punya akses dari perairan meski tetap punya benteng khusus yang membuatnya tetap aman dari jangkauan musuh.

Lokasi kedua patok yang berada di Dusun Tugu, Desa Sebani yang bersebelahan dengan Desa Badas mungkin menjadi sebuah petunjuk bahwa lokasi ini mungkin satu area dengan titik keempat dari misteri yoni naga raja badas yang hilang atau diboyong paksa ke museum nasional. Titik keempat ini masih belum diketahui keberadaannya, namun diperkirakan memang berada di Desa Badas dan sekitarnya sesuai pemetaan.

Posisi Yoni Naga Raja Keempat diperkirakan di Badas dan sekitarnya

Nurhadi Rangkuti dalam penelitiannya melakukan survey berdasarkan sebaran penemuan benda purbakala peninggalan Majapahit. Keberadaan empat Yoni Kepala Naga Raja melambangkan empat penjuru mata angin yang kemudian menguatkan dugaan bahwa pembuatannya yang difungsikan sebagai tapal batas kota. Meski tidak tercantum dalam Kitab Negarakertagama namun diyakini Yoni Gambar diyakini sebagai tapal batas barat daya Kota Raja.

Keyakinan mengenai fungsi yoni-yoni cantik berhias kepala naga raja ini karena adanya jarak antar yoni yang hampir presisi. Jarak antara Yoni Klintorejo dengan Situs Yoni Lebak Jabung di bagian selatannya adalah 11 km. Sedangkan Jarak dari Situs Yoni Lebak Jabung ke Yoni Gambar  di bagian baratnya adalah 9 km. Masing-masing jarak antar situs memiliki kemiringan 5 derajat. Berdasarkan jarak itu pula, letak tapak batas sisi barat laut diperkirakan terdapat di Kecamatan Sumobito tepatnya di Dusun Tugu dan Desa Badas.

Titik terakhir yang menghubungkan Yoni Klintorejo dan Yoni Gambar di Badas-Sumobito ini sayangnya titik ini masih menjadi misteri. Bila ditarik garis lurus yang menghubungkan keempat yoni cantik ini, akan didapat bentuk segi empat yang disinyalir sebagai batas Kota Raja Majapahit yang disebut Madyopuro yang secara toponim posisi desanya bersebelahan dengan kedua patok batu ini. Kota Raja Majapahit pun bisa diperkirakan dari jarak-jarak ini dan diestimasi berukuran sebesar 11 x 9 km, tanpa dibatasi tembok keliling.

Meski tidak tercantum di kitab manapun, perdebatan mengenai yoni naga raja sebagai tapal batas kota raja Majapahit ini masih belum usai. Bantahan mengenai yoni naga raja sebagai tapal batas kota Majapahit muncul ketika ditemukannya yoni yang juga berhiaskan kepala naga raja di Kediri dan di reruntuhan Candi Tamping Mojo.

Dalam pemikiran praktis, bisa jadi yoni naga raja yang ada di daerah lain itu merupakan tapal batas kerajaan lain, ‘bukan? Yoni naga raja di Kediri mungkin merupakan tapal batas Kerajaan Kadiri, sedangkan pecahan yoni naga raja di reruntuhan Candi Tamping Mojo merupakan tapal batas Kerajaan Medang. Bila memang keduanya masuk wilayah Majapahit, bisa jadi penggunaannya hanya beda masa karena periode tiap kerajaan pun berbeda. Tak menutup kemungkinan wilayah terkait kemudian masuk menjadi kekuasaan Sang Wilwatikta.

Sayangnya, tak banyak penduduk setempat yang peduli dengan peninggalan sejarah di kawasannya. Beberapa penemuan yang dibuang, dihancurkan maupun dijual tampaknya merupakan bukti bahwa penguakan misteri ini menjadi semakin rumit.

Patok lainnya di Desa Badas yang dikatakan berada di dekat jalur rel kereta api pun kini tak diketahui lagi keberadaannya. Seorang penduduk mungkin menggalinya lalu mengambinya untuk kepentingannya. Mungkin oknum tersebut sedang tidak memiliki uang, kemudian menjualnya dan kebetulan pula ada yang membelinya.

Dari penuturan perangkat Desa Badas, seorang penduduk bahkan pernah menemukan lumpang berhias ukiran ular. Mengenai deskripsi tepatnya mungkin sudah tak bisa diingat lagi karena sudah dijual di pasar gelap oleh oknum yang tak bertanggung jawab.

Tugu Sebani

Kedua patok ini jelas menjadi saksi sejarah dari kerajaan kuno yang bertahta di kawasan ini. Dari patok ini sebenarnya bisa melengkapi puzzle informasi yang tercecer tentang lokasi yoni naga raja keempat maupun lokasi tepatnya ibukota kerajaan Majapahit yang bisa merujuk pada lokasi dimana istana Sang Wilwatikta bertahta.

Adalah tugas kita semua untuk menjaga peninggalan bersejarah ini untuk mengetahui asal-usul desa yang menjadi bagian dari sejarah kota kita tercinta. Kesadaran dari seluruh lapisan masyarakat untuk menjaga benda cagar budaya ini menjadi hal yang sangat penting untuk kelestarian situs purbakala. Tentunya, harus pula dengan bantuan pemerintah untuk meresmikannya sebagai benda yang diindungi negara bila ada penemuan baru, baik yang utuh maupun yang sudah tinggal sisanya.

Jadi, ada info apalagi terkait kedua tugu ini???

Tugu Sebani
Perempatan Masjid Assuro,
Jalan KH. Arief Syahid,
Dusun Sebani, Desa Badas,
Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang


Btw, Apriliya Oktavianti dari situsbudaya.id monggo kopas-kopas sepuas-puasnya ya. Nanti silakan pura-pura lupa cantumkan sumber seperti biasanya, 'kan ya??? Haseeek, hasek hasek haseeeekkk!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Jombang Lainnya

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...