Kamis, 04 Juli 2019

Kopi Jegidik : 'Sentuhan' Tupai dalam Cita Rasa Kopi Istimewa


Dunia sudah terlalu dibuai dengan kenikmatan Kopi Luwak. Jombang pun punya lokasi wisata penangkaran luwak yang memang memproduksi Civet coffee asli yang bukan sekedar kopi yang logonya diberi gambar musang. Lalu bagaimana kalau kopi yang sama, diproduksi dengan campur tangan tupai??? Jenis kopi yang serupa, tapi tak sama namun juga tak kalah nikmat dan eksotisnya. Sudah pernah mencicipinya? Atau malah baru dengar pertama kali??

Di samping sebagai penghasil durian, Wonosalam memang dikenal sebagai kawasan hamparan kebun kopi sejak masa kolonial Belanda. Kopi ekselsa, merupakan andalan Wonosalam karena varietas ini merupakan jenis kopi eksotis nan langka yang tak banyak dibudidayakan, tak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia.


Berawal dari kisah orang tua yang kerap mengkonsumsi kopi tupai di masa lampau, petani kopi di Wonosalam tak kehabisan ide untuk membuat kopi yang berbeda dari yang lain dan bisa dikomersilkan. Setelah diproduksinya kopi Luwak Ekselsa, adalah Kopi Jegidik yang merupakan jenis minuman berkafein yang diolah dengan sentuhan tupai sebagai perantaranya.

Walaupun punya peran yang sama dalam proses terciptanya kopi seperti Kopi Luwak yang tersohor itu, sejatinya Jegidik punya cara kerja tersendiri dalam mengolah biji kopi yang nantinya akan diambil dalam mengolah biji kopi yang nantinya akan diambil dan diolah oleh petani kopi setempat.

Sebutannya tak umum, kemudian dijadikan nama merek Kopi Jegidik. Jegidik jadi terdengar mirip dengan kata nJegidheg dalam bahasa Jawa yang artinya silent then doing nothing without answering. Julukan aneh ini diharapkan memunculkan rasa penasaran bagi yang membacanya sehingga bisa membuat sebuah branding yang menarik bagi konsumen.

Sejatinya, Jegidik merupakan sejenis tupai lokal yang moncong mulutnya panjang runcing dan gemar memakan berry kopi merah yang ranum. Sayangnya, petani kopi lokal tak mengetahui dengan pasti jenis spesies Tupai Jegidik ini. Yang jelas, tupai Jegidik ini jelas punya habitat di balik kemegahan Pegunungan Anjasmoro.

Berbeda dengan kopi luwak yang masih penuh kontroversi mengenai halal-haramnya karena tercampur kotoran hewan, Kopi Jegidik dijamin bersih dari keraguan akibat pro-kontra hukum akibat ‘feses ajaib’ itu. Biji Kopi Jegidik didapat dari ‘muntahan’ berry kopi sisa bekas dimakan oleh tupai.

Jadi, tupai-tupai tersebut dipelihara dan secara rutin diberi berry kopi yang matang. Kemudian mamalia yang menjadi kawan Spongebob dari Texas itu akan memakan daging berry-berry kopi yang disediakan. Seperti layaknya manusia yang makan durian, tentunya yang dimakan adalah daging buahnya, sedangkan bijinya kemudian dilepeh. Dari lepehan tupai ini biji kopi yang mengandung air liur chipmunk ini kemudian dikumpulkan dan diproses menjadi kopi Jegidik.

Jenis kopi yang dimakan oleh tupai-tupai ini pun harus jenis ekselsa yang memang punya karakteristik daging berry kopinya tebal dengan biji kecil. Tupai-tupai itu biasanya tak suka jenis kopi selain ekselsa karena berry kopinya kurang tebal. Miriplah dengan manusia yang suka makan durian, pasti lebih kenyang dengan durian yang tebal dan berbiji kecil.

Ibaratnya tupai ini merupakan perantara sebagai ‘mesin’ pengupas berry kopi dimana mereka memakan daging berry kopinya sedangkan manusia membutuhkan biji kopinya. Kopi ekselsa yang kurang populer di dunia kopi karena berdaging tebal dan bijinya kecil, malah menjadi keunggulan unik dari Kopi Jegidik.

Kopi Jegidik jadi makin istimewa karena yang didapat dengan bantuan insting langsung dari sortiran tupai. Petani kopi sangat terbantu dari tajamnya penciuman Jegidik dalam memilih kopi terbaik, karena tupai ini hanya memilih kopi terbaik dalam menu makanannya. Kopi Jegidik pun menjadi sangat langka karena menjadi biji kopi pilihan yang benar-benar standar kualitas dari Sang Jedigik.

