Sabtu, 07 Desember 2019

Candi Glagahan : Bangunan Suci Cantik Yang Disebutkan dalam Prasasti Poh Rinting


Berawal dari niat membuat sumur untuk membuat kebutuhan air lancar, Candi Glagahan ditemukan. Penggalian dilanjutkan hingga menguak adanya struktur bangunan kuno dengan batu bata merah khas era kerajaan di masa lalu. Seperti bangunan pemujaan, yang juga diperkirakan berbentuk petirtaan. Keluarga Bu Tonah sendiri juga tak menyangka ternyata di halaman belakang rumahnya terdapat sebuah candi yang memiliki nilai sejarah tinggi bagi Jombang.



Candi ini berada Dusun Glagahan, Desa Glagahan, Kecamatan Perak, Kabupaten Jombang. Dari nama desa ditemukannya candi, kemudian bangunan kuno ini pun disebut Candi Glagahan. Karena ditemukan di Desa Glagahan, maka candi ini disebut Candi Glagahan dan telah terdaftar sebagai bangunan cagar budaya oleh BPCB. Kini rumah yang memiliki lahan itu ditinggali oleh salah satu putra Bu Tonah yang sekarang menjabat Ketua RT setempat di RT.03 RW. 02. 



Diperkirakan bangunan ini merupakan bangunan suci yang disebutkan dalam Prasasti Poh Rinting berdasarkan pembacaan (4)… kaswa (5) tantranikanang sima kabikuan i poh rinting…
Prasasti Poh Rinting sendiri, sementara ini merupakan prasasti tertua yang ditemukan di Jombang.



Dinyatakan pula dalam batu bertulis yang ditemukan di Glagahan, bahwa Dang Acaryya membuat permohonan kepada raja supaya daerahnya dijadikan perdikan karena di kawasannya terdapat bangunan suci. Sang Prabu pun mengabulkannya, dengan menetapkan Desa letak prasasti Poh Rinting berada sebagai desa sima. Sedangkan masyarakat desa sekitar bangunan suci berkewajiban untuk memeliharanya. 




Siapa jelasnya Dang Acaryya yang dimaksud di sini tak bisa diketahui karena nama dirinya tidak terbaca. Dang Acaryya merupakan gelar untuk pendeta penganut sekte siwa. Dang Acaryya atau Dang Acharyya ini agaknya merupakan posisi penting di desa setempat yang punya akses langsung kepada raja. Terbukti pula, dari permohonannya, pengukuhan desa sima diwujudkan. Jadi posisinya jelas bukan main-main karena mampu membuat permohonan yang dikabulkan raja. 


Penanggalan Prasasti Poh Rinting yang katanya ditemukan dalam kompleks candi menyatakan angka tahun 851 Caka. Pembacaan tanggal pun dikonversikan menjadi 28 Oktober 929 M yang kala itu masuk dalam era pemerintahan Mpu Sindok. Jadi diperkirakan bangunan ini merupakan peninggalan dari Kerajaan Medang. Kini Prasasti Poh Rinting pun juga sudah diusung ke Museum Purbakala di Trowulan dengan nomor inventaris 82.


Penetapan sima bisa dilakukan dengan menghadirkan perangkat desa beserta warga setempat yang biasanya berasal dari penduduk sekitar wilayah perdikan. Penetapan ini mirip dengan acara ‘peresmian’ masa kini yang disertai dengan perayaan. Biasanya pesta diakhiri dengan pemberian pasek-pasek sebagai persembahan yang berwujud bahan pakaian, uang, perak, bahkan emas.


Ada banyak pertimbangan dalam pengukuhan tanah perdikan. Pemberian status desa sima juga dilakukan untuk pengembangan wilayah sehingga agar kawasan yang kurang penting jadi lebih menarik bagi petani. Pengembangannya bisa berupa pemukiman, atau kawasan pertanian, atau bentuk agraris lainnya. Pada akhirnya dapat memperluas pemukiman sehingga makin mantap jadi wilayah yang strategis.


Pengukuhan suatu wilayah menjadi daerah perdikan dapat merupakan anugerah raja kepada seseorang atau penduduk karena telah berjasa bagi negara. Selain itu juga bisa karena dalam wilayah tersebut terdapat bangunan suci yang bisa mendatangkan pendapatan dari para peziarah. Agaknya, penetapan perdikan yang tertera dalam Prasasti Poh Rinting disebabkan karena adanya bangunan suci ini.


Biasanya, pendapatan yang dihasilkan dari pendapatan kunjungan bangunan suci akan dianugerahkan pada pejabat setempat sebagai pengelola kuil. Dari pendapatan itu pula, sebagai sumber biaya pemeliharaan bangunan suci. Selebihnya digunakan untuk membeli lahan baru, sehingga tanah tersebut dijadikan tambahan sawah sima bagi bangunan suci itu.



Tak dijelaskan rinci di dalam Prasasti Poh Rinting bangunan suci jenis apa sehingga mampu mendapat persetujuan Sang Maharaja hingga dikukuhkan sebagai daerah istimewa berstatus desa sima. Namun Candi Glagahan sementara ini diduga kuat sebagai bangunan yang dimaksud dalam Prasasti Poh Rinting. 


Airnya sampai ngecembeng, memancar terus

Selama ekskavasi di tahun 1981, para penggali cukup kerepotan dengan bancarnya air yang memancar. Candi tersebut yang terbuat dari batu bata merah kuno dengan ukiran cantik di berbagai sisinya dan terkubur di kedalaman sekitar dua meter dari permukaan tanah era modern. Ukuran candi utama sekitar 2,6m x2m dengan struktur batu bata sebagai dinding yang mengelilinginya.



Ada pula beberapa batu bata berukir yang sampelnya kini  dibawa peneliti arkeologi Jatim ke Trowulan. Melihat bentuknya dan pancaran air yang hampir merendam lokasi, candi ini diperkirakan berjenis petirtaan mirip Candi Tikus dan Situs Candi Petirtaan Sumberbeji.



Ditemukan banyak penemuan yang didapatkan kala penggalian. Mulai batu bata merah kuno berukir cantik, maupun pecahan gerabah, dan masih banyak lainnya. Bahkan disebutkan kala itu juga ditemukan patung kecil dari logam yang kini sudah tak diketahui keberadaannya. Sedangkan keluarga Bu Tonah, masih mempertahankan sebuah tembikar yang kini disimpan rapi di dalam rumah.



Di sisi lain, kala itu animo masyarakat begitu tinggi terhadap penemuan Candi Glagahan sehingga lokasinya selalu dipenuhi oleh pengunjung yang ingin melihat bangunan kuno ini. Mungkin viral istilah masa kininya. Mereka tampak antusias dengan penemuan benda purbakala yang ada di Jombang, hingga akhirnya sempat menjadi destinasi wisata dadakan.

Animo masyarakat

Namun, animo masyarakat yang tinggi kala itu juga dibarengi oleh para pencari wangsit yang kerap melakukan ritual dan semedi di Candi Glagahan, hingga meresahkan warga sekitar. Tak jarang aktivitas mereka mungkin dinilai cukup mengganggu sehingga akhirnya Candi Glagahan diputuskan untuk diurug kembali sekitar tahun 1985.


Seperti tampak pada potret, anak terkecil yang ada dalam foto kini sudah membangun keluarga sendiri dan setidaknya sudah memiliki dua anak. Tak dijelaskan tahun berapa potret Candi Glagahan yang ada ini diambil, diperkirakan foto ini diabadikan diantara kala candi sudah berhasil diekskavasi dan sebelum diurug kembali.



Ada kisah menarik dari batu bata kuno dari Candi Glagahan. Kala bentuk candi masih terlihat, tetangga setempat ada yang pernah mengambil salah satu batu bata kuno dari pondasi candi. Sayangnya pengambilan itu tanpa izin dan sepengetahuan pemilik halaman dimana candi berada, dengan maksud untuk menambah susunan tungku untuk keperluan memasak di dapur. Tak dinyana, berkali-kali memasak dalam dua kali lipat waktu seharusnya hingga minyak dan kayu habis, masakan tak kunjung matang.



Kejadian masak gagal matang itu terjadi berulang-ulang sehingga tetangga tersebut akhirnya mengembalikan batu bata kuno bagian candi tersebut ke lokasi asalnya, sekaligus meminta maaf pada Bu Tonah selaku pemilik halaman tempat candi berada. Praktis, setelah pengembalian dan permintaan maaf dilakukan, tetangga tersebut kemudian memasak dengan tungku seadanya pun kembali matang seperti durasi normalnya. Sebuah kisa yang tak mengherankan terjadi terkait bangunan kuno. 



Penduduk setempat percaya, halaman itu punya hawa mistis mungkin karena ada pengaruh sisa energi bangunan kuno bekas pemujaan di masa lampau. Di sisi lain, keluarga dan keturunan Bu Tonah pemilik lahan malah tak pernah mengalami kejadian aneh apapun.  Berhubung Jombang City Guide manusia yang nggak ngerti gitu-gitu jadi cukup nyantai saja saat melakukan kunjungan dan bincang-bincang dengan keluarga pemilik halaman. Heheheheh… 




Kini batu bata merah kuno dan berukir cantik sudah diboyong ke Museum Trowulan. Sedangkan bangunan kuno berupa candi yang mungkin berupa petirtaan itu pun sudah ditutup kembali. Kondisi Candi Glagahan tak lagi bisa dikenali karena sudah terkubur di dalam tanah di bawah latar dimana ayam berlari-lari dengan riangnya. Yang jelas sisa urugan pun sudah tak terlihat setelah berlalu beberapa dekade lamanya.


Penutupan kembali bangunan kuno di tahun 1980an ini juga karena adanya ketidakpastian nasib yang dilakukan pemerintah kala itu pada pemilik lahan Candi Glagahan. Dilihat dari tahunnya, ekskavasi  dilakukan dalam kendali Pusan Penelitian Arkeologi Nasional dari Jakarta yang kemudian baru bekerja sama dengan BPCB Trowulan untuk penyelamatan temuannya.


Kala itu, peneliti yang datang memberi janji akan dilakukan penyelamatan bangunan kuno. Pemilik lahan dijanjikan akan diberi status PNS yang mungkin adalah status sebagai Juru Pelihara Bangunan Cagar Budaya dalam istilah masa kini. Sayangnya, setelah mengusung berbagai fragmen, ornamen, dan berbagai benda penting termasuk batu bata merah kuno berukir cantik yang kini dipajang di Museum Mandala Majapahit di Trowulan, pihak tersebut seperti hilang ditelan bumi.

Suami ibu tonah pemilik lahan yang menemukan candi

Upah sebagai ‘juru pelihara’ pun hanya diterima tujuh kali kemudian tak diketahui kelanjutannya hingga sekarang. Foto-foto dokumentasi candi setelah dilakukan ekskavasi pun dipinjam tanpa dikembalikan. Padahal, harga foto di masa itu bukan nilai yang murah. Bisa dibayangkan betapa banyak janji yang tak ditepati oleh pihak yang tak bertanggung jawab itu.

Ibu Tonah, pemilik lahan

Lelah dengan aneka janji maupun orang-orang yang datang tanpa kepastian, Bu Tonah dan keluarga menjadi sedikit sensitif terhadap tamu yang berkunjung. Saat Jombang City guide berkunjung, awal kecurigaan muncul. Terlebih lagi pada pihak-pihak yang tak jelas kepentingan dan posisinya.

Menanti lebih dari 30 tahun

Apalagi saat pengunjung yang datang mungkin cukup kecewa karena candi sudah terkubur kembali. Bahkan Bu Tonah dan keluarga sempat mengatakan dilarang melihat lokasi bila tak membawa dana atau kepastian apapun. Wajarlah sikap itu muncul karena benar-benar lelah dengan berbagai pihak yang datang tanpa kejelasan, terutama pemerintah yang dulunya member janji.

Berada dalam ketidakpastian

Berhubung Jombang City Guide bukan wartawan, bukan peneliti, bukan pihak dinas alias bukan siapa-siapa, urusan jadi agak rumit. Apalagi Jombang City Guide pun tak membawa apapun. Beruntung Jombang City Guide adalah perempuan, entah kenapa kebetulan jadi agak dimudahkan dibanding pengunjung-pengunjung lain yang tak jelas perannya. Heheheheh........... Terimakasih untuk Bu Sekdes Iva yang kebetulan adalah keluarga Bu Tonah, beliaulah yang memberikan jalan untuk mengakses lokasi.

Putri Bu Tonah yang ada dalam potret bersama Bu Sekdes

Pun misalnya ada pihak yang bersedia melakukan ekskavasi, Bu Tonah dan keluarga jelas sangat mengizinkan terutama bila dilakukan kejelasan nasib lahan. Dengan adanya penemuan itu, keluarga jadi sulit untuk melakukan pembanguan perluasan kediaman. Jadi kejelasan nasib benar-benar sangat dinantikan Bu Tonah dan keluarga setelah dalam penantian lebih dari 30 tahun lamanya.

Jika ada yang mau mengekskavasi ulang, monggo

Awal 2019, kebetulan Jombang memiliki dana untuk alokasi cagar budaya. Pemerintah yang sekarang sudah melakukan pendataan ulang untuk memastikan kondisi terkini dari candi. Diproyeksikan, Candi Glagahan segera akan diekskavasi ulang. Namun, kehebohan penemuan Candi Petirtaan Sumberbeji membuat efek kejut lain. Bombastisnya penemuan di petirtaan amerta Sumberbeji membuat Candi Glagahan agaknya harus kembali menunda harapan untuk diekskavasi.

Menanti ekskavasi ulang

Pemerintah Desa Sumberbeji agaknya juga sangat kooperatif dalam proses penggalian sehingga sangat menyedot perhatian hingga bupati dan peneliti dari Jakarta pun turun tangan. Masyarakat setempat juga berkontribusi meramaikan lokasi dengan membangun Sumberbeji sebagai destinasi baru yang menyenangkan untuk dikunjungi. Candi Glagahan yang terkubur dalam sunyi akhirnya harus menanti giliran lebih lama.


Suami Bu Tonah

Sepertinya, perlu dilakukan pemberitaan yang masif pula tentang nasib Candi Glagahan, termasuk pentingnya peran perangkat desa untuk memperjuangkan kembali bangunan kuno yang sangat bersejarah di desanya. Dengan adanya kontribusi lebih dan langkah kooperatif dari pemerintah desa seperti di Sumberbeji, bukan tidak mungkin Candi Glagahan akan lebih cepat diekskavasi ulang.


Memang, eksistensi Candi Glagahan tak banyak diketahui oleh pakar arkeologi maupun para penggila sejarah seperti nasibnya yang terkubur rapi di dalam tanah. Nama Glagahan malah sering dikira Batu Stupa Glagah yang berada di Glagah, Kulon Progo Jogjakarta. Sedangkan Pantai Glagah menjadi destinasi yang dikenal dalam istilah ini.


Glagah sendiri bisa berarti alang-alang. Dari nama Glagahan, bisa jadi sebelum dibuka menjadi lahan pemukiman, dulunya merupakan lahan penuh ilalang. Sedangkan penamaan Prasasti Poh Rinting dimana batu bertulis berasal merujuk pada kawasan penghasil buah mangga podang dan mangga manalagi yang enaknya nggak ketulungan.


Penyebutan Prasasti Poh Rinting berasal nama kabikuan yang tertera dalam tulisan yang tergurat di inskripsi tugu batu bertulis dari Glagahan itu. Poh Rinting sendiri, berasal dari bahasa Jawa poh atau woh yang diartikan sebagai buah atau berbuah. Sedangkan rinting berarti beruntai atau berjejer renteng-renteng. Jadi Poh Rinting berarti buah yang rimbun subur beruntai-untai, menjuntai-juntai dari tangkai pohonnya.


Prasasti Poh Rinting



Dinamakan Poh Rinting karena diperkirakan, sebutan buah yang beruntai-untai ini berasal dari pohon yang banyak tumbuh subur di sekitar lokasi. Ada pendapat bahwa pohon yang dimaksud adalah pohon mangga berjenis Mangga Podang dan Mangga Manalagi. Keduanya memang merupakan sejenis mangga yang buahnya beruntai-untai dalam satu tangkai. Padahal lokasi Glagahan satu rute dari sentra Si Jambu Darsono, Jambu Manis Gondanglegi. Jombang memang salah satu penghasil mangga yang cukup produktif selain kabupaten tetangga yang memang dikenal sebagai sentranya.



Nama Glagahan sendiri juga tak familiar dalam catatan sejarah lokal. Menariknya, ada sebuah detail yang janggal dari fakta terkait penemuan Prasasti Poh Rinting yang dinyatakan dalam catatan OJO Brandes dari masa kolonial Belanda. Ditulis dalam catatan mengenai arkeologi Hindia Belanda itu bahwa Prasasti Poh Rinting ditranskripsi no. XL dan ditemukan di Glagahan Afdeeling Djombang, Residen Soerabaja. Kala itu Jombang masih masuk dalam Residen Surabaya dan tergabung dalam Kabupaten Mojokerto. Dari Bahasa Belanda yang digunakan, dan masa pencatatan itu rupanya dilakukan sebelum tahun 1900an.


Disebutkan pula dalam laporan Verbeek tahun 1891, adanya penemuan batu bertulis dari Glagahan, District Madjaredja, Afdeeling Djombang,  Blad C.XIV. Dokumentasi sudah dilakukan oleh Asisten Residen STEINMETZ dan kemudian Prasasti Poh Rinting diboyong dari tempat asalnya lalu disimpan halaman rumah Asisten Residen Jombang.


Bila penemuan Prasasti Poh Rinting terjadi tahun 1891 berarti Candi Glagahan belum diketahui eksistensinya. Candi Glagahan baru ditemukan oleh pemilik lahan di tahun 1980an. Padahal dikatakan oleh berbagai media bahwa Prasasti Poh Rinting ditemukan bersama di dalam kompleks Candi Glagahan. Sebuah detail yang kontradiktif.


Rumah Asisten Residen Jombang dipercaya berada di dekat Kebonradja, yang kini menjadi kawasan Kebon Rojo. Memang, di dekat Kebon Rojo ada banyak rumah kuno, termasuk bekas sekolah, dan lokasi kegiatan katolik lainnya. Meski kini wajah kawasan dekat Kebon Rojo sudah berubah, masih tersisa beberapa rumah kuno yang patut dicurigai sebagai lokasi penempatan Prasasti Poh Rinting setelah dibawa dari lokasi aslinya.


Lihat itu di atas, heboh kan. Awas mbrosot lho
Setelah disimpan di halaman rumah Asisten Residen Jombang, disebutkan dalam laporan tahun 1907 Prasasti Poh Rinting kembali dipindahkan ke Pesanggrahan Regent di Modjokerto. Hal ini sangat dimungkinkan karena bupati Mojokerto kala itu menaruh minat sangat tinggi terhadap kajian arkologis. Bisa jadi kemudian inilah asal muasal akhirnya Prasasti Poh Rinting kini ditempatkan di Balai Purbakala Trowulan.


Di sisi lain, ditarik mundur dari momen penyimpanan di halaman Asisten Residen Jombang, berarti kala penemuan prasasti dan ekskavasi candi di era orde baru berjarak seratus tahun lamanya. Penemuan Prasasti Poh Rinting terjadi sebelum tahun 1900an sedangkan Candi Glagahan baru ditemukan tahun 1980an. Bisa jadi Candi Glagahan sudah pernah ditemukan sebelumnya. Atau ada kemungkinan lain secara kasar bisa disimpulkan bahwa bisa jadi penemuan Prasasti Poh Rinting bukan di kompleks Candi Glagahan. Bisa jadi di titik lain di distrik yang sama, atau lokasi lain yang belum diketahui persisnya yang masih dalam lingkup Desa Glagahan. 



Lokasi Candi Glagahan sendiri berada tak jauh dari Watu Galuh tempat dimana ditemukannya srandu atau lingga semu berelief ukiran dewa. Jadi tak mengherankan bila Glagahan dianggap penting sehingga layak ditetapkan sebagai daerah perdikan. 

Bisa jadi, Glagahan dulunya merupakan bagian dari Watu Galuh yang pernah menjadi salah satu lokasi ibukota Kerajaan Medang yang disebutkan dalam Prasasti Anjukladang. Atau mungkin tetangga desa seperti kawasan suburban dari ibukota yang sedang gencar-gencarnya dilakukan pengembangan. Selain itu, Candi Glagahan juga tak jauh dari Candi Pundong yang juga bagian dari peninggalan Kerajaan Medang era Mpu Sindok. 


Menjadi sesuatu yang makin menarik dimana baru-baru ini dikatakan ada penemuan baru yang juga ada di Glagahan Perak yang diperkirakan merupakan benteng struktur yang ada sebelumnya, atau bekas pemukiman kuno yang mungkin merupakan sisa jejak masyarakat yang diamanati untuk memelihara bangunan suci yang disebutkan dalam Prasasti Poh Rinting.


Hanya membayangkan, dengan ukiran-ukiran bunga secantik itu, pastilah Candi Glagahan bukan sekedar bangunan kuno biasa. Bayangkan cantiknya, bayangkan betapa anggun bangunannya. Besar harapan Jombang City Guide, di tengah ramainya penemuan benda purbakala di Jombang akhir-akhir ini, hendaknya pemerintah dan pihak BPCB bisa segera mengekskavasi ulang Candi Glagahan yang juga tak kalah menariknya dengan penemuan lainnya. 


Tapi bisa jadi ada bangunan lain yang masih terkubur dan belum terkuak di Glagahan. Tinggal menunggu waktu saja, hingga penemuan-penemuan penuh sejarah dan nilai arkeologis itu, menyeruak ke permukaan.


Candi Glagahan
Halama Belakang Rumah Bu Tonah
Dusun Glagahan, Desa Glagahan
Kecamatan Perak, Kabupaten Jombang



Btw, Apriliya Oktavianti  dari situsbudaya.id monggo kopas-kopas sepuas-puasnya ya. Nanti silakan pura-pura lupa cantumkan sumber seperti biasanya, 'kan ya??? Haseeek, hasek hasek haseeeekkk!!!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Jombang Lainnya

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...