Senin, 18 Agustus 2008

Candi Rimbi : Representasi Sang Dewi



Candi Arimbi merupakan bangunan cagar budaya dari Jombang yang kondisinya paling baik dan tidak terkubur di dalam tanah. Kebanyakan, candi-candi di Jombang ditemukan dalam kondisi terkubur atau bahkan belum ditemukan kembali. Wajarlah, lokasinya yang ada di dataran tinggi cukup mengamankan tubuhnya dari terjangan bencana yang biasanya mengubur benda purbakala di dalam tanah.
Terletak di Jalan Rimbi, Dusun Pulosari, Desa Pulosari, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang. Lokasinya di jalur menuju Wonosalam dan berada di dataran tinggi lereng Gunung Gede Anjasmoro menjadikan Candi Rimbi sering dikira bagian dari Wonosalam. Jadi pelancong yang mengunjungi Wonosalam dari jalur utama biasanya pasti menjadikan Candi Rimbi sebagai salah satu tambahan jujugan kala melintas di kawasan ini.
Luas area Candi Rimbi tercatat sebesar 896,56 m2, dengan panjang candi seukuran 13,24 m dan lebar 9,1 m. Bangunan candi menjulang setinggi 12 meter. Bila Candi Arimbi masih utuh, diperkirakan tingginya jelas melampaui ukurannya yang sekarang. Kompleks Candi Arimbi bisa jadi bukan sebuah candi tunggal, tetapi terdapat bangunan lain di sekitarnya. Sayangnya, kini hanya bangunan utama yang tersisa itupun badannya cuma tersisa sebagian.
Candi Rimbi, demikian cara warga setempat menyebutnya. Dikatakan, nama itu berasal dari toponim Desa Ngrimbi dimana Candi Rimbi berada. Memang, sekarang lokasi Candi Rimbi ada di Desa Pulosari, tetangga Desa Ngrimbi. Bisa jadi pada saat ditemukan dulu, Candi Rimbi masih berada dalam lingkup Desa Ngrimbi. Sedangkan batas wilayah zaman Belanda dan masa sekarang sudah berbedam sehingga kini masuk Desa Pulosari. Namun demikian, nama yang tersemat pada Candi Rimbi masih dipertahankan.
Sebutan Rimbi di Desa Ngrimbi berasal dari sosok wanita legendaris dari cerita rakyat setempat yaitu Dewi Arimbi. Dewi Arimbi adalah raksasa cantik yang merupakan istri Bima salah satu dari pandawa lima, ibunda Gatotkaca. Nama Rimbi juga dikaitkan dengan dua makam misterius yang bersebelahan, dekat sungai tak jauh dari Candi Arimbi.
Dari cerita warga setempat, makam itu diduga merupakan pesarean Prabu Arimba dan adiknya Dewi Arimbi yang menjadi legenda kawasan ini. Meski belum ada bukti ilmiah apapun tentang sosok tersebut, agaknya detail ini bisa jadi tambahan informasi mengenai asal muasal lokasi dan cerita budaya setempat.
Candi sendiri, berasal dari kata candikagra, yang berarti candika, sebutan untuk Dewi Durga atau Dewi Maut / Dewi Kematian. Dari sebutan candi ini, tampak jelas bahwa bangunan candi punya keterkaitan dengan kematian. Candi biasanya didirikan untuk tempat pendermaan, tempat pemujaan khususnya para raja yang berasal dari kalangan terkemuka. Candi cantik ini, diperkirakan dari era Kerajaan Majapahit sebagai bangunan pemujaan sekaligus sebagai pendermaan Dyah Gitarja atau Ratu Tribhuana Tunggadewi.
Pembangunan Candi Arimbi jelas tidak dilakukan secara sembarangan. Panduan  pembuatan dan pemilihan lokasi candi berikut berbagai pertimbangan matang. Perhitungan yang presisi pastinya menjadi alasan dipilihnya lokasi dimana candi berdiri saat ini. Syarat utama haruslah berupa lahan yang subur dan memiliki cadangan air yang melimpah. Bukan lahan gersang yang minim mata air di sekitarnya.
Dikatakan, candi pastinya dibangun berdasarkan pemilihan lokasi terbaik, salah satunya berdasarkan jenis tanah, warnanya, baunya, kelandaian medan, kandungan tanah, termasuk kandungan air di dalamnya melalui berbagai pengujian mengenai hal-hal terkait. Tak heran memang, dataran sekitar Candi Rimbi memang dikenal subur dan tak jauh dari lokasi juga terdapat sendang yang kadar ph airnya cukup tinggi. Sangat mungkin sendang tersebut digunakan untuk sarana air suci prosesi peribadatan yang dilakukan di Candi Rimbi kala masih difungsikan.
Kebanyakan candi berada di lereng gunung hutan atau puncak bukit, karena mengikuti konsep meru, dimana arwah sosok yang dicandikan bisa bergabung dengan para dewa di puncak gunung. Selain itu, pemilihan lokasi juga bisa jadi dari permintaan sosok yang dicandikan. Mirip dengan wasiat pemakaman di masa kini. Namun, belum ada bukti ilmiah apapun mengenai ini, karena tak ada catatan apapun mengenai Candi Arimbi.
Candi Rimbi pertama kali ‘ditemukan’ dan dipublikasikan oleh Alfred Russel Wallace yang sedang berkunjung ke Wonosalam untuk mengambil spesimen burung merak dan hewan-hewan endemik dari Gunung Anjasmoro. Dalam catatan kunjungannya ke sebuah tempat yang disebutkan sebagai ‘Wonosalem’, Ilmuwan Inggris itu tak sengaja menemukan bangunan kuno klasik yang diselimuti semak belukar di permukaannya berikut beberapa arca yang ditemukan bersama dengan reruntuhannya.
Mungkin candi Rimbi dulu masih termasuk bagian dari Wonosalam. Kala pencatatan itu, Jombang bahkan masih menjadi bagian dari Mojokerto. Jadi lokasi Wonosalem yang disebutkan sangat mungkin merupakan Desa Pulosari, Bareng di masa kini.
Dalam catatan perjalanannya, Om Wallace bahkan salah sebut Gunung Anjasmoro dengan mencatatnya sebagai Gunung Arjuno. Bisa jadi Sang Ilmuwan ini memang salah sebut, atau salah informasi karena nama kedua gunung yang mirip karena sama-sama diawali huruf a, dan diakhiri huruf o, dengan ada getaran r di tengahnya.
Candi rimbi bagian kanannya sudah runtuh sepenuhnya, menyisakan sisi kiri bangunan yang ada di sebelah utara. Puing-puing candi ditemukan berserakan di sekitar bangunan utama. Tak terawat dan terbengkalai, ditumbuhi tanaman-tanaman liar di sekujur tubuhnya. Potret kondisi Candi Arimbi di masa kolonial bisa dilihat dari foto-foto Kern Institute yang kini juga bisa diakses secara online.
Diperkirakan bangunan Candi Rimbi dulunya berbentuk ramping menjulang khas candi bercorak hindu Jawa Timuran. Tubuh bangunan candi di Jawa Timur umumnya berpostur ramping dengan atap bertingkat yang makin ke atas makin mengecil.
Bangunan candi yang dibangun secara vertikal sebenarnya menggambarkan konsep Meru. Apabila gunung Meru memiliki konsep kaki, badan, dan puncak, maka candi juga mengacu pada hal yang sama. Kaki candi merupakan penggambaran kaki gunung, badan candi seperti bentuk lereng gunung, sedangkan puncaknya adalah titik tertinggi yang menjadi puncak sebuah gunung.
Bagian badannya berdiri tegak hanya separuh bagiannya. Bangunan candi seperti teriris secara vertikal sehingga pengunjung bisa berdiri bidang datar di bagian selatan candi. Bila dibuat potret refleksi cermin tubuh bagian utara untuk bagian selatan berupa Candi Rimbi dalam Mimpi, candi ini akan terlihat menjulang tinggi ke atas seperti konsep meru. Dari gambar mimpi restorasi itu, terlihat Candi Arimbi memang berbentuk ramping khas candi-candi hindu pada umumnya.
Kebanyakan candi terdiri atas tiga bagian yang disebut Triloka, yaitu kaki candi, badan candi dan atap candi. Konsep ini merupakan penggambaran dari alam semesta. Atap candi sendiri menggambarkan alam atas atau Shuahloka/Swarloka/Arupadatu yang merupakan tempat para dewa bersemayam. Bagian atap ini biasanya berhiaskan puncak candi yang disebut ratna. Sedangkan atap candi rimbi sudah runtuh seluruhnya, sehingga sudah tidak bisa diperkirakan lagi bentuknya.
Berhubung bagian atap candi sudah tak bisa diketahui lagi bentuknya, jadi tak bisa diperkirakan lagi ratnanya. Uniknya, Candi Rimbi ini pernah dikatakan sebagai candi yang paling membingungkan bagian atapnya oleh para ahli sejarah. Selain karena sudah hilang, juga beredar berbagai spekulasi tentangnya.
Diantaranya adalah bentuk atap candi yang terbuat dari kayu mirip dengan tampilan Menara Kudus. Dugaan ini muncul kala ditemukannya umpak-umpak yang diperkirakan untuk atap pilar candi di sekitar lokasi. Jika tiangnya dari kayu, pastinya kini bagian pilarnya jelas sudah lapuk. Namun adanya batu mirip tiang yang ditemukan di lokasi tampaknya membuat spekulasi berkembang makin rumit.
Meski masih bisa dikatakan berdiri tegak sebelah, hanya bagian kakinya yang tampak masih utuh. Kaki candi merupakan penggambaran alam bawah atau Bhurloka / Kamadatu yaitu alam dunia manusia yang dikuasai oleh hal-hal keduniawian. Kaki candi terdiri atas tiga teras yang dihubungkan oleh sebuah tangga yang menjadi pintu masuk menuju bilik.
Kaki candi Rimbi terlihat punya dua susunan, terbagi dalam dua susunan yang dibatasi pelipit yang menonjol keluar. Bagian kaki yang terletak di atas pelipit agak menjorok ke dalam, sehingga ukurannya jadi lebih kecil dibandingkan bagian kaki yang ada di bawah. Di bagian yang menjorok inilah, terukir relief-relief candi yang kondisinya masih bisa dibilang baik. Sedangkan antara kaki dan bagian tubuh candi yang tersisa juga dibatasi oleh pelipit dengan hiasan kucur candi yang menonjol keluar di setiap sudutnya.
Tubuh candi menggambarkan alam antara, yaitu Bhuwarloka / Rupadatu yaitu alam dunia manusia yang sudah tak terikat lagi dengan hal-hal duniawi. Karena tubuh candi lebih kecil dibandingkan kakinya, candi rimbi jadi terlihat memiliki selasar yang mengelilinginya.
Sebuah selasar terdapat di masing-masing teras untuk membaca relief. Namun karena separuh bagiannya sudah runtuh termasuk bagian atap dan tubuh candi bagian selatan, sehingga tangga yang sejatinya digunakan untuk menuju selasar juga runtuh. Jadi, hanya selasar bagian utara saja yang bisa terlihat dari bawah.
Pada kaki bagian atas maupun dinding luar tubuh candi tidak tampak adanya pahatan. Sedangkan di sekeliling kaki bagian bawah yang agak menjorok ke dalam tepat di bawah pelipit itu terdapat panel-panel yang terpahat di dinding candi. Panel-panel itu menggambarkan ajaran tantrayana dan ragam hias bergambar binatang dan tumbuhan.
Relief dipahat dengan teknik datar (wayang style) dan bisa dikatakan masih utuh. Obyek digambarkan tampak samping dengan dan biasanya mengambil tokoh atau kisah cerita wayang. Jajaran relief tampak mengisahkan kehidupan sehari-hari masyarakat kala itu. 
Pengerjaannya sangat indah dan halus, sehingga masih bisa diamati dengan jelas hingga kini. Memang, relief candi di Jawa Timur biasanya menggunakan teknik pahatan yang dangkal atau tipis, namun bergaya simbolis. Untuk membacanya digunakan teknik prasawiya yaitu berlawanan arah jarum jam dimulai dari sisi barat sebelah tangga kemudian menuju ke selatan kemudian sisi timur lalu dilanjutkan ke sisi utara hingga kembali berakhir ke sisi barat.
Bisa jadi saat candi masih difungsikan sebagai pemujaan, dilakukan prosesi sirkumabulasi. Terdapat tepi pradhaksinapatha yaitu kaki bangunan candi yang berupa teras atau lorong untuk tempat mengelilingi candi sebelum memasuki bilik utama yang disebut garbhagrha sebagai tempat arca perwujudan berada. Candi Rimbi memiliki profil pelipit dan sisi genta. Profil ini merupakan ciri khas candi-candi Jawa Timuran akhir dari era Singasari dan Majapahit.
Dari sini bisa diamati bahwa desain bagian relief candi rimbi seakan sengaja dipahat di bagian kaki bawah untuk menyesuaikan tinggi badan peziarah yang hadir dalam ritual. Padahal,bagian kaki candi yang berbahan bata masih terpendam sekitar 40cm. Selain itu, relief ditempatkan sekeliling candi supaya dalam prosesi sirkumabulasi, peribadatan dilakukan dengan mengelilingi candi sembari membaca relief dan doa-doa tertentu.
Mirip dengan prosesi thawaf yang dilakukan dalam ibadah haji dan umroh yang mengelilingi obyek yang disakralkan sambil melafalkan doa yang dipanjatkan pada Yang Maha Kuasa. Ritual sirkumabulasi sangat mungkin dilakukan kala itu dengan mengelilingi candi sebagai obyek yang disakralkan sambil memanjatkan doa.
Kedua jenis dinding polos dan berpahat dalam tampilan candi rimbi ini disimpulkan oleh Asmara Garudhara sebagai relif bercorak toleransi yang menggambarkan perpaduan antara candi hindu yang punya unsur budha juga di dalamnya. Sesuai dengan corak Majapahit yang memang bercorak hindu-budha yang memang menjunjung toleransi antar umat beragama. Namun bila diamati lebih lanjut, sejatinya Candi RImbi masih berstatus nirtuntas sehingga bagian relief atas belum sempat dikerjakan.
Reruntuhan candi masih tersisa dan ditata berjajar di sekeliling kompleks candi. Di antara reruntuhan itu, ada tiga buah bongkahan besar yang sangat menarik. Satu bongkahan besar tampaknya adalah kala, yang merupakan hiasan pintu masuk candi.
Sedangkan dua bongkahan lainnya bergambar motif tumpal sulur bunga yang kemudian menginspirasi pembuatan batik khas Jombang. Batu bermotif tumpal ada dua dan diletakkan di samping kala. Mungkin dulunya adalah bagian dari pipi tangga, dimana corak sulur tanaman ini merupakan lekuk khas Majapahitan ini mengindikasikan Candi Arimbi dibuat di era Wilwatikta.
Uniknya, motif ini juga banyak ditemukan di candi-candi dan Majapahit lainnya, termasuk yang terdekat yaitu di cerat Yoni Gambar. Meski tak sama persis, namun motif tumpal keduanya cukup identik. Mentuknya sekilas menyerupai seperti rahim atau tuba falopi sebagai lambang kesuburan. Motif batik itu pun dinamai Batik Tribuana sesuai perlambang ratu majapahit yang didermakan di Candi Arimbi.
Relief Candi Arimbi bisa dibilang istimewa karena salah satunya memuat gambar matahari yang menjadi cikal bakal lambang surya majapahit. Relief yang mengelilingi candi ini kebanyakan menggambarkan keseharian kehidupan manusia, berikut interaksinya dengan hewan, tumbuhan dan alam. Di bagian akhir relief sisi selatan, tampak beberapa kali muncul wujud cupu manik, yang dibaca oleh Asmara Garudhara.
Belum diketahui kisah pasti dari relief Candi Arimbi secara lengkap. Namun diperkirakan, relief candi rimbi berupa potongan-potongan peristiwa berupa kegiatan religi dari ajaran tantri di masa itu, dan kehidupan keseharian manusia dalam lingkungannya. Bila dilihat secara global, relief ini kebanyakan menggambarkan kemakmuran masyarakat kala itu.
Setiap relief cerita dipisahkan oleh satu panel gambar hewan yang sampai sekarang belum bisa diidentifikasi. Panel ini berbentuk persegi panjang, mirip dengan konsep medallion namun berbingkai kotak. Panel di Candi Arimbi serupa dengan yang ada di Candi Sanggrahan, hanya yang membedakannya adalah gambar hewan yang tergurat dalam reliefnya.
Bila Candi Sanggrahan bergambar singa, panel dalam Candi Arimbi bergambar makhluk mitologi yang sampai sekarang masih diperdebatkan spesies pastinya. Beberapa ada yang menyatakan anjing, kambing, namun mirip juga dengan kelinci atau hewan lain. Kisah penduduk setempat mengaitkan bentuk ini dengan legenda Gua Ngesong sebagai Asu Kekek, atau Anjing Kekek yang dulunya kerap mengganggu penduduk setempat.
Bila diruntut dari legenda Asu Kekek dari penduduk setempat, Asmara Garudhara punya kecurigaan tersendiri. Pecinta sejarah dan ikonografi itu menduga adanya sosok yang mungkin menjadi pengganggu penduduk setempat yang mungkin disimbolkan dalam gambar hewan mitologi tersebut.
Dalam dunia ikonografi dan pembacaan makna, anjing dapat diartikan sebagai sosok wanita tua. Ini disebabkan, dalam ilmu simbol anjing merupakan hewan yang dianalogikan sebagai wanita tua atau nenek-nenek. Sangat mungkin nenek tersebut ada kaitannya dengan sosok terkait candi arimbi, atau malah tentang Dewi Arimbi maupun sosok lain yang kemudian menjadi legenda setempat.
Dalam pengamatan Jombang City Guide, sepertinya hewan ini adalah salah satu hewan mitologi yang disebut qilin, dan Asmara Garudhara juga cukup setuju dengan dugaan tersebut. Hewan ini banyak ditemukan dalam literatur negeri tirai bambu yang menggambarkannya sebagai semangat sekaligus keagungan. Menariknya, dalam panel Candi Arimbi, sosok qilin digambarkan dalam bermacam sisi, kadang menghadap kanan sedangkan lainnya menghadap ke kiri.
Uniknya, relief qilin ini digambarkan dalam berbagai pose yang berbeda. Seperti seekor hewan yang bergerak riang layaknya pembuatan film kartun yang perlu banyak gambar untuk satu gerakan. Namun anggapan ini masih belum pasti, dimana bisa jadi sosok hewan yang disebut qilin oleh Jombang City Guide ini bisa jadi hanya merupakan ragam hias atau mungkin penggambaran simbol lain yang masih belum terkuak.
Meski atapnya sudah runtuh dan sulit diperkirakan lagi bentuknya, namun relung bagian utara  Candi Arimbi masih tersisa. Relung sendiri merupakan pintu semu pada ketiga sisi candi, tempat diletakkannya arca-arca penjelmaan dewa tertinggi. Tampak relung yang tersisa tidak memiliki hiasan maupun relief apapun di sampingnya.
Biasanya untuk candi pemakaman ada tiga relung candi yaitu sisi utara dan selatan, serta satu lagi sisi timur. Sisi barat yang biasanya tanpa relung namun berhiaskan kala untuk pintu masuk menuju bilik utama candi. ‘Arca’ Kala yang menghiasi atap pintu bilik utama candi memang masih tersisa satu di lokasi, sedangkan lainnya entah berada dimana.
Diperkirakan, salah satunya sudah menjadi penghias dam di Selumbung, Mojowarno kala era kolonial Belanda. Dilihat dari bentuk dan ukurannya yang sama persis, dugaan wajah Kala yang tertancap di bangunan dam itu menguat. Bila memang ada Kala lainnya, sayangnya masih belum diketahui keberadaannya.
Bisa juga kala berada di empat sisi di atas tiap pintu dan relung, tergantung citarasa seni dan desain seniman pembuat candinya. Namun dilihat dari relung sebelah utara yang tersisa : Polos tanpa berhiaskan relief atau kala, sangat mungkin hiasannya kalanya hanya ada dua di sisi barat dan timur, atau bahkan hanya satu di sisi barat. Sedangkan kala di dam selumbung bisa jadi merupakan kala dari candi lainnya.
Hiasan kala memiliki fungsi sebagai penjaga candi, untuk menakut-nakuti dan mengusir roh jahat yang akan mengganggu siapapun yang beribadah dalam candi. Kala adalah sosok asura yang ditundukkan oleh Dewa Syiwa, kemudian ditugaskan untuk menjaga kuil-kuil dengan tinggal di ambang pintu. Jadi siapapun yang masuk ke dalam kuil pastinya harus melalui kala, dengan memberi penghormatan kepadanya.
Filosofinya digunakan untuk menolak bala’ atau segala macam hambatan termasuk energi negatif yang bisa mengancam kelangsungan dan kelancaran upacara yang diselenggarakan di dalam candi.
Karena itulah, sosok kala digambarkan sebagai monster dengan mimik bengis dan menyeringai, yang mendukung tampilannya sebagai candi pemakaman. Kala jawa timur kerap disebut pula dengan banaspati yang digambarkan dengan sosok mata melotot, mengingatkan kita pada tari barong dan reog ponorogo. Memang, kebanyakan kala jawa timuran memiliki mimik bengis, berbeda dengan tampilan kala jawa tegah yang kebanyakan digambarkan dalam bentuk tenang dan sabar.



Arca Parwati menjadi patung perwujudan utama dari candi Arimbi. Dari konsep umum candi dengan arca perwujudan Parwati, umumnya relung-relung diisi dengan arca keluarga Sang Dewi. Sosok dan hiasan yang berkaitan dengan ajaran hindu seringkali dihadirkan bersamaan dengan tokoh dan tampilan yang berkaitan dengan ajaran Budha, khususnya aliran Tantrayana. Candi-candi di Jawa Timur pun umumnya dihiasi dengan relief atau patung berupa arca yang berkaitan dengan Trimurti dewa dalam ajaran Hindu atau yang berkaitan dengan Syiwa seperti Durga, Parwati, Ganesha dan Agastya.
