Ringin Conthong memang sebuah ikon utama Kota Santri
Jombang BERIMAN, tapi banyak yang lebih mengeksplorasi menara air peninggalan
Belanda. Padahal, bundaran Ringin Conthong kebanggaan kota kelahiran presiden
keempat negeri ini, terdiri dari dua elemen penting, yaitu menara air dan
sebuah pohon beringin yang julukannya dijadikan nama landmark Jombang yang
paling populer.
Tidak banyak yang mengupas tuntas tentang beringin yang
dulunya berbentuk conthong ini, karena minimnya dokumentasi tentangnya. Kali
ini, Jombang City Guide akan sedikit berkisah tentang pohon beringin yang legendaris
yang kini bentuknya seperti enthong ini.
Ringin Conthong adalah saksi bisu berdirinya Kota Santri
setelah terjadinya ‘disintegrasi’ Jombang dengan Mojokerto. Pohon yang kemudian
dijadikan logo oleh partai kuning yang kini memelopori kuningisasi di Kota
Santri ini awalnya ditanam oleh Bupati Jombang yang pertama kali menjabat yaitu
Raden Adipati Arya Soeradiningrat V.
Raden Adipati Arya Soeradiningrat V ini memilih menanam
pohon beringin ini di sebuah bundaran yang berada di jantung Kota Santri kita
tercinta yang dulunya masih disebut Afdeeling Djombang. Bundaran ini dipilih
karena ramainya warga beraktivitas dan berlalu lalang dalam hiruk pikuk
masyarakat, yang sebelumnya sudah ditetapkan sebagai titik nol Jombang pada 20
September 1877. Seperti sebuah sumbu di tengah roda, yang terus berputar,
bundaran ini adalah sumber kekuatan dengan jeruji-jeruji yang bertumpu para
sumbunya. Ibaratnya titik tumpunya adalah bundaran pohon beringin ini, yang
jerujinya berputar terus menerus seiring dengan perkembangan masyarakatnya.
Dipilihnya jenis pohon beringin untuk ditanam oleh Kanjeng
Sepuh – julukan Raden Adipati Arya Soeradiningrat V -, juga bukan tanpa alasan.
Beringin atau nama latinnya Ficus
benjamina, melambangkan pengayoman, dimana Kanjeng Sepuh berharap beliau dan
para pegawai afdeeling dJombang mampu memberikan perlindungan untuk
masyarakatnya.
Pohon yang juga menjadi lambang sila ketiga Pancasila ini adalah
jenis tanaman berakar tunjang. Akar tunjang adalah akar yang panjang menghujam
ke dalam tanah, yang menunjang pohon ini bisa tumbuh sangat kokoh. Sedangkan
dari ranting-rantingnya, banyak akar menggelantung. Akar yang menjuntai seperti
tirai ini melambangkan banyaknya perbedaan yang ada di dalam kehidupan
bermasyarakat.
Beringin juga melambangkan sifat kemasyarakatan, dan
kepribadian masyarakat Indonesia yang kokoh berakar. Harapannya dengan
kekokohan itu, masyarakat tidak mudah goyah oleh cobaan dan gempuran.
Secara keseluruhan, pohon beringin mencerminkan persatuan
dan kesatuan masyarakat yang tetap kokoh dan tahan gempuran, meski ada dalam
berbagai perbedaan. Sama seperti konsep dalam lambang perisai Garuda Negara
Kesatuan Indonesia tercinta ini.
Penanaman pohon yang dalam bahasa Belandanya adalah
waringin ini dilakukan tanggal 22 Februari 1910, yang juga bertepatan dengan
peletakan batu bata pertama Pendopo Kabupaten Jombang.
Di hari penanaman itu, selain menanam beringin untuk
bundaran yang akhirnya menjadi ikon utama Jombang, juga ditanam beringin kecil
lain di depan tempat yang kini dijadikan Pendopo Kabupaten Jombang.
Memang, saat itu, setelah memisahkan diri dari Mojokerto,
Jombang masih belum punya fasilitas sendiri, sehingga ‘kota bayi’ yang baru
lahir ini sedang giat-giatnya melakukan pembangunan di berbagai lini, terutama
di bidang fisik.
Tahun 1929, untuk memastikan cadangan air warga afdeeling
Jombang tetap terjaga, pemerintah Hindia Belanda yang berpusat di Surabaya
memutuskan untuk membangun sebuah watertoren. Akhirnya dibangunlah menara air
di samping pohon ini yang kemudian menemani Sang Beringin bertahta di bundaran
yang menjadi titik nol Kota Santri Jombang BERIMAN.
Legenda Kebo Kicak Karang Kejambon juga sempat menyebutkan
pohon beringin ini dalam kisahnya, dimana dalam pengejarannya memburu Surontanu
dan Banteng Tracak Kencana, Sang Kebo Kicak sempat berteduh di bawah pohon
beringin. Banyak versi yang beredar dalam masyarakat, meski pohon beringin ini
paling diyakini sebagai pohon yang dimaksud.
Mungkin sejarah perlu ditelusuri lebih lanjut, mengingat
kisah Kebo Kicak merupakan kisah yang sudah ratusan tahun menjadi legenda di
Jombang, sedangkan ditanamnya pohon beringin untuk bundaran titik nol ini baru
dilakukan pada 1910.
Penyebutan pohon beringin dalam bundaran ini sebagai ‘Ringin
Conthong’ juga memiliki sejarah tersendiri. Pohon yang ditanam Kanjeng Sepuh
ini sama seperti pohon-pohon lain pada umumnya yang berkembang dan bertumbuh
besar. Namun dalam perkembangannya, pohon beringin ini berkembang membentuk
seperti kerucut. Padahal umumnya, pohon beringin akan berkembang menjadi
berbentuk bundar, mirip seperti brokoli.
Meski tidak berwujud kerucut sempurna, namun bentuk puncak
pohon yang menjulang dan lancip menjadikan pohon ini seperti conthong. Bentuk
kerucut inilah yang akhirnya menjadi asal muasal penyebutan istilah conthong
oleh warga sekitar. Conthong dalam bahawa Jawa berarti kerucut, dan kata sifat
itulah yang digunakan oleh warga untuk menggambarkan keunikan pohon beringin
ini.
Dalam perkembangannya, Ringin Conthong menjadi pohon
beringin yang sangat kokoh dan besar sehingga memunculkan kisah-kisah sakral dari
warga sekitar. Beberapa kisah angker pun muncul karena warga mempercayai adanya
peristiwa mistis yang terjadi saat berada di dekat pohon ini. Wajarlah karena sifat
pohon beringin yang memang menarik bagi makhluk gaib.
Meski sebagai pusat lalu lintas yang ramai, jarang sekali
orang yang duduk maupun menghabiskan waktu di bawah Ringin Conthong karena
terpengaruh kisah-kisah yang beredar di kalangan masyarakat.
Karena pohon ini tumbuh makin besar, pernah suatu ketika dinas
tata kota Jombang kala itu pun memutuskan untuk memangkas pohon ini. Namun
upaya ini gagal karena petugas yang ditugaskan untuk memangkas pohon jatuh
sakit. Peristiwa serupa selalu berulang ketika ada perintah untuk pemangkasan, Sang
Pemangkas pohon selalu jatuh sakit. Berbagai versi beredar ada yang jatuh sakit
sebelum memangkas maupun setelah memangkas sedikit bagian pohon. Bahkan ada
versi yang menyatakan bahwa ada pemangkas yang meninggal dunia karena akan
memangkas pohon ini.
Gosip yang beredar kala itu, petugas yang ditugaskan untuk
melakukan pemangkasan harus berpuasa dulu selama 40 hari berturut-turut.
Kemudian akhirnya barulah pohon ini bisa dipangkas. Wallahualam. Dari kegiatan
pemangkasan ini, akhirnya Ringin Conthong pun tidak lagi berbetuk kerucut
seperti awalnya.
Ada juga versi lain yang mengatakan dimana pohon ini
tiba-tiba mati tanpa sebab, sehingga dinas pertamanan kala itu langsung
melakukan tindakan untuk mencabut pohon hingga akar-akarnya lalu menanam pohon
beringin baru.
Entah yang mana yang benar, yang pasti Jombang City Guide
yang setiap hari selalu melewati landmark utama Kota Santri ini dulunya menghabiskan
masa-masa terindah di sekolah dasar di samping Ringin Conthong. Kami mengingat
suatu ketika pohon beringin di bundaran Ringin Conthong tiba-tiba gundul
tinggal batangnya saja. Mengenai proses pemotongan, Jombang City Guide tidak
sempat menyaksikan karena ‘tragedi’ gundulnya pohon beringin legendaris itu
terjadi saat liburan panjang kenaikan kelas. Jadi ketika hari pertama masuk,
kami cukup kaget karena Si Brokoli berubah menjadi gundul.
Foto Lama : Jombang City Guide ingat setelah dipangkas, tak ada sehelaipun daun di Beringin Conthong Foto ini masih ada daunnya, berarti diambil saat sudah agak tumbuh |
Meski pohon beringin ini yang menjadi cikal bakal nama
Ringin Conthong, masyarakat Jombang kadang sedikit lupa tentang eksistensinya.
Banyak merek dan logo yang mengatasnamakan Ringin Conthong dalam labelnya,
namun tak satupun yang menjadikan pohon legendaris ini sebagai ikon utama.
Malah tetangganya yang tak lain adalah watertoren peninggalan Belanda-lah yang
menjadi lebih populer dengan sebutan ini.
Jarangnya penggunaan Sang Beringin Legendaris ini mungkin
disebabkan sudah banyaknya logo yang menggunakan pohon sejenis seperti Partai
Kuning dan Sila Ketiga Pancasila, sehingga dikhawatirkan adanya kerancuan
persepsi masyarakat. Namun demikian, kedua elemen yang bertahta di titik nol
Jombang ini bagaikan dwitunggal yang tak bisa dipisahkan satu sama lain.
Kini dalam perjalanannya, Si Brokoli ini kembali tumbuh
lebat hingga hampir setara tingginya dengan watertoren di sampingnya. Meski
tidak lagi berbentuk conthong alias kerucut, tapi menjadi berbentuk seperti
centhong atau mirip brokoli, nama Ringin
Conthong tak bisa dihapuskan begitu saja dalam benak warga Jombang yang
membanggakannya. Dinas Pertamanan sepertinya juga sudah melakukan banyak
perbaikan, termasuk mengganti pagar keliling bundaran dan menghiasi taman
Ringin Conthong dengan lebih asri.
Di bawah rimbunnya Sang Pengayom, kadang dimanfaatkan para
tunawisma untuk tinggal. Terbukti saat Jombang City Guide mengambil beberapa
potret, tampak beberapa tunawisma sedang tidur dan anak-anak mereka berlarian
mendekati kami. Sebelum mereka meminta sesuatu, seketika Jombang City Guide
langsung wer-dor kabur. Bukan bermaksud pelit, tapi kami berharap supaya mereka
tidak terbiasa mengemis. Naudubilah.
Tunawisma |
Ringin Conthong, memang menyaksikan perkembangan Kota
Santri dari masa ke masa. Namun perjalanan waktu Jombang tidaklah indah disaksikan
bila warganya tidak sepenuh hati mengisi kemerdekaan ini dengan
prestasi-prestasi yang membanggakan. Semoga arus kuningisasi yang diderita
Jombang segera berakhir, dan masyarakatnya semakin makmur sejahtera. Aamiin
aamiin Yaa Robbal alamin.
Beringin Conthong
Bundaran Ringin Conthong
Titik Nol Jombang
Jalan Wahid Hasyim – Jalan Gus Dur – Jalan Achmad Yani --
Jalan Seroja
Desa Jombang, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jombang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar