Senin, 01 Juni 2020

Wisata Religi Gunung Pucangan : Pertapaan Keramat Sang Putri Mahkota Airlangga



Dalam Prasasti Pucangan yang masih tersandera di negeri seberang, disebutkan bahwa Raja Airlangga meresmikan lokasi pertapaan di lereng Gunung Pugawat. Lokasi suci itu kini dipercaya sebagai Wisata Religi Pertapaan Dewi Kilisuci di Situs Gunung Pucangan, Desa Cupak, Kecamatan Ngusikan, Kabupaten Jombang.

Pada bagian sisi Prasasti Pucangan yang berbahasa Jawa Kuno disebutkan bahwa tanggal 10 paro terang bulan kartika 963 saka, Raja Airlangga dengan gelarnya Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawiramottunggadewa memerintahkan daerah-daerah Pucangan, Brahem, dan Bapuri dijadikan sima untuk kepentingan pertapaan yang telah didirikannya.

Dipercaya, lokasi pertapaan Gunung Pucangan ini adalah salah satu tempat pelarian Raja Airlangga kala dikejar oleh musuh-musuhnya setelah peristiwa mahapralaya selain Sendang Made. Bisa jadi, lokasi ini merupakan tempat untuk pertapaan, sedangkan Sendang Made adalah tempat tinggal Sang Prabu. Kedua tempat ini berada dalam radius yang tak jauh, setidaknya untuk ukuran perjalanan di masa lampau.


Dalam pelarian bersama ‘asisten pribadinya’ yaitu Mpu Narotama, Airlangga berusaha mengumpulkan kembali loyalis Dharmawangsa Teguh, raja sebelumnya yang tewas dalam mahapralaya. Ken Bayan ditugaskan untuk kembali membangun pasukan, sedangkan Airlangga dan Narotama diceritakan melanjutkan perjalanan ke sebuah tempat suci yang didapat dari petunjuk bisikan gaib atau pawisik niskala yang berada di Gunung Pucangan.


Di salah satu puncak dalam gugusan Pegunungan Kendeng inilah, Prabu Airlangga melakukan pertapaan selama sekitar dua tahun. Di puncak Gunung Pucangan yang didominasi kontur lahan kapur ini pula, saat Sang Prabu memutuskan menjadi seorang pertapa berjuluk Resi Gentayu. Resi Aji Paduka Mpungku yang menjadi gelar karesiannya (Prasasti Gandhakuti, 1042M) memutuskan menjadi pertapa  setelah kematian permaisurinya, meletakkan takhtanya dan menanggalkan jabatan duniawinya.


Tak disangka, putri mahkotanya yang digadang-gadang sebagai pewaris takhta utama juga memutuskan untuk meletakkan jabatannya dan memilih menjadi pertapa. Adalah Mahamantri Rarkyan Hino Sri Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi (Prasasti Cane, 1021), putri sulung dari permaisuri Dewi Galuh Sekar Kedaton yang secara tak terduga memutuskan menjadi biksuni yang kemudian dijuluki Dewi Kili Suci.

Ada banyak lokasi yang menjadi tempat pertapaan yang dikaitkan sebagai lokasi petilasan Dewi Kili Suci, diantaranya Gua Selomangleng Kediri dan Gua Selomangkleng Blitar. Ini disebabkan, Sang Putri yang menjadi pertapa itu berpindah lokasi pertapaan dari satu tempat ke tempat lainnya. Hingga akhirnya menetap di pertapaan Gunung Pucangan tempat ayahandanya bertapa, sampai akhir hayat Sang Putri.

Kisah Dewi Kili Suci sendiri banyak tercatat dalam sejarah dan kisah-kisah lain dari kota tetangga, termasuk beberapa petilasannya. Bahkan Dewi Kili Suci dikenal dalam kisah Panji Asmorobangun dan Galuh Candrakirana yang kini menjadi kisah legenda di Bumi Daha, tempat yang diyakini sebagai Dahanapura, ibukota Kerajaan setelah ayahandanya meletakkan takhta. Disebutkan, Dewi Kilisuci adalah putri tertua dari Resi Gentayu dan kerap didengarkan pendapatnya raja dari Jenggala karena punya posisi yang sangat dihormati.


Sebutan Dewi Kili Suci juga punya asal mula sendiri sesuai keputusannya meletakkan jabatan putri mahkota. Kili sendiri berarti pertapa, suci artinya murni atau bersih. Diceritakan Sang Putri memang mengalami kedhi atau tidak pernah mengalami menstruasi sehingga dia disebut juga Rara Sucian. Sang Pertapa Perempuan itu kemudian dianggap sebagai wanita suci pepunden tanah Jawi. 

Dikatakan, Sang Putri memang memilih menjadi biksuni. Namun parasnya yang cantik dan posisinya sebagai putri mahkota kerajaan masih begitu menggoda para bangsawan lainnya untuk memperistrinya. Beberapa pelamar bahkan disebutkan memiliki kesaktian luar biasa, sehingga bila lamarannya ditolak maka dikhawatirkan akan membuat kericuhan.

Dalam legenda Gunung Kelud dikisahkan, untuk menghambat proses lamaran itu Dewi Kilisuci memberi berbagai macam syarat yang hampir tidak mungkin diwujudkan para pelamarnya. Salah satu yang paling terkenal adalah tantangan membuat dua sumur yang disanggupi oleh Mahesa Suro. Satu sumur harus berbau amis sedangkan lainnya harus berbau harum di Puncak Gunung Kelud. Kedua sumur harus selesai dalam satu malam, dan rampung sebelum ayam berkokok.


Saat sumur sudah tergali begitu dalam, dan siap ‘diincip’ aromanya. Atas tipu daya Sang Putri, Mahesa Suro dijerumuskan ke dalam sumur buatannya sendiri dan dikubur dengan batu hidup-hidup oleh prajurit kerajaan yang menjalankan perintah.

Mahesa Suro yang marah dan hampir mati sempat mengutuk bahwa setiap Gunung Kelud meletus, maka letusannya akan melumat wilayah Kediri. Tak disangka, perbuatan Sang Putri malah mengancam keselamatan rakyatnya. Setiap Gunung Kelud memuntahkan isi perutnya, selalu diartikan kemarahan arwah Mahesa Suro. Untuk menebus kesalahannya, Sang Putri makin mantap memutuskan untuk tidak menikah dan menjadi pertapa demi mendoakan rakyatnya supaya selamat dari amukan Gunung Kelud.

Tak diketahui kapan peristiwa lamaran berujung petaka itu terjadi, apakah sebelum Sang Putri Mahkota meletakkan jabatannya atau sesudah memutuskan menjadi biksuni. Sebuah legenda bisa jadi berasal dari kisah sejarah, namun keakuratan detailnya masih belum bisa dirinci kebenarannya.

Kisah dari Gunung Pucangan mungkin tak setenar legenda Gunung Kelud. Namun bisa menjadi pelengkap kisah mengenai Dewi Kili Suci. Masih sangat mungkin Sang Putri menghabiskan masa hidupnya di Gunung Pucangan. Pertapaan Gunung Pucangan jelas menjadi saksi lokasi pamoksan Sang Putri Mahkota, yang dicatatkan dalam sebuah prasasti agung yang memuat silsilah raja-raja Medang Wangsa Isyana.

Dari lokasi pamoksan putrinya inilah tampaknya Airlangga memerintahkan pembangunan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041M dengan menetapkan kawasan itu dalam Prasasti Pucangan tahun 1042M. Wilayah itu ditetapkan sebagai sima, berupa pertapaan yang juga untuk memenuhi janjinya kala penduduk setempat melindungi Sang Prabu selama masa pelarian.


