Senin, 03 Februari 2020

Analisa Catatan Wallace Mengenai Candi Arimbi dalam Ekspedisinya ke Wonosalam


Candi Rimbi pertama kali ‘ditemukan’ dan dipublikasikan oleh Alfred Russel Wallace yang sedang berkunjung ke Wonosalam untuk mengambil spesimen burung merak dan hewan-hewan endemik dari Gunung Anjasmoro. Ilmuwan Inggris itu sedang melakukan penjelajahan dan pencatatan dalam ekspedisinya menguak jenis-jenis flora dan fauna di nusantara. Rupanya, Wonosalam di Jombang menjadi salah satu destinasi dalam ekspedisinya.

Catatan Wallace tersebut dirangkum dalam buku The Malay Archipelago. Dalam catatan kunjungannya itu, Wallace melalui Surabaya sebagai pelabuhan tempatnya mendarat setelah perjalanannya ke Ternate, Kepulauan Maluku. Dengan mengendarai kereta sapi jantan atau di Indonesia disebut dengan cikar, Wallace melanjutkan ekspedisinya ke Mojokerto, lalu Mojoagung. Setelah singgah di Mojoagung dan menyaksikan pagelaran gamelan dan acara khitanan, Wallace melanjutkan perjalanannya ke Wonosalam dengan menunggang kuda.

 

Berikut cuplikan laporan perjalanan Wallace dalam kunjungannya ke Wonosalam :  

"……. Having decided to stay some time at Wonosalem, on the lower slopes of The Arjuna Mountain, where I was informed I should find forest and plenty of game,…………

The road to Wonosalem led through a magnificent forest in the depths of which we passed a fine ruin of what appeared to have been a royal tomb or mausoleum. It is formed entirely of stone, and elaborately carved. Near the base is a course of boldly projecting blocks, sculptured in high relief, with a series of scenes which are probably incidents in the life of the defunct. These are all beautifully executed, some of the figures of animals in particular, being easily recognisable and very accurate. The general design, as far as the ruined state of the upper part will permit of its being seen, is very good, effect being given by an immense number and variety of projecting or retreating courses of squared stones in place of mouldings. The size of this structure is about thirty feet square by twenty high, and as the traveller comes suddenly upon it on a small elevation by the roadside, overshadowed by gigantic trees, overrun with plants and creepers, and closely backed by the gloomy forest, he is struck by the solemnity and picturesque beauty of the scene, and is led to ponder on the strange law of progress, which looks so like retrogression, and which in so many distant parts of the world has exterminated or driven out a highly artistic and constructive race, to make room for one which, as far as we can judge, is very far its inferior.

Few Englishmen are aware of the number and beauty of the architectural remains in Java. They have never been popularly illustrated or described, and it will therefore take most persons by surprise to learn that they far surpass those of Central America, perhaps even those of India. To give some idea of these ruins, and perchance to excite wealthy amateurs to explore them thoroughly and obtain by photography an accurate record of their beautiful sculptures before it is too late, I will enumerate the most important, as briefly described in Sir Stamford Raffles' ’’History of Java’’."

----------------------------------------------------------------------------------------------------

…………..Saya telah memutuskan untuk mengunjungi Wonosalem, yang berada di kaki Pegunungan Arjuna. Saya diberi informasi bahwa saya harus mengunjungi hutan tersebut dan mencoba menemukan banyak hal di sana……..

Jalan menuju Wonosalem menyusuri hutan belantara di mana kami melewati sebuah reruntuhan yang tampaknya merupakan mausoleum atau makam kerajaan. Bangunan itu seluruhnya terbuat dari batu, dan diukir dengan rumit. Di dekat bagian dasar ada tatanan balok yang diproyeksikan dengan mencolok, dipahat dengan relief tinggi dengan serangkaian adegan yang mungkin merupakan episode kehidupan orang terkait yang dimakamkan di sini.

Semua dikerjakan dengan sangat indah, khususnya beberapa figur hewan dapat dikenali dengan mudah dan sangat akurat. Secara umum, bisa dilihat dengan jelas kondisinya sudah rusak di bagian atasnya. Efek yang ditampilkan dari variasi pemasangan timbul-tenggelam di permukaan dindingnya yang terbuat dari cetakan balok yang disusun maju-mundur terlihat sangat rapi.