Sama dengan kotoran dari luwak liar yang mengandung kopi saat ditemukan di kebun kemudian dikumpulkan, ide pengolahan Kopi Jegidik berawal dari banyak ditemukannya biji-biji kopi yang ditemukan berserakan sehabis dikrikiti tupai liar. Setelah dikumpulkan dan diolah, didapat rasa kopi baru yang begitu unik dan berbeda dari yang lain. Sebuah cita rasa baru yang tak hanya nikmat tapi juga benar-benar langka.

Karena ingin memperbesar kapasitas, kemudian tupai ditangkarkan supaya Pak Sampiyo Sang Petani Kopi Jegidik tak kesulitan mengumpulkan biji kopi berliur tupai. Akhirnya berhasil ditangkarkan tiga tupai yang akhirnya satunya kabur di kandang belakang rumahnya untuk produksi kopi unik ini. Meski demikian, ‘perburuan’ biji kopi sisa dikrikiti tupai di kebun tetap berlanjut.

Awalnya Jombang City Guide tak tahu menahu mengenai kopi ini. Saat melihat bannernya, hanya berpikiran sebuah kopi yang punya merek bergambar tupai yang lucu sebagai brand name-nya. Mungkin pemikiran ini muncul akibat keracunan pola pikir kopi nasional yang hanya memasang gambar luwak dalam mereknya namun tak menggunakan hewan tersebut dalam produksinya.

Saat bertamu ke kediaman Pak Kasun di Sumber, kebetulan kopi menjadi sajian yang disediakan, bersamaan dengan durian lokal Wonosalam. Ketika pertama kali mencicipi kopinya, rasanya begitu pas, dan aroma kopinya begitu harum, tidak seperti kopi pada umumnya. Usut punya usut, rupanya Pak Kasun pun menjelaskan bahwa inilah Kopi Jegidik yang gambarnya tupai imut itu. Wow.


Menariknya, Kopi Jegidik selalu mendapat ulasan positif dari kawan-kawan Jombang City Guide yang kebetulan diberi oleh-oleh kopi tupai ini. Umumnya mereka menyatakan hal yang senada, dimana semerbak aroma Kopi Jegidik menyebar ke seluruh ruangan saat kopinya terkena air mendidih saat disajikan. Rasanya tak seasam kopi luwak tapi begitu unik sekaligus tetap nikmat saat diseruput. Rasanya pas, tapi mantap, begitu mereka mengomentarinya.

Kedai Rumah Durian Bu Sulami

Kopi Jegidik dijual di Lapak Durian Bu Sulami dan Kedai Rumah Durian Bu Sulami, yang juga menjual Durian Bakar Cantik ala Wonosalam. Harga kopi yang lebih langka dari kopi luwak ini pun masih dibilang terjangkau, dengan kisaran Rp. 7.000,- per cangkirnya. Terdapat pula kemasan kopi bubuk dengan gambar tupai yang imut, yang sangat cocok untuk oleh-oleh khas Jombang. Pun bila penasaran ingin mencicipinya, kopi ini sudah dijual secara online di beberapa aplikasi jual-beli oleh Sang Petani Kopi Jegidik.

Lapak Durian Bu Sulami : Itu kelihatan sedikit banner kopi Jegidiknya

Sebenarnya, selain Kopi Jegidik ada kopi lain yang juga dibuat dengan campur tangan tupai di Indonesia. Kopi Toratima dari Pipikoro, Sulawesi Tengah adalah kopi yang ‘menggunakan jasa’ tupai Tangali. Kopi tersebut juga sama langkanya dengan Kopi Jegidik, bedanya kopi Toratima berasal dari berry kopi Robusta. Bisa jadi, karena kawasan itu tak mengenal kopi ekselsa yang dagingnya tebal dan digemari para tupai.
Dunia perkopian internasional mengenal empat jenis binatang yang menjadi perantara produksi kopi nikmat : Luwak (Indonesia), Gajah Dung (Thailand), Burung Jacu (Brazilia), dan Kera (Taiwan). Dari Kopi Toratima dan Kopi Jegidik, kini sepertinya Indonesia bolehlah menahbiskan diri sebagai penyumbang kontingen tambahan dari jenis tupai sebagai yang kelima. Para pecinta kopi, mana ilernya???? Eh. Suaranyaaaa??????

Kopi Jegidik
Jalan Arjuno,
Dusun Sumber, Desa Wonosalam,
Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang
Rumah Durian Bu Sulami (Weni : 0855 4676 8860)
IG : imah_neda
Lapak Durian Bu Sulami (0857 3546 4040)
IG : kopi_jegidik

Kalau Kopi Luwak kan Civet Coffee ya. Kalau Kopi Tupai apa?
Chipmunk Coffee???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Jombang Lainnya

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...