Sosok dewa yang diarcakan di sini dapat diketahui dari potret lawas Candi Arimbi yang berasal dari dokumentasi lawas Kern Institute. Dalam foto-foto lawas tersebut, ditemukan setidaknya tiga arca dari kompleks Candi Arimbi yaitu Arca Parwati, Arca Bhatara Guru, dan Arca Durga.
Biasanya relung bagian selatan diperkirakan diisi arca Agastya, relung bagian utara diisi arca Durga dan relung bagian timur diisi Arca Ganesha. Namun dilihat dari potret lawas saat penemuan candi, tak terdapat potret Ganesha dalam arca yang ditemukan di pelataran Candi Arimbi. Hingga kini, tak diketahui eksistensi arca Ganeshanya.
Arca Parwati diperkirakan berasal dari bilik utama candi yang ada di bagian tengahnya yang kini sudah hancur dan bisa dilihat dari luar. Jika Candi Arimbi masih utuh, maka diperkirakan stella arca Parwati bersandar di dinding bagian timur candi dalam bilik utama. Patung Parwati menghadap ke barat sesuai arah hadap Candi Arimbi yang punya arah serupa sebagai candi pemakaman.
Meski tak ditemukan angka tahun dari candi rimbi, namun keberadaan Arca Dewi Parwati yang dipercaya sebagai perwujudan Tribuana Tunggadewi yang didermakan di sini seperti menunjukkan identitas siapa yang dicandikan di sini. Dyah Gitarja, sebutan lain dari ratu yang memerintah majapahit sekitar tahun 1329-1351 adalah sosok yang diduga mulai dibangunkan candi pada 1384M (Bennet, Kempers), 12 tahun setelah mangkatnya.
Entah bagaimana dan kapan dibawa, yang jelas Arca dewi Parwati itu kini disimpan di museum nasional dan kerap dianggap sebagai pasangan dari Arca Harihara yang ditemukan di Candi Simping. Jombang City Guide sendiri belum pernah melihat langsung, meski masih memendam mimpi untuk berkunjung ke sana. Monggo kalau mau ada sponsor yang mau berangkatkan kami, xixixixixixi... aamiin..
Dari potret yang bisa diakses online mengenai patung dewi cantik itu dilengkapi sandaran arca dengan penggambaran seorang dewi dengan empat tangan yang salah satunya memegang teratai. Dewi yang memegang teratai ini menggambarkan perwujudan rani, sosok pemimpin atau raja perempuan yang didermakan di sebuah candi.
Dewi Parwati sendiri, merupakan istri dari Dewa Syiwa yang digambarkan sebagai bentuk kesempurnaan seorang wanita. Dewi Parwati dikenal sebagai simbol wanita yang benar-benar mempunyai syarat terbaik sebagai seorang wanita, istri dan ibu. Dewi Parwati juga dianggap sebagai dewi lambang kesuburan. Bersama dengan suaminya Syiwa, keduanya sering digambarkan sebagai lingga dan yoni. Lingga adalah perlambang Syiwa atau laki-laki, sedangkan yoni adalah lambang Parwati atau perempuan. Sayangnya, tak ada catatan apapun mengenai ditemukannya yoni di sekitar pelataran Candi Arimbi.
Dulunya ada sebuah lapik yang diperkirakan antara dari arca Bhatara Guru atau Arca Parwati yang menyisakan kaki patung di pelataran candi. Sepertinya, arca diambil secara paksa sehingga lapiknya pecah menjadi beberapa bagian dan ukiran kakinya yang patah tertinggal di kompleks candi. Namun, keberadaan arcanya kini tak lagi diketahui akibat diambil oleh oknum yang tak bertanggung jawab. Lapik yang menyisakan bentuk kaki itu pun sudah diamankan oleh petugas dan disimpan di Museum Trowulan.
Arca Dewi Durga kini dikabarkan sudah disimpan di museum mpu tantular. Ukurannya cukup besar sehingga petugas kelurahan di desa yang mengingat bentuknya cukup ragu bila arca Durga itu muat ditempatkan di salah satu relung candi. Meski demikian, potret aktualnya akan coba Jombang City Guide usung di artikel khusus tentang Durga Mahesasuramandini ala Arimbi.
Pondasi candi terbuat dari batu bata kuno yang dimensinya lebih besar dibanding batu bata masa kini. Sedangkan seluruh tubuh candi rimbi terbuat dari batu andesit. Batu andesit sendiri, kerap digunakan sebagai bahan pembangun candi di era jawa tengah dan beberapa candi di jawa timur dari era Kahuripan hingga Singosari yang banyak ditemukan di Lereng Pawitra.
Batu andesit sendiri berwarna hitam, mirip dengan batu sungai. Meski mirip, namun batu andesit dikatakan berbeda jenisnya dengan batu sungai. Batu andesit didapat dari dalam tanah, sehingga cara mendapatkannya pun harus digali dahulu. Batu andesit juga punya sifat yang lebih kuat dibanding batu sungai yang mudah hancur.
Hal ini cukup menjadi tanda tanya, mengingat candi peninggalan majapahit umumnya pondasinya terbuat dari batu andesit sedangkan tubuh candinya terbuat dari batu bata merah. Sedangkan candi rimbi malah sebaliknya : Pondasi dari bata kuno sedangkan tubuh candi dari batu andesit.
Penggunaan batu andesit dalam candi rimbi seakan menggambarkan betapa istimewanya kedudukan sosok yang didermakan di sini yang diperkirakan adalah Ratu Tribuana Tunggadewi. Sepertinya, Hayam Wuruk sebagai putranya seakan ingin memberikan penghormatan yang sangat tinggi dengan penggunaan bahan candi yang lebih berkualitas.
