Senin, 02 Juli 2018

Candi Jaladri Keraton Bedander : Peninggalan Airlangga, Petilasan Jayanegara


Berhasilnya misi arkeologis pembacaan Prasasti Kusambyan seakan menguak detail-detail penting yang makin menahbiskan vitalnya peranan Jombang di masa lampau. Jombang kawasan utara Brantas melekat citranya sebagai salah satu DAS Brantas yang terkenal sebagai lokasi sentral nan subur. Di balik bentang alam sekitar pegunungan Kendeng, ternyata menyimpan kisah sejarah dan cikal bakal kejayaan kerajaan kuno di nusantara.


Meski Prasasti Kusambyan sudah pecah berkeping-keping, beberapa bagian bongkahannya masih terbaca. Salah satu yang berhasil dibaca mengenai keberadaan sebuah kediaman penting bernama Medander. Sebuah detail tentang Medander yang disebutkan sebagai kedaton menjadi sangat penting karena tak disebutkan dalam prasasti peninggalan Prabu Airlangga lainnya.



Madaṇḍĕr yang dimaksud dalam Prasasti Kusambyan kemudian diidentifikasi sebagai wilayah situs kuno Jladri yang memiliki spesifikasi lengkap sebagai lokasi persinggahan raja. Lokasinya yang ada di ketinggian 64 mdpl di puncak Gunung Jeladri, kini masuk wilayah Dusun Bedander, Desa Sumber Gondang, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang dan letaknya tak jauh dari lokasi Prasasti Kusambyan berada.


Gunung Jeladri memang tak terlalu menjulang, namun juga mencakup wilayah Dusun Dander, Desa Manduro, yang juga masuk Kecamatan Kabuh. Desa Manduro kebetulan banyak dihuni orang Madura yang dikenal punya dialek khas. Logat paling mudah dikenali yaitu mereka kerap  melafalkan sebuah kosa kata dengan menghilangkan suku kata awal.

Bila diteliti lebih lanjut, logat setempat bisa juga berpengaruh pada penyebutan Bedander menjadi Dander yang kini menjadi kawasan dimana kompleks purbakala berada. Jadi sangat mungkin bila toponimi Dander berasal dari nama Bedander yang sangat mungkin berubah akibat dialek khas penduduk setempat.


Kedua toponimi Dusun Bedander Desa Sumber Gondang dan Dusun Dander Desa Manduro jelas memiliki kemiripan dengan Madaṇḍĕr meski tetap harus dibuktikan secara ilmiah. Di sekitar kompleks situs banyak ditemukan benda-benda purbakala yang disinyalir berasal dari lintas era dan jelas bernilai arkeologis tinggi. Termasuk beberapa punden yang berada dalam satu lokasi.


Dari pembacaan Prasasti Kusambyan yang menjadi satu-satunya bukti arkeologis tentang eksistensi keraton Medander, dikatakan kediaman itu rusak karena sering diserang oleh musuh. Pembacaan prasasti di baris kesebelas menyatakan : "..ri kāla nikanaŋ śatru si cbek °an tamolaḥ madwal makadatwan °i madanḍĕr..", yang artinya "..pada saat musuh si Cbek terus menerus merusak keraton di Madaṇḍĕr..".


Kalimat molah madwal makadatwan i madaṇḍĕr dapat diartikan adanya kejadian pengrusakan terhadap keraton Maḍaṇḍĕṛ yang jika dihubungkan dengan kalimat sebelumnya, ri kāla nikanaŋ śatru si cbek °an yang memunculkan dugaan bahwa rusaknya keraton disebabkan oleh serangan musuh secara terus menerus.

Peristiwa pengrusakan itu adalah hal yang sangat mungkin terjadi, karena setelah lepas dari pelariannya di permulaan pemerintahannya Airlangga banyak melakukan peperangan untuk membangun kembali kerajaan yang telah hancur karena serangan Raja Wurawari. Dengan disebutkannya Maḍaṇḍĕṛ sebagai keraton yang telah rusak, maka kediaman ini kemungkinan besar pernah menjadi tempat tinggal Airlangga.


Sayangnya, angka tahun penanggalan Prasasti Kusambyan tak lagi terbaca sehingga tidak diketahui kapankah kediaman itu diserang sehingga tak bisa pula ditarik perkiraan masa dimana Medander dijadikan keraton. Penanggalan yang tak terbaca juga mengakibatkan sulitnya memastikan di mana Airlangga berkeraton ketika Prasasti Kusambyan dikeluarkan. Faktanya, selama masa pemerintahannya Airlangga setidaknya tiga kali pindah keraton, yaitu di Wwatan Mas, Kahuripan, dan Dahanapura.

Penulisan molah madwal makadatwan i madaṇḍĕr  tidak lazim dalam penyebutan keraton yang menjadi tempat tinggal raja bila dibandingkan dengan penyebutan kediaman raja dalam prasasti-prasasti lainnya. Pada umumnya ditulis śrī mahārāja makaḍatwan i tamwlaŋ (Śrī Mahārāja berkeraton di Tamwlang) seperti yang dituliskan dalam prasasti Turyyān (829 M.).

Bisa juga dituliskan maŋrakṣa kaḍatwan rahyaŋta i mḍaŋ i bhūmi matarām i... (para dewa yang menjaga keraton di Mḍang di kerajaan Matarām), yang kemudian disebutkan nama lokasinya. Sedangkan dalam prasasti Paraḍaḥ (943iM.) dituliskan maŋrakṣa kaḍatwan rahyaŋta i mḍaŋ i bhūmi matarām i watugaluḥ (para dewa yang menjaga keraton di Mḍang di kerajaan Matarām yang terletak di Watugaluh). Tidak lazimnya kalimat tersebut dapat dimaklumi, karena tidak seperti prasasti lainnya yang mempunyai konteks menjaga keraton (Titi Surti, 2013)


Dalam prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh Śrī Mahārāja Rakai Sumba/ Rakai Pangkaja Dyah Wawa (924 M. - 928iM.), maḍaṇḍĕr adalah nama tempat kedudukan samgat momahumah, seperti yang disebutkan dalam prasasti Sangguran (928 M.) dan Paṇgumulan III (928 M.). Medander sudah disebutkan di dalamnya sebagai kediaman Samgat Momahumah, yang merupakan pejabat yang mengurusi perumahan.

Dyah Wawa merupakan raja Mataram Kuno terakhir dari periode Jawa Tengah Dinasti Syailendra yang setelahnya baru digantikan Mpu Sindok yang memulai dinasti baru Wangsa Isyana di Kerajaan Medang Kamulan periode Jawa Timur. Pada masa pemerintahan Dyah Wawa, ada dua pejabat yang memegang jabatan sebagai samgat momahumah, yaitu yang berkedudukan di Maḍaṇḍĕṛ dan yang berkedudukan di Aṅgĕhan.

Dalam prasasti Sangguran yang masih tertawan di Negeri Ratu Elizabeth ditulis sebagai berikut: umiṅsor i samgat momahumah kalih maḍaṇḍĕr pu padma aṅgĕhan pu kuṇḍala (diturunkan kepada samgat momahumah berdua, yaitu [yang berkedudukan di] Maḍaṇḍĕr [bernama] Pu Padma dan [yang berkedudukan di] Anggĕhan [bernama] Pu Kuṇḍala). Maḍaṇḍĕṛ dan Anggĕhan sebagai tempat diperkuat dengan kalimat yang menyebutkan tentang kedudukan parujar (juru bicara) dari sang tuhān tuhān i pakaraṇān, salah satunya berasal dari Maḍaṇḍĕṛ.


Jika berdasarkan prasasti keluaran Dyah Wawa yang masih dalam periode Jawa Tengah dari Dinasti Syailendra, dapat dipastikan lokasi Medander sudah ada sebelum masa Airlangga berkuasa, bahkan bisa dikatakan sudah eksis sebelum era pemerintahan Mpu Sindok.  Airlangga sendiri merupakan penerus Wangsa Isyana, setelah Mpu Sindok mendirikan dinasti barunya dalam kerajaan Medang Kamulan periode Jawa Timur.

Jadi jelas, Maḍaṇḍěr yang bahkan sudah eksis sebelum era Wangsa Isyana adalah daerah penting sehingga keputusan Airlangga mendirikan keraton di wilayah itu sangat masuk akal. Airlangga tak perlu lagi membuka lahan dan membangun bangunan baru lagi untuk dijadikan kediaman. Wilayah itu sudah menjadi tempat dari pejabat tinggi kerajaan yang mengurusi perumahan, jauh sebelum Airlangga bertakhta.


Bedander juga semakin menarik kala disebutkan dalam teks Kitab Pararaton yang menjadi titik balik karir Mahapatih Amangkubumi Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit. Disebutkan dalam kisah terkait Raja Jayanegara :
"..Kemudian muncul peristiwa (pemberontakan) Ra Kuti. Ketika Ra Kuti belum mati, raja (Jayanagara) bermaksud diungsikan pergi ke Badander. Perginya pada waktu malam, tidak ada seorangpun yang tahu, hanya diiringi oleh pasukan Bhayangkara, semuanya yang kebetulan menjaga ketika raja pergi, ada sebanyak lima belas orang.
Pada waktu itu Gajah Mada menjadi Bekel (kepala pasukan) Bhayangkara, kebetulan waktu itu mendapat tugas menjaga, itulah sebabnya dia mendampingi raja ketika pergi. Lamalah raja di Badander.."

Kalagemet

Dari kisah yang tertera di Kitab Pararaton didapat bahwa Baḍaṇḍĕṛ merupakan nama desa yang menjadi lokasi evakuasi Raja Jayanagara akibat pemberontakan yang dilakukan Ra Kuti. Memang, selama pemerintahan Prabu Jayanegara, banyak terjadi pemberontakan akibat ketidaksukaan para pejabat kerajaan pada yang berjuluk Kalagemet itu. Pemberontakan bahkan dilakukan oleh darmaputra yang merupakan pejabat istimewa semasa ayahandanya yaitu Raden Wijaya bertahta.

Dikatakan pemberontakan Ra Kuti ini merupakan yang paling parah, sehingga Jayanegara harus diungsikan keluar istana. Istana Majapahit berhasil diduduki oleh pemberontak sehingga harus dilakukan upaya penyelamatan Raja Jayanegaran pada malam hari menuju Baḍaṇḍĕṛ. Sang Raja ditemani oleh lima belas bhayangkari yang merupakan pasukan pengawal raja pimpinan Gajah Mada.


Pararaton kembali menyatakan bahwa cukup lama raja mengungsi di Badander, namun tak disebutkan berapa lama tepatnya berada di sana. Beberapa riwayat ada yang menyatakan seminggu, dan lainnya menyatakan dalam hitungan bulan. Namun belum ada bukti sejarah konkret mengenai lamanya raja berada di pengungsian, selain kisah penduduk setempat yang menyatakan raja berdiam selama seminggu.


Selama dalam masa pelarian, Gajah Mada melarang keras semua pengawalnya meninggalkan Bedander demi menjaga rahasia lokasi persembunyian. Diceritakan, suatu hari seorang abdi pengalasan minta izin pulang. Pengawal tadi bersikeras untuk pulang sedangkan Gajah Mada tetap tak mengizinkannya. Berhubung pengawal tadi tetap memaksa, akhirnya Gajah Mada pun menusuknya dengan keris. Pengawal yang tak disebutkan namanya itu pun tewas. Pertanyaannya : Jika satu tewas tertusuk keris, tinggal berapa pengawal dari pasukan bhayangkari yang tersisa??? Apaan sih.


Maksud tindakan Gajah Mada jelas. Tidak boleh ada yang mengetahui lokasi pengungsian raja di Bedander. Gajah Mada khawatir jika tempat pengungsian raja sampai bocor, Kuti akan memerintahkan pasukannya mengejar dan membunuh raja. Gajah Mada pun masih ingat betul bagaimana peristiwa terbunuhnya Ken Arok, moyang Raja Jayanagara, pendiri dinasti Rajasa yang mati ditusuk keris juga oleh seorang pengalasan, ketika sedang makan malam. Setelah itu selama lima hari di Bedander, Gajah Mada mohon diri untuk melihat keadaan Majapahit pasca pendudukan pemberontak. 


Dari catatan peristiwa ini, terjadi banyak klaim dimana lokasi tepatnya Bendander berada. Desa Bedander di Blitar dan Dusun Dander di Bojonegoro menjadi daerah lain yang juga mengklaim wilayahnya sebagai lokasi pelarian Jayanegara. Kedua wilayah tersebut juga mengklaim kawasannya sebagai lokasi pengungsian Sang Raja. Namun, klaim tersebut agaknya tak didukung data historis dan bukti arkeologis berupa peninggalan purbakala dan jejak sejarah yang mendukung peristiwa ini di sana.

Sedangkan buku sejarah nasional menuliskan Dander yang dimaksud adalah yang di Bojonegoro, sebuah kesalahan kecil yang luput dari detail kronologis pelarian Jayanegara. Dari analisa asal usul Gajah Mada, agaknya Dusun Bedander di Jombang menjadi kawasan yang paling kuat sebagai lokasi pelarian Jayanegara. Ini didapat dari lokasi Kecamatan Kabuh yang berbatasan langsung dengan Lamongan Selatan, kampung halaman Sang Mahapatih Amangkubumi.


Letak Bedander berada sangat dekat dengan Gunung Ratu yang merupakan lokasi makam Dewi Andongsari, Ibunda Gajah Mada. Bedander juga tak jauh dari Desa Modo, yang merupakan tempat Gajah Mada dilahirkan. Diduga kuat, Gajah Mada mengungsikan Raja Jayanegara ke Bedander karena pertimbangan penguasaan medan dan perlindungan warga setempat karena dekat dengan tanah kelahirannya.

Lokasi Bedander juga masih tak jauh dari Mojoagung dan Trowulan. Yang bisa dianalisa bila sebuah pelarian yang terhitung dilakukan malam hari kala gelap gulita, dan detail yang menyebutkan setelah lima hari di lokasi persembunyian Gajah Mada pun kembali ke istana. Bisa dihitung bahwa lokasi Bedander yang dimaksud pasti tak terlalu jauh dari Mojoagung dan Trowulan, yang bisa ditempuh dalam waktu cepat. Bayangkan bila ada di Bojonegoro atau Blitar, pastinya durasi perjalanan jelas lebih panjang.

Seperti dalam ekspedisi Laskar Mdang yang menyatakan kawasan ibukota Majapahit mayoritas berada di wilayah Jombang yang istananya dilindungi oleh sabuk kanal. Pengungsian Sang Raja dilakukan ke tempat yang aman tapi harus tersembunyi namun harus dilakukan secara cepat. Bila dilakukan hingga Blitar dan Bojonegoro agaknya terlalu jauh, sedangkan di sisi lain kawasan Gunung Jaladri yang terpencil namun memenuhi segala kelengkapan standar kerajaan sepertinya jadi pertimbangan utama Sang Bekel Muda.


Ada sebuah detail tambahan lain yang menarik yang didapat dari cerita penduduk desa lain. Dari kisah penduduk Jatiduwur dikatakan, awalnya rombongan prajurit Bhayangkari pimpinan Gajah Mada sempat singgah ke Jatiduwur untuk menempatkan raja dan melihat situasi keamanan. Kemudian, setelah kondisi lebih kondusif Jayanegara kemudian dinaikkan ke perahu menyeberangi Sungai Brantas dari kanal Jatiduwur menuju Modo. Namun, sebelum sampai ke Modo, Jayanegara minta berhenti dan tak mau melanjutkan perjalanan. Kawasan tempat berhenti itu diyakini adalah Bedander.

Merupakan suatu kecenderungan dimana jika dalam situasi gawat, penguasa akan berusaha menyelamatkan diri ke daerah asalnya dimana dia dilahirkan dan dibesarkan. Ada kawan semasa kecil dan guru silat yang bisa dimintai pertolongan. Keakraban dengan penduduk setempat jelas merupakan senjata yang ampuh karena menjadi suatu dukungan tersendiri berupa perlindungan tanpa batas yang berguna untuk perjuangan selanjutnya.


Dikatakan pula, pemuka desa setempat yaitu Ki Ageng Bedander atau Ki Blander menyanggupi permintaan Gajah Mada untuk mengamankan raja yang berlindung di kawasannya. Gajah Mada juga dipercaya pernah berguru silat pada ‘Pak Lurah’ Bedander ini, sebelum merintis karirnya sebagai prajurit Majapahit. Jaminan perlindungan dari Sang Guru tersebut agaknya membuat Gajah Mada tenang untuk menitipkan keselamatan rajanya sehingga lima hari setelah kedatangannya bisa kembali ke ibukota kerajaan untuk melihat situasi.

Karena adanya penguasaan medan dan familiar dengan kawasan tersebut, pastinya Gajah Mada juga mengetahui eksistensi bangunan peninggalan raja leluhurnya di kawasan itu yaitu kompleks kedaton milik Airlangga. Berhubung Jayanegara tak mau melanjutkan ke Modo sedangkan di Bedander ada kompleks peninggalan raja sebelumnya, agaknya Bendander dirasa jadi lokasi yang aman untuk perlindungan. Seperti semacam penggunaan candi dari masa ke masa, pastinya kedaton peninggalan Airlangga meski agak rusak tapi masih berfungsi kala itu sehingga layak dijadikan lokasi persembunyian Jayanegara.


Lokasi Bedander yang bersebelahan dengan letak insitu Prasasti Kusambyan seakan makin menguatkan dugaan kedaton Madander yang ada di Jombang-lah yang dimaksud sebagai pelarian Jayanegara. Dikatakan pula dalam prasasti Jayanegara II yang menyatakan bahwa Kusambyan kembali dianugerahi predikat perdikan karena bisa jadi kala itu kawasan tersebut dianggap berjasa karena melindungi raja dan menimbulkan kesan tersendiri bagi Jayanegara selama persembunyiannya.


Dikatakan, selama di Bendander raja berlindung di sebuah lokasi yang aman. Kedaton Medander yang menjadi lokasi pelarian Jayanegara berada jauh dari pemukiman penduduk tapi terlihat pantas untuk menjadi kediaman raja yang sering dikaitkan dengan gunung sebagai simbol dewa. Selain itu, letaknya yang tersembunyi di puncak rimba, memungkinkannya menjadi lokasi persembunyian yang aman dari musuh.


Bahkan hingga era modern seperti saat ini, lokasi kompleks purbakala Jaladri ini tak memiliki jalur yang bisa dilewati kendaraan roda empat. Pemilik kendaraan yang ingin berkunjung harus menitipkan tunggangannya ke rumah penduduk atau juru pelihara yang ada di kaki bukit. Perjalanan kemudian dilanjutkan berjalan kaki sejauh 500 meter dengan medan menanjak untuk menggapai puncak sunyi lokasi persembunyian Sang Raja.


Sesampainya di lokasi yang berada sekitar 64 mdpl, sebuah dataran luas yang rimbun dilindungi pepohonan tua tampak bersih terawat. Di bawah pohon banyak tumpukan bata kuno, termasuk timbangan, lumpang dan umpak yang mungkin menjadi bagian dari kelengkapan kedaton sebagai kediaman Sang Raja kala itu. Ada tugu yang mungkin merupakan prasasti dan beberapa batu bergambar yang mungkin menggambarkan siapa yang merupakan penghuni lokasi penting itu.


Di dataran itu berdiri semacam benteng dari batu bata kuno yang kondisinya masih tertata meski sudah ditumbuhi lumut di sekujur permukaannya. Situs ini diperkirakan seluas 25mx30m yang termasuk besar untuk sebuah kediaman. Tangga dari batu andesit tampak menjadi undak-undakan yang berfungsi sebagai pintu masuk ke bangunan utama. Bangunan utamanya sepertinya sudah runtuh dan tinggal pagarnya saja, tapi pondasinya masih tersisa sehingga masih bisa dibayangkan bentuknya.


Dari kompleks situs purbakala Bedander ini, juga terdapat pecahan-pecahan keramik yang berasal dari berbagai era mulai dari Dinasti Song dan Dinasti Ming berikut pecahan-pecahan gerabah untuk perlengkapan rumah tangga. Ditemukan pula pecahan era kolonial yang mungkin sisa era penjajahan Belanda yang mungkin pernah meneliti lokasi ini.

