Sabtu, 06 Juli 2019

Legenda Joko Mujung dan Sang Boklorobubuh dari Gunung Anjasmoro Versi Panglungan


Bentuk Puncak Kukusan yang ikonik memunculkan cerita yang berkembang di kalangan penduduk setempat. Legenda Joko Mujung dan Sang Boklorobubuh juga menjadi cerita yang berkembang turun temurun. Lekuknya yang menarik dan tak biasa, serta memiliki bentuk yang berbeda tergantung darimana kita melihatnya, memberikan kisah tersendiri. Ada beberapa versi, yang kali ini Jombang City Guide akan menceritakan dari edisi yang berkembang dari warga Panglungan.

Via Blentreng

Secara administratif, Puncak Kukusan masuk wilayah Mojokerto dan dapat dicapai paling aman meski tetap super ekstrim melalui Nawangan. Meski demikian, view terdekat berbentuk lancip bisa didapat melalui Blentreng, sedangkan panorama paling cantik dari kemegahan Kukusan yang ikonik adalah dari Panglungan, Wonosalam.



Pemandangan mempesona dengan puncak lancip sempurna bisa dilihat lewat Bulu View Gua Sigolo-Golo, yang hanya dibatasi Sungai Boro di bawahnya sebagai tanda perbatasan dengan Mojokerto.

Panorama dari Gua Sigolo-Golo : ada yang mau endorse kamera ta???

Dari bentuk yang lancip sempurna itu, muncul kisah tentang panorama cantik itu dari versi Panglungan. Legenda ini, merupakan kisah yang berkembang di kalangan penduduk setempat dari bentuk-bentuk geologi Anjasmoro yang berasal dari kacamata Panglungan.

via Panglungan


Dikisahkan, Joko Mujung adalah seorang pemuda yang akan dinikahkan dengan seorang putri dari Ratu Pantai Selatan. Ibunda Joko Mujung, adalah Roro Bubuh yang dipercaya merupakan seorang selir dari Raja Majapahit. Roro Bubuh memang berada dalam pengasingan di Wonosalam, dan tinggal di Lereng Anjasmoro yang lokasinya berada tak jauh dari Trowulan dan Istana Kerajaan Majapahit.

Ilustrasi (saja)

Siluet Deretan Pegunungan Anjasmoro dari Mojowarno

Sayangnya, tak disebutkan nama Sang Putri dari Penguasa Pantai Selatan yang akan dinikahkan dengan Joko Mujung, termasuk apa keistimewaannya sehingga terjadi perjodohan itu. Selain itu tidak jelas pula mengapa Roro Bubuh tinggal jauh di Lereng Anjasmoro, berikut siapakah raja yang dimaksud.


Bisa jadi karena persaingan selir, maupun keinginan Roro Bubuh sendiri yang ingin menyendiri dalam pertapaannya di puncak gunung. Tak heran, menurut para pendaki memang banyak ditemukan bekas petilasan pertapaan maupun arca yang tersebar di pegunungan Anjasmoro, yang dipercaya sebagai bagian dari peninggalan Sang Roro Bubuh.


Layaknya sebuah pernikahan, tentunya banyak persiapan digelar termasuk berbagai kue dan makanan yang disajikan untuk para tamu. Kue dan makanan yang akan disajikan juga sama dengan hidangan dalam pernikahan pada umumnya seperti kue lapis, nogosari dan nasi uduk. Bahkan disiapkan pula pagelaran wayang kulit untuk menghibur para tamu. Intinya, semua kru dan personel sedang sibuk dan bersiap untuk segala pernak-pernik pernikahan berikut kelengkapannya.

via Mendiro

Sejatinya, pernikahan dilaksanakan malam hari karena Sang Pengantin Putri berasal dari kalangan bangsa jin ya iyalah ‘kan putrinya Ratu Nyi Roro Kidul, dimana mahkluk halus memang menguasai dunia malam. Sepertinya acara ini semacam unduh mantu dimana pengantin putri datang ke kediaman pengantin putra. Namun tak disangka, pagelaran berlangsung terlalu lama, sehingga mereka tak sadar datangnya fajar menyingsing dengan ditandai ayam jantan berkokok tanda datangnya pagi disertai kilauan sinar mentari.

Lancip Sempurna : Puncak Kukusan saat terbit matahari via Wonosalam

Tamu-tamu yang sebagian berasal dari bangsa jin kalang kabut, mereka pergi kocar-kacir menyelamatkan diri karena sadar dengan kedatangan Sang Fajar. Katanya sih, bangsa jin akan berubah menjadi batu bila terkena sinar matahari, karena itu mereka lari kocar-kacir menyelamatkan diri.


Kisah mengenai bangsa jin yang takut dengan sinar mentari juga terjadi dalam kisah Roro Jonggrang yang mengelabui pasukan jin arahan Bandung Bondowoso dengan mengerahkan para wanita untuk memukul alu dan lesung hingga bunyinya bertalu-talu seperti tanda datangnya pagi. Selain itu juga tertulis dalam kisah JJ Tolkien dalam The Hobbit yang menceritakan tiga orang troll yang membatu karena terkena sinar matahari.

Sinar matahari masuk melalui celah bebatuan

The Hobbit Unexpected Journey : Troll yang membatu

The Hobbit Unexpected Journey : Ketiga Troll membatu karena terkena sinar matahari

Acara pernikahan jadi morat-marit, dimana banyak kue dan sajian makanan berserakan, ditinggalkan begitu saja oleh para tamu. Sajian kue lapis itu kini bisa disaksikan di lekuk-lekuk batu berlapis di Air Terjun Selo Lapis. Kawasan Coban Selo Lapis kini menjadi destinasi wisata alam naungan PERHUTANI, yang sebenarnya juga punya kisah tersendiri dan dipercaya merupakan reruntuhan candi dan pemandian para putri kerajaan.

'Kue Lapis' di Air Terjun Selo Lapis

Sedangkan nasi uduk yang masih dikukus, ditampilkan oleh Puncak Kukusan yang bentuknya seperti tutup kemukus, yang kadang asapnya masih mengepul, yang sebenarnya awan dari Gunung Welirang.


Selo Lumbung yang dipercaya sebagai tempat penyimpanan beras untuk acara, termasuk dapur untuk memasak sajian makanan untuk para tamu juga membatu, dan kini tinggal reruntuhannya.

Selo Lumbung

Pagelaran Wayang yang sejatinya menjadi acara hiburan untuk para tamu juga membatu membentuk semacam batu yang mirip dengan tampilan acara wayang di kaki bukit Selo Ringgit yang bisa dilihat dari Sungai Boro. Kisah ini pun akhirnya menjadikan inspirasi bukit yang ramai sebagai lokasi hiking ringan itu disebut Bukit Selo Ringgit, dimana selo artinya batu dan ringgit artinya wayang.

Bukit Selo Ringgit

Kisah wayang ini juga menjadi legenda dari kawasan Argowayang yang masih satu area dalam Gugusan Pegunungan Anjasmoro. Penduduk setempat bahkan menduga bahwa alunan gamelan wayang yang sering terdengar di kawasan inilah yang menjadi penyebab kacaunya sinyal yang mengakibatkan kecelakaan pesawat di Wonosalam pada tahun 1964. Puing-puingnya bisa dilihat dengan menuruni Puncak Cemorosewu.

Secuil dari puing-puing kecelakaan pesawat tahun 1964

Sedangkan ayam yang berkokok itu turut menjadi batu, yang bisa dilihat dalam bentu Watu Jengger yang memang bentuknya seperti jengger ayam raksasa. Diceritakan, Joko Mujung bersedih hingga sempat mengatakan siapa yang mendatangi lokasi Watu Jengger pun akan bersedih sepertinya. Maka dari itu lokasi Watu Jengger disembunyikan oleh para penjelajah lokal karena mengandung semacam ‘kutukan’ dari Joko Mujung.

The Real Watu Jengger : Batu berbentuk jengger ayam. Serius jangan kesana, BAHAYA

Selain itu di balik Puncak Kukusan juga terdapat air terjun yang dipercaya sebagai air kencing dari Jaran Dawuk atau Kuda Kelabu yang katanya merupakan Pegasus abu-abu atau unicorn?!?!?!?, kendaraan dari iring-iringan pengantin putri. Jaran Dawuk itu juga menjadi inspirasi tarian tradisional Jawa Timur selain tari Ngremo yang aslinya Jombang lho. Air terjun di puncak gunung itu mengalir hingga sekarang, yang hanya bisa disaksikan dari balik puncak kukusan via Nawangan.

Ilustrasi Jaran Dawuk di kala fajar menyingsing

Oro-Oro Ombo yang berarti padang lapang, dipercaya sebagai lokasi pendaratan iring-iringan pengantin karena begitu luas areanya, sehingga menjadi semacam ground yang cocok untuk acara pertemuan dan pernikahan.

Air Terjun di samping Puncak Kukusan

Air terjunnya kelihatan dari sisi ini

Beberapa hutan di kawasan Anjasmoro dinamai dengan nama kue, seperti Alas Nagasari karena kue-kue nogosari berserakan di sana pasca hancurnya acara pernikahan. Sempat ada sumber pula yang awalnya menamakan Gunung Anjasmoro dengan Gunung Nagasari, namun setelah ditelusuri lebih lanjut kisah itu masih menemui jalan buntu. Ada juga Alas Gelaran yang dipercaya sebagai lokasi dimana para penampil wayang dan pagelaran berlatih untuk performance dalam acara besar tersebut.