Prasasti Pucangan sekaligus menjelaskan silsilah kerajaan dari nasab Airlangga yang punya darah Wangsa Isyana sekaligus mengabadikan asal-usul Sang Putri. Selain itu, sepertinya Prasasti Pucangan dibuat untuk mencatat kiprah Airlangga berikut mengingatkan bahwa pertapa perempuan yang berada di Gunung Pucangan itu sebenarnya merupakan putri mahkotanya yang harusnya mewarisi singgasana tertinggi di kerajaannya.

Dalam catatan OJO Brandes dikatakan, Prasasti Pucangan ditemukan di Karesidenan Surabaya. Sayangnya, tak disebutkan pasti dimana letak Prasasti Pucangan berasal secara rinci. Namun bila ditelusuri lebih dalam, kala itu karesidenan Surabaya mencakup Mojokerto, Jombang dan sekitarnya. Sedangkan wilayah administrasi era Belanda dan masa kini sudah berbeda. Jombang kini sudah berdiri sendiri sebagai kabupaten, setelah ‘dimerdekakan’ dari Mojokerto tahun 1910.

Banyak artikel yang menyatakan bahwa insitu Prasasti Pucangan berasal dari Mojokerto, tepatnya dari Gunung Penanggungan. Anggapan ini masih mungkin, mengingat di lereng Pawitra terdapat Candi Belahan dan Candi Jolotundo yang juga mencatat jejak Airlangga di gunung dengan sebaran situs terbanyak di Indonesia itu. Namun, anggapan itu agaknya kurang kuat karena tidak didukung oleh ‘jejak’ Dewi Kilisuci yang menjadi ‘alasan tersembunyi’ pembuatan Prasasti Pucangan.

Sangat mungkin lokasi insitu Prasasti Pucangan sebelum diboyong oleh penjajah Inggris itu berasal di Gunung Pucangan. Di lokasi yang menjadi tempat pertapaan putrinya yang disebutkan sebagai Gunung Pugawat itu, ditemukan empat buah lingga semu yang sepertinya dulunya menjadi penanda bahwa kawasan itu adalah desa sima yang ditetapkan Airlangga dalam Prasasti Pucangan.


Mungkin pula, karena kawasan Gunung Pucangan kurang tenar dibandingkan lereng Pawitra sehingga tak banyak yang mengetahui eksistensinya. Selain itu, Gunung Pucangan juga masuk dalam wilayah kekuasaan PERHUTANI Mojokerto, meski secara administratif masuk wilayah Jombang. Tak jarang memang, kawasan PERHUTANI melintas batas wilayah kota karena tapal batas area biasanya dibatasi oleh bentang alam.

Jombang dulunya merupakan bagian dari Mojokerto, jadi tak heran bila kerancuan dan kebingungan itu muncul karena perbedaan batas kota di masa kini dan masa lalu yang sudah berbeda, berikut tapal batas bentangan alam yang melintas kawasan administrasi kota. Bisa jadi pula, karena pengelolaan hutannya dilakukan petugas dari Mojokerto, seakan lokasi insitu Prasasti Pucangan seperti menenggelamkan Jombang sebagai ‘pemilik’ asalnya.


Gunung Pucangan sendiri, ada di dekat wilayah yang dipercaya sebagai Wwatan Mas kala itu. Dikatakan, penetapan sima dalam Prasasti Pucangan ini juga memiliki faktor sebab bahwa Airlangga tak ingin berada jauh dari putrinya. Wwatan Mas sendiri, disinyalir masuk di kawasan Jombang bagian utara Brantas dan sekitarnya. Jadi sangat mungkin Prasasti Pucangan yang sangat penting itu berasal dari pertapaan Gunung Pucangan.

Kini kawasan pertapaan Dewi Kilisuci masuk dalam Wisata Religi Gunung Pucangan itu secara administratif tergabung di wilayah Desa Cupak, Kecamatan Ngusikan, Kabupaten Jombang. Dulunya memang kawasan ini masuk wilayah Kecamatan Kudu, namun karena adanya pemekaran wilayah dari otonomi daerah akhirnya kompleks pertapaan ini masuk dalam kecamatan baru bernama Ngusikan. Jadi jangan heran bila membaca beberapa literatur yang menyebutkan kawasan ini berada Kudu, karena memang dulunya lokasi pamoksan Dewi Kili Suci masuk kawasan tersebut sebelum dilakukan pemekaran wilayah.


Lokasi yang dijadikan pertapaan itu kini memang berada di Gunung Pucangan, Jombang yang berbatasan dengan Lamongan, sebuah kawasan yang banyak ditemukan peninggalan-peninggalan Prabu Airlangga. Bahkan di Jombang saja, tak jauh dari pertapaan Gunung Pucangan juga banyak ditemukan prasasti peninggalan Airlangga, sebut saja Prasasti Made, Prasasti Sumber Gurit, Prasasti Katemas, Prasasti Garudamukha, Prasasti Kusambyan dan Prasasti Pucangan yang kini masih terpenjara dan dinanti pemulangannya.


Terdapat banyak struktur batu bata kuno di lokasi pertapaan, yang menguatkan tempat ini sebagai situs cagar budaya. Batu bata yang menjadi penyusunnya berukuran besar, khas batu bata kuno era kerajaan yang jelas punya dimensi lebih ‘wah’ dibanding batu bata kuno produksi modern. Bahkan tangga menuju lokasi pun terbuat dari batu bata kuno, yang mengindikasikan lokasi ini memang sebuah kompleks yang dibangun era kerajaan klasik.


Pondasi batu bata kuno yang ada kemudian ditambahkan batu bata baru dengan ukuran yang dibuat serupa, lalu dibangun musholla di atasnya. Di dalam musholla terdapat blok batu yang dicat biru, entah apa sebabnya. Namun blok batu bercat biru itu kini dijadikan salah satu umpak tiang musholla dan sudah menjadi benda cagar budaya yang dicatat dalam inventaris purbakala dari Jombang.


Pembangunan dilakukan aparat desa setempat dipandu warga dan TNI untuk memfasilitasi peziarah yang berkunjung. Memang, kompleks pertapaan itu, kini menjadi wisata religi yang kerap dikunjungi para peziarah. Banyak diantaranya menggunakan kunjungannya ini untuk memanjatkan doa, maupun berziarah.


Terdapat empat lingga semu besar yang ditemukan di lokasi, dengan ukuran dan bentuk yang hampir serupa. Meski sudah tidak insitu lagi, diperkirakan lokasi asal lingga-lingga tersebut masih berada di kompleks pertapaan ini. Lingga-lingga tersebut kuar diduga sebagai batas sima, yang merupakan lokasi yang ditetapkan Raja Airlangga sebagai ‘daerah istimewa’.


Terdapat satu lingga tepat di halaman depan musholla yang sayangnya kini dicat warna abu-abu oleh pengelola. Bisa jadi karena ketidaktahuan mereka mengenai perawatan benda cagar budaya, atau hal lain yang belum diketahui alasannya. Satu lingga lagi berada di lokasi yang tak jauh dari tiga makam kuno berpagar, sedangkan lingga lain kini ditancapkan sebagai nisan di dalam pesarean yang diyakini sebagai makam Dewi Kili Suci.


Disebutkan, Dewi Kili Suci meninggal dengan cara biasa, dan mengarahkan tubuhnya ke asimilasi diri ke Buddha-loka melalui latihan meditasi kebatinan buddhis. Di Indonesia, Dewi Kili Suci dikenal sebagai Mahasiddha Vajradhara. Namun bila dilogika lebih lanjut, Dewi Kilisuci adalah seorang pertapa yang pastinya tak memiliki makam seperti layaknya orang islam. Biasanya jenazah seorang buddhis akan dikremasi lalu abunya dilarung.


Menariknya, dua makam yang salah satunya diyakini adalah Dewi Kili Suci ada malah membujur ke barat-timur, bukan selayaknya pesarean pada umumnya yang membujur ke selatan-utara. Bisa jadi, yang dimakamkan di situ memang bukan beragama islam. Atau ada kemungkinan lain yaitu tempat itu bukanlah sebuah makam, namun hanyalah sebuah tancapan tugu yang dianggap nisan oleh penduduk setempat.

Masih banyak kemungkinan lain misalnya lingga-lingga semu itu sebenarnya berupa tetenger untuk suatu lokasi tertentu yang kemudian difungsikan sebagai tugu hingga akhirnya dikira nisan karena dipasang berhadapan. Bisa jadi pula sebuah penanda yang sebenarnya menyembunyikan sesuatu yang ada di bawahnya. Misalnya sebuah lorong pintu masuk rahasia atau sebuah peripih atau masih banyak kemungkinan lainnya yang hanya bisa diketahui kebenarannya bila dilakukan pembongkaran yang sangat tidak mungkin dilakukan.

Sejak era islam, tempat-tempat moksa para leluhur orang Jawa kerap divisualkan dalam bentuk makam. Jadi, pesarean yang ada di lokasi mungkin hanya sebuah bentuk maqom atau petilasan yang divisualisasikan menjadi sebuah makam. Hal ini dilakukan untuk mengikis sifat musrik dan menggantinya dengan tradisi ziarah.


Di lokasi juga banyak ceceran batu bata kuno, termasuk sebuah pondasi berbentu segi empat yang mungkin bagian dari bangunan pertapaan kala masih difungsikan. Makam-makam yang lain juga terbuat dari batu bata kuno. Selain itu ada sendang dan beberapa makam lain yaitu makam Eyang Ronggo, Maling Cluring dan Maling Adiguna yang dipercaya sebagai Robin Hood-nya penduduk setempat.


Ceritanya, Maling Cluring dan Maling Adiguna adalah pencuri yang punya kemampuan untuk memasuki lokasi target melalui sorot lentera yang keluar dari celah-celah dinding. Meski seorang maling, namun hasil rampokannya dari para orang kaya kerap dibagi-bagikan para warga sekitar. Dia dikenal baik hati dan banyak membantu warga sekitar sehingga dikenal sebagai maling budiman.

Kisah kedua Robin Hood dari Jombang ini berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda. Korban perampokannya pun biasanya adalah konglomerat Belanda yang pastinya geram akibat ulah mereka. Keduanya pun dijadikan buronan nomor satu, tapi karena mereka punya ajian kesaktian bernama Rawa Rontek jadi sulit tertangkap.


Tak diketahui apa hubungan kedua Robin Hood ala Jombang ini dengan Dewi Kili Suci dan mengapa keduanya dimakamkan di kompleks pertapaan Sang Putri. Bisa jadi mereka merupakan abdi dan pengawal Sang Putri kala meninggalkan Dahanapura. Namun bentuk makam yang mirip dengan tradisi islam dan cerita dari masa Kolonial Belanda sepertinya membuat timeline waktunya jadi tak sezaman. Sebuah kejanggalan yang mungkin masih belum terkuak kebenarannya.


Penduduk setempat menyatakan, ketika malam Jumat Legi adalah momen paling ramai di pertapaan ini karena peziarah dari berbagai kota datang untuk melakukan berbagai ritual, bahkan ada pula yang membawa sesajen. Ada pula yang membawa makanan lengkap dengan lauk pauknya untuk dikendurikan dan dimakan secara bersama-sama oleh mereka yang hadir di pertapaan keramat Gunung Pucangan ini.