Candi Arimbi dibangun menghadap ke barat, dengan tangga untuk naik yang masih utuh. Sejatinya, tangga itu harusnya digunakan untuk menuju pintu bilik utama candi tempat jantung bangunan berada. Karena sudah runtuh, bilik utama pun sehingga tak bisa lagi diperkirakan bentuknya. Namun, detail candi menghadap ke barat sepertinya bisa dijadikan petunjuk bahwa candi ini memang merupakan candi ‘pemakaman’ dari sosok yang didharmakan.
Itulah mengapa, candi rimbi juga disebut sebagai Candi Cungkup Pulo. Candi sendiri memiliki banyak jenis, salah satunya yaitu candi pemakaman. Candi makam diidentifikasi serupa cungkup makam, sehingga muncullah istilah candi cungkup. Sedangkan pulo dari sebutan Cungkup Pulo bisa jadi diambil dari nama lokasi dimana Candi Arimbi berada yaitu Desa Pulosari.
Candi umumnya dibangun menghadap ke barat atau ke timur. Bila dibangun menghadap ke timur, berarti candi ini merupakan candi pemujaan karena menghadap matahari terbit sebagai perlambang kelahiran. Sedangkan bila menghadap ke barat berarti candi pendermaan menghadap matahari terbenam yang melambangkan akhir hayat berupa kematian. Candi Rimbi dibangun menghadap ke barat, berarti candi ini merupakan candi pendermaan sosok yang dimuliakan di sini.
Adanya pemujaan terhadap raja atau pemimpin sebagai wakil dewa di muka bumi sepertinya bisa menjadi dugaan dwifungsi candi yaitu candi pendermaan maupun candi pemujaan. Bisa jadi, candi ini dibangun untuk pendermaan, namun kemudian juga difungsikan sebagai pemujaan terhadap sosok yang diastanakan.
Arca Parwati dalam bilik candi rimbi, sama pula kedudukannya dengan menhir dalam tradisi megalitik, sehingga Arca Parwati merupakan patung perwujudan dari raja yang telah meninggal dan titisan dewa untuk dipuja. Demikian menjadi jelas bahwa Candi Rimbi juga berfungsi sebagai kuil pemujaan terhadap raja ketiga Majapahit yaitu Tribhuwana Tunggadewi.
Meski banyak artikel menyatakan sosok Ratu Tribuana Tunggadewi yang didermakan di sini, hendaknya jangan lupakan ada tempat lain yang juga berkaitan dengan sosok Bhre Kahuripan. Sebuah Yoni Naga Raja yang sangat terkenal juga ada di petilasan Dyah Gitarja, dimana tahun 2019 telah dilakukan ekskavasi, Penggalian tersebut menjadi titik balik yang sangat mengejutkan karena ditemukan kompleks candi di bawah yoni naga raja bertuliskan angka tahun di Klinterejo.
Hasil ekskavasi itu agaknya menguak fakta baru dimana sosok Sang Ratu ternyata didermakan di dua tempat berbeda. Namun, biasanya bila ada satu sosok didermakan di dua tempat berbeda biasanya digambarkan sebagai sosok dalam dua sisi. Satu tempat menggambarkannya sebagai hindu, dan satunya lagi sebagai budha.
Yoni Klinterejo sudah jelas merupakan perwujudan sisi hindunya. Sedangkan berdasarkan arca Parwati yang ditemukan di Candi Arimbi, sosok tersebut juga digambarkan dalam nuansa hindu yang kental. Dari Representasi Sang Dewi, sangat mungkin sosok yang didermakan di Candi Arimbi berbeda dengan yang ada di Yoni Klinterejo.
Meski Stutterheim menyatakan bahwa sosok arca perwujudan di Candi Arimbi bukan putri Kertanegara yang bertahta sebagai permaisuri Majapahit, beberapa pakar dan pembaca ikonografi termasuk puslit punya interpretasi sebaliknya. Arca Parwati yang ada di museum nasional sekarang, adalah pasangan dari Arca Harihara yang ditemukan di Candi Simping. Keduanya digambarkan mirip dengan tipikal arca yang sama. Arca yang sepertinya dibuat berpasangan itu agaknya menjadi penggambaran bahwa yang didermakan merupakan pasangan dari Prabu Harsawijaya, yaitu permaisurinya : Tribuaneswari.
Jangan lupakan, bahwa ada sosok lain sebelumnya yang menyandang nama ‘Tribuana’ selain Dyah Gitarja. Dia adalah Puspawati yang bergelar Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuaneswari. Putri sulung Kertanegara itu sudah menyandang nama Tribuana-iswari bahkan saat Dyah Gitarja masih belum bertahta. Bila Klinterejo hampir dipastikan sebagai ‘milik’ Tribuana Tunggadewi, maka dapat dicurigai bahwa Candi Arimbi adalah pendermaan Tribhuaneswari.
Tentunya, hipotesis ini masih belum bisa dibuktikan secara ilmiah. Kejanggalan-kejanggalan Yoni Klinterejo masih belum selesai diungkap hingga masih bisa merujuk sosok Bhre Kahuripan yang lainnya. Masih ditunggu penemuan selanjutnya yang mendukung adanya dugaan sementara mengenai eksistensi Tribuaneswari dalam pembuatan Candi Arimbi.
Misteri mengenai Candi Arimbi masih belum berhenti untuk ditelusuri. Di sungai yang mengalir di belakang Candi Arimbi, banyak ditemukan pula batu bata kuno yang berceceran di sepanjang alirannya. Diperkirakan, ada pemukiman kuno di yang membentang dari sekitar Candi Arimbi hingga Alas Boto yang berada di lahan ladang dan hutan di desa tetangga. Terdapat juga sendang yang berada di kaki gunung dekat Candi Arimbi yang sepertinya menjadi bagian dari kelengkapan bangunan maupun kepentingan pemujaan.
Nama-nama tempat yang ada di sekitar Candi Arimbi juga patut dicurigai sebagai lokasi yang punya keterkaitan dengan candi. Lemahbang, Jurangbang, Balekambang, Gedhoganjaran, Jemparing, dan masih banyak lagi.
Lemahbang berasal dari kata lemah abang. Istilah ini bisa diartikan sebagai tanah merah yang memang jenis tanah di Wonosalam dan sekitarnya memang berwarna merah. Namun toponim identik dengan darah tumpah yang membasahi tanah. Bisa jadi dulunya di kawasan itu terjadi sebuah pertempuran yang menumpahkan darah hingga memerahkan tanah di sekitarnya. Sedangkan Jurangbang mungkin merupakan jurang yang punya arti yang sama dengan Lemahbang yang mungkin pernah menjadi lokasi pertumpahan darah akibat kedaton yang diserang musuh.
Sebutan Balekambang belum diketahui apa keterkaitannya dengan lokasi wisata dengan nama yang sama di Malang, namun dikatakan istilah ini identik dengan istana atau kedaton. Tak heran memang, untuk ukuran candi semegah Arimbi pastinya di dekat sekitarnya ada kediaman raja atau petinggi kerajaan yang punya jabatan penting. Selain itu penemuan dinding Kedaton dari era Bhre Kahuripan di Bulurejo agaknya bisa menjadi tambahan detail kecil yang mendukung hipotesis ini.
Nama Jemparing sendiri bisa diartikan sebagai busur panah yang dibentangkan, siap untuk membidik sasaran. Sangat mungkin istilah ini merujuk sebagai lokasi latihan prajurit kerajaan yang salah satunya berupa kegiatan panahan. Bisa jadi, pusat pelatihan yang mungkin berupa asrama prajurit berisi kegiatan para ksatria dilakukan untuk upaya pengamanan kedaton atau lokasi penting yang harus dilindungi.
Tak heran pula, ada toponim Gedhoganjaran di dekat candi yang merujuk pada istilah istal kuda. Dari cerita penduduk setempat, mereka sering mendengar bunyi mistis berupa gemerincing lonceng kereta kuda yang akhirnya dikait-kaitkan dengan sosok Ratu Pantai Selatan. Namun bila  dihubungkan dari lokasi lainnya, sangat mungkin prajurit yang berlatih juga dilengkapi dengan pasukan kavaleri yang istal kudanya berada di lokasi yang bernama Gedhoganjaran kini.
Selain itu, ibarat kendaraan mewah di masa kini, kuda adalah barang mewah yang hanya dimiliki oleh orang-orang penting kerajaan dan pasukan elit. Jadi sangat mungkin kedaton punya ‘garasi’ berupa istal kuda yang lengkap dengan kereta kencananya untuk mobilisasi tokoh penting yang sangat mungkin kemudian sosoknya dicandikan di Candi Arimbi.
Alas Boto yang ada di desa tetangga, juga memiliki kisah sendiri. Dikatakan, penduduk setempat bahkan tak perlu membeli bata untuk membangun rumah, karena sudah disediakan nenek moyang terdahulu di alas boto. Tinggal ambil di hutan karena serakannya begitu luas hingga bisa membangun banyak rumah penduduk. Jika diteliti lebih lanjut, sangat mungkin sisa-sisa bata itu adalah sisa bangunan era klasik yang sayangnya akibat ketidakpahaman mengenai berharganya benda cagar budaya sehingga diambil sembarangan oleh penduduk.
Toponim di sekitar Candi Arimbi memang begitu mencurigakan, sangat wajar bila muncul dugaan-dugaan mengenai keterkaitannya dengan banyak situs lainnya. Meski hanya dugaan kasar dan belum terbukti secara ilmiah, namun misteri mengenai candi arimbi masih sangat menarik untuk diteliti.
Pemugaran yang pernah dilakukan untuk candi rimbi agaknya belum mampu mengembalikannya ke bentuk aslinya. Pernah dilakukan sebuah perbaikan, namun hanya berupa tambal sulam dan memperbaiki tatanan yang ada saja, bukan berupa restorasi utuh semisal pengembalian bentuk candi seperti wujud awalnya.
Menurut juru pelihara, tidak mungkin untuk mengembalikan candi dalam bentuk semula karena reruntuhan yang ada sebagian besar merupakan batuan pengisi tubuh bagian dalam candi. Padahal, masih sangat mungkin karena reruntuhannya masih banyak tersebar di sekeliling kompleks cagar budaya ini.
Dulu beberapa batu sering diambil warga untuk jadi pondasi rumahnya, namun katanya sekarang sudah dikembalikan. Mengenai jumlah pastinya yang sudah ‘dijarah’ warga, tidak ada yang tahu. Satu-satunya jalan adalah dengan membangun kembali candi sehingga bisa diketahui bagian mana yang tak lagi ada.
Memang, kala islam mulai masuk ke Jawa, ajaran Hindu dan Budha pun mulai ditinggalkan berikut bangunan sucinya pun juga dilupakan. Akibatnya, bangunan candi itu mulai tertimbun longsoran tanah dan ditumbuhi semak belukar seperti yang terjadi pada Candi Arimbi saat ditemukan.
Ketika kemudian daerah sekitarnya mulai tumbuh menjadi kawasan pemukiman, keadaannya jadi makin parah. Dinding candi ada yang dibongkar dan diambil batunya untuk pondasi rumah atau pengeras jalan. Kejadian ini juga menimpa Candi Arimbi yang tampak rumah jupel lama yang sudah sepuh di samping situs cagar budaya tampak berceceran batu bata maupun pecahan candi di lantainya.