Puncak Kukusan : Mengintip dari balik pepohonan

Watu Lapis

Tak diceritakan bagaimana nasib pengantin putri yang iring-iringannya kabur karena datangnya Sang Fajar. Namun di Puncak Cemorosewu, terdapat batu berlapis yang strukturnya mirip dengan bebatuan di air terjun Selo Lapis. Batu berlapis itu kemudian disebut Watu Lapis yang dipercaya sebagai tempat pertapaan seorang putri. Apa mungkin ada kaitannya???

Tempat Pertapaan Sang Putri

Setelah melihat acaranya kacau balau, Joko Mujung pun duduk terdiam sambil meluruskan kaki di samping panci kukusan yang masih mengepulkan asapnya. Karena itulah dia disebut Joko Mujung, atau Joko Semujung karena kakinya yang sembujung melihat acaranya pernikahannya bubar.


Kemudian ibunya Roro Bubuh pun menghibur di sampingnya sambil meratapi sisa-sisa acara yang berserakan. Karena itu banyak yang bilang pegunungan Anjasmoro dari sisi yang ikonik ini tampak seperti orang yang sedang tidur atau meluruskan kakinya.


Sumber lain menyatakan bahwa Joko Mujung berasal dari kata joko yang artinya pemuda, dan mujung yang dalam Bahasa Sansekerta artinya berbaring atau tidur berselimut. Dimana kadang dari view tertentu terutama dari Bareng, Jombang, tampak di samping Puncak Kukusan yang ikonik itu terlihat seperti seseorang yang sedang tidur berbaring.


Posisi Kukusan, Boklorobubuh dan Joko Mujung dalam gugusan Pegunungan Anjasmoro memang berdekatan. Berbeda dengan Panglungan, Kawan dari Rejosari bahkan menyebut Puncak Kukusan dengan Puncak Boklorobubuh. Bisa jadi karena beda tampilan lekuk akibat sudut pandang yang berbeda.



Ibunda Joko Mujung yaitu Roro Bubuh ini diduga kuat sebagai asal muasal penyebutan Boklorobubuh, yang mungkin berasal dari kata Mbok Roro Bubuh. Mungkin karena logat maupun faktor kesulitan dalam pengucapannya akibat kurang familiar dengan legenda ini, akhirnya muncul banyak versi penyebutannya seperti Blakorobubuh, Blokrorobubuh, Bokrobubuh dan lain sebagainya. Yang jelas variasi penyebutan tersebut masih menyisakan bagian ‘bubuh’ secara utuh.


Sayangnya, kini tak banyak yang tau mengenai Legenda Joko Mujung dan Sang Boklorobubuh sehingga nama kawasan jadi berkembang liar. Kawasan itu juga kini banyak yang rusak karena tangan-tangan manusia yang tak bertanggung jawab. Padahal, Joko Mujung merupakan salah satu lokasi paling indah yang dikagumi penjelajah setempat.


Nama Bukit Joko Mujung jadi tenggelam, dan digantikan oleh para pemuda perintis wisata pendakian dengan Bukit Watu Jengger. Ironisnya, para pemuda itu malah tak paham dimana letak Watu Jengger yang asli karena lokasinya yang sangat ekstrim. Watu Jengger sempat menewaskan seorang pendaki karena mengunjunginya karena medannya yang begitu berbahaya. Jadi mungkin ‘kutukan’ Joko Mujung lebih pada letak Watu Jengger yang sangat berbahaya sehingga ada larangan untuk tidak mengunjunginya. Selain banyak hewan buasnya juga sih.


Itulah sepenggal kisah Legenda Joko Mujung dan Sang Boklorobubuh dari kawasan Anjasmoro versi Panglungan. Ada yang mengatakan legenda ini terjadi jauh sebelum era Majapahit karena merupakan cikal bakal terjadinya Gunung Anjasmoro. Semoga bisa menjadi tambahan wawasan serta mengambil hikmah dari kisah tersebut.


Mungkin ada versi lain dari ini yang bisa melengkapi satu sama lain. Berbagai versi dari legenda Joko Mujung dan Sang Boklorobubuh bisa jadi merupakan kekayaan cerita setempat yang harus dilestarikan, supaya anak-cucu kita mengetahui kisah lokal daerahnya sebelum terheran-heran dengan cerita dari kawasan lain.


Legenda Joko Mujung dan Sang Boklorobubuh
Puncak Kukusan - Pengunungan Anjasmoro
Versi Panglungan, Wonosalam, Jombang

Foto dari berbagai sumber : Matur tengkyu buat yang motret karena sangat bermanfaat, semoga jadi amal jariyah yang barokah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Jombang Lainnya

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...