Biasanya orang-orang yang datang berziarah ke lokasi ini adalah orang-orang yang punya ganjalan dalam hidupnya. Masalah ekonomi, usaha kurang lancar, belum mendapatkan jodoh maupun permasalahan hidup lainnya. Namun ada pula orang kaya juga berkunjung ke Pertapaan Gunung Pucangan untuk berdoa supaya posisinya makin mantap. Bahkan ketika musim pemilu tiba, biasanya lokasi ini akan ramai dikunjungi oleh para calon legislatif yang berlaga dalam pemilihan.


Beberapa diantaranya menyatakan bahwa mereka punya hajat dan mengirim doa untuk para leluhur. Harapannya bisa bermacam-macam, seperti agar keluarga yang sakit segera sembuh, yang belum mendapat pekerjaan segera mendapatkannya, supaya anaknya cepat lulus dengan nilai yang baik maupun kelancaran dalam karir dan usaha. Meski sebenarnya, semua itu hanya sarana untuk memantapkan keyakinan kala memanjatkan doa pada Yang Maha Kuasa.

Dikatakan pula, untuk menambah keampuhan kekuatan doa di Pertapaan Gunung Pucangan ini, biasanya peziarah disyaratkan untuk mandi terlebih dahulu di beberapa sendang yang tersebar di sekitar pertapaan. Memang, di sekitar pertapaan juga ada banyak sendang selain seperti Sendang Widodaren, Sendang Drajad, Sendang Darmo dan sembilan sendang di Sendang Made.


Setelah melakukan ritual pembersihan diri biasanya peziarah akan diantar oleh juru kunci. Doa pembuka biasanya dilakukan oleh juru kunci kemudian peziarah bisa langsung mengungkapkan maksud kedatangannya, baik dalam hati maupun dengan suara lantang. Tak sedikit pula yang menyampaikan maksudnya disertai nadzar. Terkabul-tidaknya, tergantung nasib masing-masing dimana tetap Allah yang menentukan. Namun semua peziarah harus bisa menata hati dalam tindak perilakunya, untuk selalu ikhlas, sabar dan tawakkal karena sering menjadi faktor penting keberhasilan seseorang dalam kehidupannya.


Gunung Pucangan sudah lama menjadi lokasi yang dijadikan tempat ngalap berkah. Sarana dan prasarana juga juga terus diperbaiki untuk memfasilitasi peziarah yang datang. Dibangun sebuah hall untuk pertemuan sederhana dan musholla yang dibangun sebagai lokasi berdoa bagi yang beragama muslim. Proyek reboisasi hutan juga sering dilakukan oleh PERHUTANI Mojokerto sebagai pemangku wilayah, yang kerap dihadiri pejabat tinggi dari Jombang.


Gunung Pucangan memang tidak semenjulang Pegunungan Anjasmoro di Wonosalam. Sebagai bagian dari rangkaian pegunungan Kendeng, lokasi yang berada di ketinggian membuat siapapun yang berada di tempat ini tetap bisa menyaksikan peradaban kota di bawahnya. Dari kejauhan tampak Kota Lamongan, karena lokasi ini meski masuk dalam wilayah Jombang, Gunung Pucangan berada di perbatasan keduanya.


Pengunjung yang ke lokasi akan meniti jalan yang lumayan makadam khas pelosok desa. Meski demikian, akses mobil masih memungkinkan hingga tangga menuju pertapaan. Akses berpaving juga sudah dibuat sehingga pengunjung lebih nyaman dalam meniti tangga menuju puncak pertapaan.

Di dekat lokasi juga ada batu bata kuno yang berserakan yang mungkin sisa dari candi pertapaan. Meski berasal dari tumpukan batu bata kuno, namun disimpulkan merupakan tatanan baru oleh pemerhati sejarah asal Kediri, Novi BMW. Terlihat dari tatanan bata yang renggang dan kuncen yang sudah tidak pada tempatnya.


Meski bukan lagi dalam bentuk aslinya, namun tatanan bata kuno itu masih bisa dianggap sebagai sisa Candi Pucangan yang menjadi bagian dari pertapaan di Gunung Pugawat seperti yang disebutkan dalam Prasasti Pucangan. Lokasinya yang menghadap lembah, membuatnya bisa jadi spot cantik untuk berfoto tentunya dengan posisi agak mbrasak karena sudah berserakan, dan tak menutup kemungkinan sudah jadi sarang hewan liar maupun memandangi indahnya kaki gunung dari kejauhan.


Sebagai lokasi yang dianggap keramat, beberapa pecinta sejarah menyarankan untuk berkunjung dengan pemandu atau setidaknya jangan datang sendirian. Mas Heru Widayanto salah seorang pecinta sejarah juga menyarankan untuk tidak menelusuri sudut demi sudut pertapaan tanpa kawan. Sebagai saran Jombang City Guide bisa merekomendasikan jupel Gurit yaitu Pak Badri, tentunya dengan menghubungi beliau untuk membuat janji dan menyesuaikan jadwal.

Bukit Jomblo, merupakan destinasi terbaru yang dikelola PERHUTANI Mojokerto selaku pemangku wilayah. Meski masuk KPH Mojokerto, namun secara administratif destinasi Bukit Jomblo bisa jadi alternatif wisata baru dari Jombang. Lokasinya juga masih berada di dekat kompleks pertapaan Gunung Pucangan.


Bagi para pecinta sejarah, tentunya tak boleh ketinggalan untuk melakukan tour de heritage sekitar Gunung Pucangan karena di kawasan ini banyak memiliki peninggalan dari masa Raja Airlangga. Sendang Made jelas menjadi kompleks yang paling populer, namun mengunjungi Prasasti Sumber Gurit dan Prasasti Kusambyan agaknya harus masuk dalam agenda. Belum lagi Gua Made yang mengagetkan para ilmuwan akibat penemuan di dalamnya.

Mampir ke lokasi insitu Prasasti Katemas juga bisa dijadikan jujugan, berikut berkunjung melihat doorpel sekaligus ke Candi Jaladri Keraton Bedander di Situs Jladri yang dipercaya pernah menjadi kedaton Airlangga dan Persembunyian Jayanegara. Belum lagi bakalan prasasti di Kecamatan Ngusikan dan mungkin masih banyak peninggalan lainnya yang tersebar di Kabuh dan sekitarnya.

Sebuah kawasan yang bentangannya begitu besar sebaran peninggalan purbakalanya. Belum lagi gunung-gunung di Kabuh yang mungkin merupakan bagian dari pemukiman kuno yang tak terjamah publikasi. Para pecinta sejarah pasti akan selalu terkagum-kagum dengan kawasan ini, yang diyakini sebagai lokasi penting yang diduga sebagai bagian dari ibukota kerajaan saat Sang Prabu Airlangga bertakhta. Siap-siap catat daftar jujugannya, tentukan rutenya supaya bisa dapat semua destinasinya.


Candi Pucangan
Situs Pertapaan Dewi Kilisuci
Gunung Pucangan, Desa Cupak,
Kecamatan Ngusikan, Kabupaten Jombang
Fb : Wisata Religi Gunung Pucangan
Pak Badri Jupel Gurit : 08560 828 5125


Matur nuwun untuk Mas Novi BMW atas pengamatan dan sarannya. Beberapa foto diambil dari gmaps dan dari berbagai sumber, termasuk berasal dari Jupel Gurit Pak Badri dan Pak Dodi dari Disbudpar. Masih menjadi mimpi untuk mengambil gambarnya langsung untuk memberikan potret yang lebih lengkap. Doakan terwujud.

Btw, Apriliya Oktavianti dari situsbudaya.id monggo kopas-kopas sepuas-puasnya ya. Nanti silakan pura-pura lupa cantumkan sumber seperti biasanya, 'kan ya??? Haseeek, hasek hasek haseeeekkk!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Jombang Lainnya

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...