Kadang ada penduduk yang mengambil batu batanya untuk dijadikan bagian dari tungku di dapur seperti yang terjadi di Candi Glagahan. Ada pula yang batu bata kunonya diambil untuk ditumbuk jadi semen merah. Sedangkan sejumlah batu berpahat dan yang berhias diambil oleh sinder-sinder perkebunan untuk dipajang di halaman dan kantor pabrik atau di rumah dinas perkebunan.
Petugas di balai desa pernah menyatakan niatnya untuk melalukan upaya restorasi candi seperti semula dengan menggunakan dana desa. Namun, kendala tentu saja pada segi dana yang jelas tidak akan menelan biaya yang sedikit. Prioritas untuk kepentingan sosial warga setempat sementara ini lebih diutamakan. Padahal, bila menggandeng pecinta sejarah, arsitek candi dan sponsor sepertinya masih sangat mungkin diwujudkan.
Dikatakan sebelumnya bahwa candi Arimbi belum pernah dipugar. Namun pendapat lain bisa dikemukakan oleh Jombang City Guide yang pernah berkunjung ke Candi ini sekitar tahun 2007. Dahulu, candi ini masih berantakan, berikut susunannya yang tak beraturan. Kala itu, Jombang City Guide masih kecil sehingga bisa memanjat hingga puncak candi tanpa takut.
Kini, terlihat dari beberapa sisi candi yang sepertinya sudah ditambal di berbagai sudut untuk menguatkan pondasinya. Selain itu, Jombang City Guide tak lagi bisa memanjat ke puncak candi karena tak ada lagi panjatan yang dirasa aman. Tapi bisa jadi karena faktor usia Jombang City Guide juga yang tak lagi muda sih. Heheheheh... Kelincahan dan kelihaian menurun, jadi lebih takut untuk memanjat karena berbagai pertimbangan.
Hanya saja, berada di jalur utama yang padat penduduk membuat Candi Arimbi cukup kekurangan lahan parkir. Biasanya pengunjung terpaksa parkir di pinggir jalan menanjak, atau bisa menggunakan lahan di halaman penduduk tetangga Candi Arimbi bila masih ada tempat. Tetangga biasanya sudah paham asal pengunjung juga tetap menjaga norma kesopanan selama menitipkan kendaraan
Candi Cungkup Pulo ini juga sudah dilengkapi toilet yang memadai dan pagar dengan nuansa Mojopahitan. Terimakasih kepada Balai Purbakala Jatim yang sudah menyulap pagar menjadi begitu apik. Hanya musholla yang belum tersedia, sehingga biasanya Jombang City Guide akan sholat di musholla terdekat atau menumpang di rumah yang ada di samping Candi Arimbi.
Juru pelihara yang merawat candi Arimbi sudah melakukan upaya maksimal dalam menjaganya. Tampak saat sore taman pelataran candi selalu disiram untuk menjaga keasrian tanaman hias yang ditanam di sekitar candi.
Biasanya kendala utama terjadi saat musim hujan kala candi sering basah terkena air hujan. Probabilitas munculnya jamur di permukaan candi meningkat jadi harus dibersihkan lebih rutin. Selain itu, kemungkinan pelataran candi menjadi lebih mudah becek sehingga pengunjung yang gemas karena jembrot akan mengoleskan alas kakinya ke segala tempat termasuk ke badan candi. Hadeeehhh.
Tim Ahli Cagar Budaya Jombang sudah menggagas proyek ‘Arimbi Bercerita’ yang dijalankan oleh pemuda setempat. Salah satu idenya yaitu dengan mengenalkan Candi Arimbi dari reliefnya yang unik termasuk medallion-kotaknya yang dikatakan istimewa. Warga sekitar candi pun diajak untuk membawa pusaka keluarga mereka, disertai dengan mengenalkan kisahnya. Cara ini adalah bentuk pemetaan awal benda cagar budaya yang efektif meski agak susah dibayangkan pelaksanaannya.
Sebagai generasi muda, hendaknya putra dan putri Jombang yang tertarik dengan sejarah maupun yang mencintai kotanya juga turut menjaga aset budaya bangsanya. Meski kondisi Candi Arimbi masih dalam kondisi baik, bukan berarti berhenti dalam perjuangan pencarian sejarah dan asal muasal kota Jombang. Benda cagar budaya di tempat lain di Jombang pun harus dijaga, begitu pula dengan semangat untuk melestarikannya.
Candi Arimbi memang candi tercantik di Jombang sehingga bisa dijadikan andalan kala ada tamu dari luar negeri yang ingin menikmati keindahan Jombang. Masih besar harapan Jombang City Guide untuk mewujudkan mimpi merestorasi candi Arimbi, setidaknya mengembalikan badan candi sisi selatan kembali tegak seperti semula. Candi Arimbi dan sekitarnya pun, masih menyimpan berbagai misteri yang masih belum terkuak, sambil menanti penemuan lainnya yang bisa memberikan tambahan detail tentangnya.


Candi aRimbi
Jalan Arimbi, Lereng Gunung Gede Anjasmoro
Dusun Pulosari, Desa Pulosari
Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang
candiarimbi.blogspot.com


Btw, Apriliya Oktavianti dari situsbudaya.id monggo kopas-kopas sepuas-puasnya ya. Nanti silakan pura-pura lupa cantumkan sumber seperti biasanya, 'kan ya??? Haseeek, hasek hasek haseeeekkk!!!




Tentang Jombang Lainnya

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...