Sebutan
Durian Bido diambil dari nama burung Elang Jawa yang kerap tinggal di pucuk pohon
durian raksasa di Galengdowo. Burung Elang Jawa itu berjenis Elang Bido atau
Elang Badol. Elang Bido banyak ditemui di seluruh kawasan lereng Anjasmoro, yang
hingga kini banyak penduduk yang masih sering melihatnya wara-wiri di atas
pohon durian yang tinggi menjulang di desanya. Elang yang juga dijuluki Elang
Badol ini juga ditakuti karena sering menerkam anak ayam. Dari ‘prakarsa’ elang
bido inilah, durian legendaris asal Wonosalam ini kemudian dijuluki Durian
Bido.
Durian
Bido memang punya daya tarik tersendiri yang mampu menyedot perhatian wisatawan
hingga Wonosalam menjadi kawasan yang dikenal sebagai surganya Si Raja Buah
dari Lereng Anjasmoro. Tapi bagi orang luar Wonosalam biasanya masih asing
dengan eksistensi Elang Bido yang namanya dicomot menjadi ‘nama merek’ durian
kebanggaan Wonosalam ini.
Jombang
City Guide pun demikian, tak pernah melihat langsung dan mungkin hanya
menerka-nerka bentuknya meski sebenarnya kalau niat browsing keterangannya
juga tersedia. Bagaimana bentuknya, masih adakah sampai sekarang di
Wonosalam, dan masih banyak pertanyaan lainnya, termasuk apa dia rela namanya
‘dipinjam’ jadi sebutan durian tempat dia bertengger.
Kebetulan
saat mengantar Si Bakpau ke Kebun Binatang Surabaya, Jombang City Guide tak
sengaja mendapati adanya jenis Elang Bido di kawasan penangkaran aves lengkap
dengan penjelasannya. Akhirnya rasa penasaran terjawab, dengan berhasil melihat
dengan mata kepala sendiri bentuk dan tampilan Si Elang Badol ini.
Dari
keterangan Wikipedia, Elang Bido dijelaskan sebagai elang yang menyebar luas di
Asia yang merupakan anggota suku Accipitridae, ordo Accipitriformes dengan
genus Spilornis. Nama ilmiahnya adalah Spilornis
cheela, sedangkan di kalangan komunitas pecinta burung pemangsa, Si Bido
ini dikenal sebagai CSE yang merupakan singkatan dari Crested Serpent Eagle.
Ciri khas
Elang Bido yaitu bulunya berwarna coklat kehitaman, dengan garis putih di ujung
belakang sayapnya. Sayapnya sangat lebar dan juga terlihat membundar. Garis
putihnya akan terlihat lebar di bagian ekor dan pinggir belakang sayap. Tanda
ini akan terlihat saat dia membentangkan sayapnya, terutama saat terbang
seperti sebuah garis yang tebal. Bagian sayapnya menekuk ke depan seperti elang
jawa pada umumnya, dan akan terlihat membentuk huruf C yang tampak membusur. Bagian
ekornya pendek dengan garis kelabu lebar di tengah garis-garis hitam pada ekor.
Jambulnya
pendek dan lebar, berwarna hitam kombinasi putih. Matanya dikelilingi kulit
kuning tanpa bulu yang warnanya dominan sampai paruhnya. Iris matanya berwarna
kuning, sedangkan paruhnya berwarna coklat kelabu.
Ukurannya
dikategorikan sedang, dengan panjang sekitar 50cm. Elang Bido yang sudah
dewasa, bagian tubuh atas biasanya berwarna coklat gelap sedangkan bagian
bawahnya berwarna coklat. Bagian perut, lambung, sisi tubuh terdapat
bintik-bintik putih. Sedangkan yang remaja berwarna lebih terang coklatnya, dan
ada lebih banyak putih pada bulunya.
Istimewanya,
kulit kakinya yang berwarna kuning itu dipercaya memiliki kekebalan terhadap
bisa ular. Tak jarang Elang Bido juga disebut Elang Ular karena ketangguhannya
dalam pertahanan diri bawaannya terhadap hewan berbisa tersebut. Namun,
baru-baru ini ditemukan Elang Bido yang lemas di hutan, yang diperkirakan baru
saja terkena bisa ular. Bisa jadi kakinya tahan bisa sedangkan badannya
enggak.
Sering
terlihat melayang-layang di hutan, melakukan soaring dengan terbang dengan berputar-putar dengan memanfaatkan
geothermal sambil mengeluarkan suara nyaring dengan lengkingan yang khas. Bunyi
panggilannya yang terdengar seperti “kiiiiik” panjang, berikut tekanan pada dua
nada dengan bagian akhir yang lembut. Suaranya memang sangat berisik, sehingga
penduduk Galengdowo kadang takut dengan bunyinya yang mengancam hewan ternak.
Biasanya
Elang Bido hidup di hutan hingga ketinggian 1900 mdpl, dengan memangsa
hewan-hewan kecil seperti tikus, burung kecil, dan anak ayam seperti yang
terjadi di Galengdowo. Namun bila kekurangan makanan, Elang Bido bisa menyerang
sarang lebah seperti yang dilaporkan di Kulon Progo. Sehingga lebah-lebah pun mubal dan menyerang manusia. Jika
ketidaktersediaan pakan masih berlanjut, tak menutup kemungkinan burung ini
bisa menyerang ternak penduduk atau bahkan manusia.
Elang Bido
Hidup berpasang-pasangan. Saat masa kawin, pasangan menunjukkan gaya terbang akrobatik
yang mungkin untuk menarik lawan jenisnya. Telurnya berwarna putih suram dengan
bercak kemerahan dengan jumlah telur biasanya satu hingga dua butir. Meski
dikatakan berkembangbiak sepanjang tahun namun perkembangbiakannya dikatakan sangat
sulit karena hanya sekali bertelur dalam setahun, sehingga elang bido masuk
satwa yang dilindungi.
Populasinya
dikatakan makin menurun dari tahun ke tahun meski penduduk Wonosalam masih
kerap melihatnya bertengger di pohon durian. Dampak perubahan iklim dan
pemanasan global tampaknya berpengaruh terhadap ketersediaan makanan yang jelas
akan mengancam keberlangsungan spesies ini.
Ancaman
terbesar terhadap populasi Elang Bido adalah ulah manusia dimana perburuan
liar, perdagangan illegal dan penyempitan habitat menjadi salah satu ancaman
punahnya spesies ini. Kelestariannya juga makin terancam karena banyak penjual
hewan liar memperdagangkannya di pasar bebas bahkan ditawarkan pula lewat
jual-beli online meski tak sedikit pula yang ditangkap aparat karena
menjadikannya barang dagangan.
Padahal, semua
jenis elang itu dilindungi dan Elang Bido adalah salah satunya termasuk
dilarang diperjualbelikan. Salah satu alasan Elang Bido dilindungi adalah daya
perkembangbiakannya yang rendah dengan hanya sekali bertelur setahun.
Bagi yang
memperjualbelikan satwa yang dilindungi ini akan dijerat dengan Pasal 40 Ayat (2)
juncto Pasal 21 Ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dengan ancaman hukuman 5
tahun dan denda paling banyak Rp. 100 Juta.
Dengan
menurunnya populasinya, bisa mengacaukan siklus rantai makanan sehingga bisa
terjadi ledakan spesies lainnya yang bisa mengancam keseimbangan alam. Sekarang,
kita harus lebih peduli terhadap
lingkungan, dimana dalam keadaaan apapun satwa liar juga butuh hidup dan
makan. Keberlangsungan mereka juga akan mempengaruhi spesies lainnya di hutan.
Elang
Bido, namanya memang disematkan sebagai julukan untuk durian unggulan dari
Wonosalam. Bagaimanapun Elang Bido adalah salah satu predator alami di hutan. Tentunya
jadi tugas kita semua untuk peduli dengan kelestarian alam, dan tak melulu
mengeruknya untuk kesenangan pribadi. Makan Durian Wonosalam dijalankan, tapi
menjaga kelestarian lingkungan harus tetap dilaksanakan.
Summary
Ciri-Ciri
Elang Bido / Elang Badol :
- Bulu berwarna coklat kehitaman
- Terdapat garis putih di ujung belakang sayap dan pinggir belakang sayap hingga ekor
- Sayapnya sangat lebar, menekuk ke depan dan akan terlihat membentuk huruf C yang tampak membusur
- Garis putihnya akan terlihat lebar di bagian ekor.
- Bagian ekornya pendek dengan garis kelabu lebar di tengah garis-garis hitam
- Jambulnya pendek dan lebar, berwarna hitam kombinasi putih
- Matanya dikelilingi kulit kuning tanpa bulu yang warnanya dominan sampai paruhnya
- paruhnya berwarna coklat kelabu
- Iris matanya berwarna kuning
- Pupil hitam
- Ukurannya panjang sekitar 50cm
- Kulit kakinya yang berwarna kuning itu dipercaya memiliki kekebalan terhadap bisa ular
- Elang Bido dewasa, bagian tubuh atas biasanya berwarna coklat gelap sedangkan bagian bawahnya berwarna coklat. Bagian perut, lambung, sisi tubuh terdapat bintik-bintik putih
- Elang Bido remaja berwarna lebih terang coklatnya, dan ada lebih banyak putih pada bulunya
- Suara nyaring dengan lengkingan yang khas, seperti “kiiiiik” panjang
- Hidup di hutan hingga ketinggian 1900 mdpl,
- Makanannya hewan-hewan kecil seperti tikus, burung kecil, anak ayam, kelinci kecil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar