Anjasmoro
Selatan memang masih begitu rimbun sehingga masih banyak potensi di daamnya
yang belum terkuak. Salah satunya adalah tatakan batu berundak mirip sebuah
altar pemujaan yang berada di lereng gunung di Dusun Jarak Kebun, Desa Jarak,
Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang. Penduduk setempat kerap menyebutnya
tapakan, yang berasal dari kata pertapaan.
Susunan
batu ini tampak membentuk sebuah tangga dengan batu andesit sebagai penyusunnya.
Menariknya, bentuk bebatuan penyusun ‘candi’ ini bukan berupa balok tapi berupa
lempengan batu layaknya tembok batu alam yang biasa dijual di toko bangunan. Tapi
ukurannya sangat besar dan lebar, dengan ketebalan sekitar 8cm dan ditata
sedemikian rupa menjadi susunan punden berundak. Penduduk setempat percaya
susunan lempengan bebatuan ini merupakan sanggar pamujan atau sanggar pemujaan.
Undak-undakan
yang menghadap ke barat ini sementara ini tersisa sebanyak 29 anak tangga yang
terbagi dalam tiga kelompok tangga. Karena jumlah inilah, tapakan ini kerap
disebut Tapak 29. Dikatakan sementara, karena yang tercatat oleh sumber lokal
adalah 29 anak tangga dan akan bisa bertambah jika ditemukan lagi yang lainnya
atau bahkan berkurang seiring dengan berjalannya waktu. Bisa rusak, atau
dijarah tangan-tangan tak bertanggung jawab.
Tiga
kelompok tangga ini tampaknya memiliki arti khusus dalam pembuatannya. Biasanya,
undak-undakan ini memang dibuat terpisah kelompoknya karena menandakan
tingkatan tertentu atau mengartikan tahapan pencapaian saat dilakukannya ritual
di sini. Seperti undak-undakan dalam Candi Borobudur, pastinya undak-undakan
ini memiliki tingkatan yang masing-masing punya arti tertentu. Sayangnya
Jombang City Guide belum memiliki kompetensi untuk memahaminya. Mungkin ada
yang bisa bantu???
Undak-undakan
yang juga pernah disebut Tapakan Indrajit ini diperkirakan berada di ketinggian
1300 mdpl ini sepertinya didesain untuk hanya dilalui satu orang saja saat
meniti anak tangganya. Entah darimana asal penyebutan Indrajit dalam
julukannya, yang jelas undak-undakan ini juga memiliki pagar di samping
kanan-kirinya sepanjang titian anak tangga. Pagarnya bahkan ada yang setinggi
pundak manusia Indonesia dewasa.
Di akhir
titian tangga, terdapat berupa tumpukan batu yang ditata melingkar. Bisa jadi
ini merupakan semacam altar yang digunakan untuk puncak pemujaan dan ritual
yang dilakukan kala tapakan ini masih difungsikan. Lingkarannya tak sempurna,
dan juga diberi batu lainnya yang panjang dengan posisi berdiri yang mungkin
untuk menahan susunan lingkaran agar lebih kuat.
Jombang
City Guide memang sangat awam dalam sejarah, namun melihat bentuk lempengan
bebatuan yang ditemukan berikut bentuk undak-undakannya, sepertinya ini semacam
punden berundak dengan dolmen sebagai puncak ritual. Jadi, undak-undakannya itu
jelas merupakan tangga yang digunakan untuk prosesi ritual tertentu, sedangkan
di altar di akhir tangga merupakan sebuah dolmen.
Dolmen
sendiri, bisa dikatakan merupakan meja batu tempat pemujaan dan meletakkan
sesaji yang dipersembahkan pada roh nenek moyang. Di bawah dolmen biasanya
terdapat kubur batu atau meletakkan jenazah orang yang dihormati kala itu.
Seperti namanya, kubur batu ini memang terbuat dari batu karena bertujuan
menghindarkan jenazah dari ancaman hewan buas. Biasanya dolmen memiliki kaki
batu yang banyak atau disusun kokoh sampai jenazah tertutup rapat dilindungi
oleh bebatuan.
Kok malah diduduki lhoooooolholololo |
Biasanya
di dekat dolmen terdapat patung atau menhir sebagai pelengkap pemujaan.
Sayangnya di tapakan indrajit ini tak ditemukan keberadaannya. Ada beberapa
batu bundar yang berlubang dan lempengan bebatuan lainnya.
Menurut
penduduk setempat, dulunya ada banyak berserakan lempengan bebatuan ini. Bahkan
dikatakan sampai sekarang lempengan ini masih berserakan sepanjang punggungan
Gunung Gede Anjasmoro kawasan selatan. Bisa jadi, dulunya lempengan ini merupakan
semacam jalan setapak khusus yang mungkin saja sebagai jalur penghubung antar
tapakan. Jadi sangat mungkin ada bangunan lain yang belum ditemukan, atau sudah
rusak tak berbekas.
Sayangnya,
karena ketidakpahaman akan kelestarian benda cagar budaya, penduduk
menggunakannya untuk alas jalan makadam untuk infrastruktur desa, dan
menganggap bahwa para nenek moyang memang menyediakannya untuk kebutuhan anak
cucunya di masa kini. Jadi yang bisa kita lihat sekarang adalah sisanya dari
banyaknya lempengan batu yang terserak sepanjang punggungan Gunung Gede.
Beberapa pemuda dan sumber online menyatakan situs tapakan ini merupakan peninggalan Indrajit atau Raja Brawijaya, atau raja lainnya yang mungkin ada hubungannya dengan Eyang di Gunung Kawi. Namun jika
dilihat dari bentuknya, susunan bebatuan ini tampak jelas bukan dari masa
kerajaan kuno, tapi jauh sebelumnya. Jombang City Guide mungkin masih sangat
dangkal tentang ini, namun menebak bahwa situs ‘Tapakan Indrajit’ ini
adalah peninggalan dari masa megalitikum.
Belum diketahui
apakah Balai Purbakala Jawa Timur mengetahui keberadaan situs kuno ini. Tampak
belum ada tanda-tanda jejak mereka di sana. Kalaupun belum, berarti harus segera
ditindaklanjuti seupaya segera ‘diamankan’ dengan undang-undang perlindungan
purbakala. Kira-kira lapor ke mana ya??????
Situs Tapak
29 – Tapakan Indrajit
Dusun Jarak Kebun, Desa Jarak
Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang
More Information : Mas Suwanto Hari –
Tidak ada komentar:
Posting Komentar