Bangunan ini kira-kira ukurannya tiga puluh kaki dan tingginya dua puluh kaki. Ketika pengendara berkunjung kemari, lokasinya ada di pinggir jalan dengan posisi tanah yang lebih tinggi. Reruntuhan tertutup pohon-pohon menjulang, diselimuti tanaman merambat, dan berada di tengah kegelapan hutan belantara.

Sungguh mengejutkan, pemandangan sekitar begitu mempesona. Kembali merenungi betapa majunya peradaban kuno ini, yang terlihat seperti kemunduran di masa sekarang. Telah begitu banyak di belahan dunia karya artistik yang konstruktif seperti ini, rusak dan musnah. Sedangkan apresiasi yang sejauh ini harusnya bisa dilakukan, masih begitu rendah nilainya.

Hanya sedikit orang Inggris yang menyadari jumlah dan keindahan peninggalan arsitektur di Jawa. Peninggalan kuno ini tak pernah ramai digambarkan dan dijelaskan, padahal jika demikian pastinya akan mengejutkan banyak orang setelah mereka mengetahu bahwa arsitektur kuno di Jawa jauh melampaui Amerika Tengah, bahkan mungkin India.

Untuk memberikan gambaran tentang reruntuhan ini, demi menarik perhatian para amatir yang kompeten untuk menjelajahinya secara menyeluruh dan sebelum terlambat memperoleh potret dokumentasi akurat dari relief indah ini, saya merekomendasikan literatur paling penting, yang dijelaskan secara singkat dalam buku History of Java karya Sir Stamford Raffles.

 

…………..Saya telah memutuskan untuk mengunjungi Wonosalem, yang berada di kaki Pegunungan Arjuna. Saya diberi informasi bahwa saya harus mengunjungi hutan tersebut dan mencoba menemukan banyak hal di sana……..

 

Disebutkan dalam catatan sebelumnya bahwa Wallace singgah dulu di Mojoagung untuk menanti kendaraan yang akan digunakan untuk menuju Wonosalam. Wonosalam disebutkan sebagai ‘Wonosalem’ dalam catatan pria Inggris ini. Di sisi lain, catatan Belanda kerap menggunakan istilah ‘Wanasalam’ untuk menyebutkan kawasan lereng Anjasmoro ini.

Ilmuwan peneliti kelanjutan teori Darwin itu juga menyebutkan ‘Wonosalem’ berada di kaki Pegunungan Arjuno. Padahal nyatanya, Wonosalam sebenarnya berada di lereng Pegunungan Anjasmoro. Bisa jadi Sang Ilmuwan ini memang salah sebut, atau salah informasi karena kedua gunung memang bertetangga.

Penyebutan ‘mountain’ untuk gunung Arjuno memang sangat tidak tepat karena Arjuno bukan kompleks pegunungan selayaknya Pegunungan Anjasmoro. Nama kedua gunung juga mirip karena sama-sama diawali huruf a, dan diakhiri huruf o, dengan ada getaran r di tengahnya. Tapi bisa dipastikan, Wonosalem yang dimaksud adalah Wonosalam yang kita kenal sekarang sebagai bagian dari Pegunungan Anjasmoro.

Dari narasi catatan Wallace, sebelum menuju Wonosalam dia singgah di Mojoagung. Dengan melihat peta kuno Belanda, bisa diperkirakan perjalanan Wallace melalui jalur utama satu-satunya dari Mojoagung menuju Wonosalam lewat Ngrimbi. Karena di peta terdapat tanda merah berupa titik penanda bangunan kuno yang tercatat ada di Ngrimbi. Di Ngrimbi itulah, Candi Rimbi berada.

 

Jalan menuju Wonosalem menyusuri hutan belantara di mana kami melewati sebuah reruntuhan yang tampaknya merupakan mausoleum atau makam kerajaan. Bangunan itu seluruhnya terbuat dari batu, dan diukir dengan rumit. Di dekat bagian dasar ada tatanan balok yang diproyeksikan dengan mencolok, dipahat dengan relief tinggi dengan serangkaian adegan yang mungkin merupakan episode kehidupan orang terkait yang dimakamkan di sini.

 

Wallace menyebutkan, di tengah perjalanan dia menemukan sebuah bangunan yang luasnya kira-kira 30 kaki dengan tinggi sekitar 20 kaki. Wallace menceritakan bahwa bangunan yang dia kira monumen makam raja itu terletak di daerah yang lebih tinggi dari sisi jalan, dan tertutupi oleh pohon raksasa yang dipenuhi oleh tumbuhan menjalar.

Bisa dipastikan bangunan yang dimaksud adalah Candi Rimbi, mengingat Candi Rimbi memang berada di tepi jalur utama Wonosalam dengan posisi tanah yang lebih tinggi daripada bangunan di sekitarnya hingga sekarang. Bangunan suci era klasik memang kerap dibangun dengan konsep sitinggil, yaitu lebih tinggi dari posisi tanah dan bangunan lain di sekitarnya.

Detail yang digambarkan Wallace agaknya didukung oleh foto-foto kuno Candi Rimbi yang sempat dipublikasikan sekitar tahun 1890-1956 yang kini bisa dilihat secara online di direktori potret Universiteit Leiden. Foto-foto kuno tersebut memang menjadi satu-satunya gambaran kondisi candi rimbi kala pertama kali didokumentasikan dengan potret hitam-putih.

 Semua dikerjakan dengan sangat indah, khususnya beberapa figur hewan dapat dikenali dengan mudah dan sangat akurat. Secara umum, bisa dilihat dengan jelas kondisinya sudah rusak di bagian atasnya. Efek yang ditampilkan dari variasi pemasangan timbul-tenggelam di permukaan dindingnya yang terbuat dari cetakan balok yang disusun maju-mundur terlihat sangat rapi.

Ada banyak figur hewan yang digambarkan di Candi Rimbi, yang paling menarik tentunya adalah sosok semacam hewan yang digambarkan sebagai ragam hias panil sebagai penyekat tiap relief naratif. Mirip seperti kambing, tapi juga rusa, tapi bertelinga lebar seperti kelinci sedangkan dari posturnya seperti anjing. Panel-panel itu dipasang timbul-tenggelam dengan sangat rapi seperti gambaran Pak Wallace, yang mengutarakan kekagumannya akan pola cetakan balok yang indah.

Sungguh mengejutkan, pemandangan sekitar begitu mempesona. Kembali merenungi betapa majunya peradaban kuno ini, yang terlihat seperti kemunduran di masa sekarang. Telah begitu banyak di belahan dunia karya artistik yang konstruktif seperti ini, rusak dan musnah. Sedangkan apresiasi yang sejauh ini harusnya bisa dilakukan, masih begitu rendah nilainya.

 

Selain kagum dengan bangunan yang dia sebut sebagai makam kerajaan itu, Wallace benar-benar terpesona dengan pemandangan di sekitar. Meski ada di tengah hutan belantara, panorama pegunungan Anjasmoro via Ngrimbi memang begitu mempesona. Gunung Kukusan, salah satu puncak ikonik di Pegunungan Anjasmoro memang terlihat kerucut sempurna dari sudut pandang Candi Rimbi.

Dari kunjungannya ke Candi Rimbi, Wallace pun kembali mengungkapkan kekagumannya akan kehebatan arsitektur kuno Jawa setelah sebelumnya singgah di Mojokerto dan menyaksikan reruntuhan candi-candi Majapahit lainnya yang mungkin dia lihat di Trowulan.

Seakan menjadi sebuah kilas balik, dimana orang jauh dari masa sebelum dia, bisa membangun sebuah karya arstistik yang begitu indah dan megah. Sedangkan orang-orang di masanya malah belum tentu mampu membangun bangunan serupa yang setara dengan candi-candi indah yang dia saksikan. Semacam peninggalan arsitektur masa lalu yang tergeser oleh arsitektur masa kini yang belum tentu bisa lebih bagus, bahkan kalah mutu dan kualitasnya.

Wallace pun mengutarakan penyesalannya betapa banyak bangunan bersejarah yang begitu penting seperti ini rusak dan musnah, di seleuruh belahan dunia. Di sisi lain, penghargaan dan apresiasi mengenai bangunan cagar budaya seperti ini pun sangat minim.

Hanya sedikit orang Inggris yang menyadari jumlah dan keindahan peninggalan arsitektur di Jawa. Peninggalan kuno ini tak pernah ramai digambarkan dan dijelaskan, padahal jika demikian pastinya akan mengejutkan banyak orang setelah mereka mengetahu bahwa arsitektur kuno di Jawa jauh melampaui Amerika Tengah, bahkan mungkin India.

Penyesalan lain juga diungkapkannya, bahwa tak banyak orang Inggris yang tahu mengenai eksistensi arsitektur kuno yang begitu mengagumkan di Jawa. Tak banyak pula kunjungan dan catatan mengenai kecanggihan arsitektur Jawa sehingga karya seni agung ini tak populer di kalangan ilmuwan dan petualang Inggris. Padahal seandainya orang-orang Inggris tahu tentang megahnya arsitektur dari Jawa, maka Wallace berani memastikan bahwa dunia pasti akan terkejut dengan arsitektur Jawa yang dia nilai melampaui kecanggihan karya dari Amerika Tengah, bahkan India.

Hal senada juga disampaikan ............................. dalam buku ....................................... yang ditulis tahun ...... Dalam buku tersebut, membandingkan arsitektur Jawa terutama Candi Borobudur dan Candi Prambanan dengan candi-candi yang ada di Kamboja yang punya tampilan serupa. Sebagai negeri yang membawa ilmu arsitektur bangunan dari India ke negaranya, tanah Jawa sangat mengagumkan karena membangun lebih megah kuil-kuil suci melampaui tempat asalnya.

Intinya dalam buku tersebut dikatakan India memang tanah asal ilmu pembuatan candi, namun arsitektur Jawa membuat pengembangan dengan membangun bangunan-bangunan yang secara detail lebih cantik dari negeri asalnya, bahkan lebih megah dengan ukuran yang jauh lebih besar. Candi-candi di India sendiri, ukurannya kecil dan tak semegah yang ada di Jawa. Tentunya, perlu tenaga dan ilmu yang jauh lebih hebat untuk membangun kuil kuno semegah yang ada di Jawa.
Candi-candi di Kamboja pun punya gaya yang mirip dengan yang ada di Jawa. Wajarlah karena seorang raja kamboja memang pernah tumbuh besar di Jawa, kemudian membawa kemegahan yang dia saksikan ke kampung halamannya. Namun, dari segi ukuran dan kemegahan, bangunan-bangunan di Kamboja belum mampu menyaingi kehebatan arsitektur di Jawa terutama Candi Prambanan dan Borobudur.

Untuk memberikan gambaran tentang reruntuhan ini, demi menarik perhatian para amatir yang kompeten untuk menjelajahinya secara menyeluruh dan sebelum terlambat memperoleh potret dokumentasi akurat dari relief indah ini, saya merekomendasikan literatur paling penting, yang dijelaskan secara singkat dalam buku History of Java karya Sir Stamford Raffles.

 

Karena begitu kagumnya, Wallace menyarankan para ilmuwan dan penjelajah lainnya untuk meneliti karya arsitektur di Jawa, berikut memotretnya sebelum mahakarya agung ini rusak dan hilang. Dengan merekamnya dalam potret, setidaknya ada catatan dan memori penting yang bisa mengabadikan tampilan candi-candi di Jawa.

Untuk memberikan gambaran secara garis besar pada para pembaca dan penjelajah lainnya, Wallace kemudian merekomendasikan bacaan yang menurutnya sangat penting yaitu History of Java. Meski hanya dijelaskan singkat di dalam buku karya Sir Stamford Raffles, setidaknya di dalam karya gubernur jenderal yang juga berasal dari tempat yang sama dengannya itu cukup memberikan gambaran mengenai indahnya sejarah dan kebudayaan Jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Jombang Lainnya

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...