Selain itu, ditemukan pula dorpel yang menjadi bagian dari bangunan kuno di situs jladri. Dorpel merupakan sebuah artefak dari batu andesit yang berguna sebagai tempat menambatkan pintu agar bisa digerakkan seperti layaknya fungsi engsel. Penggunaan dorpel ini berupa kusen untuk membuka dan menutup pintu yang penempatannya ada di atas dan di bawah. Bila dilihat masanya di kala itu, dorpel yang terbuat dari batu andesit itu pasti tidak dimiliki oleh rakyat jelata dan pemiliknya jelas punya keterkaitan dengan istana.


Ada dua dorpel yang kerap disebut giritan lawang ini. Fungsinya memang sebagai alas engsel pintu. Kini dorpel yang menjadi alas kerangka pintu itu disimpan di rumah Pak Ngateno, warga setempat yang berdiam di dekat kompleks Jladri. Salah satu masih utuh, sedangkan lainnya digunakan untuk pondasi rumah yang sudah menyatu karena disemen.

Dari berbagai penemuan di lokasi, terlihat bahwa lokasi ini begitu lengkap dan pantas diduga sebagai kediaman orang penting kerajaan. Jadi tak heran bila misalnya Gajah Mada punya pertimbangan untuk menempatkan maharajanya di tempat yang baik lagi aman dari serangan musuh.


Lokasi yang diyakini sebagai Keraton Medander ini sudah menjadi situs purbakala yang secara berkala dicek kondisinya oleh Balai Purbakala Trowulan beserta para juru pelihara yang bertugas. Tentunya, bila sudah menjadi bangunan dan benda cagar budaya, pastilah sudah jelas payung hukumnya sebagai benda dan bangunan purbakala yang dilindungi.

Menariknya, kebanyakan bebatuan di lokasi seperti memiliki sisa fosil dari cangkang kerang. Fosil serpihan cangkang kerang itu kemudian mendukung banyak penemuan arkeologis di kawasan utara brantas yang memiliki artefak serupa. Seakan dulunya kawasan ini direndam perairan sehingga bebatuan yang ada jadi punya banyak fosil binatang air.


Di samping bangunan kuno sudah dibangun rumah dan kamar mandi untuk lokasi membersihkan diri yang menjadi kelengkapan situs cagar budaya. Ada pula sumur kuno yang tak pernah kering, yang dipercaya sebagai lokasi Raja Jayanegara membersihkan diri selama persembunyian. Meski kini sumur sudah dibangun dengan polesan modern, penduduk setempat masih ingat betul bahwa dulunya sumur itu terbuat dari batu bata kuno hingga bagian bawah sumurnya.


Terdapat sembilan makam yang membujur ke utara-selatan layaknya makam muslim, yang diduga sebagai pesarean leluhur desa. Jadi tak heran bila penduduk setempat juga menyakralkan lokasi ini karena adanya punden yang merupakan sesepuh desa setempat.


Pohon-pohon besar yang menaungi kompleks Jladri ini agaknya menjadikannya terasa teduh, cocok untuk bersemedi. Pohon-pohon Kosambi yang berdiri kokoh di pelataran kompleks Jladri ini diduga juga punya keterkaitan dengan istilah Kusambyan yang tertera dalam Prasasti Grogol sebagai daerah yang dianugerahi predikat sima baik oleh Airlangga maupun Jayanegara. Lokasi Prasasti Grogol yang menyebutkan Kusambyan pun hanya berjarak sekitar lima kilometer dari jalur jalan desa.


Meski masuk kawasan Jombang, namun kompleks situs kuno Gunung Jaladri ini masuk dalam wilayah hutan naungan PERHUTANI Mojokerto. Memang biasanya, kawasan hutan yang dikuasai perhutani tak memperhatikan batas kota, melainkan dibatasi dengan batas alam sesuai kondisi lingkungan terkait. Jadi tak heran bila Gunung Pucangan yang bertetangga dengan Candi Jaladri ini sering dikira wilayah Mojokerto.

Nama Jladri sendiri merupakan istilah yang berasal dari kata Jaladri yang berarti langit. Jadi bisa disimpulkan bila lokasi ini juga dihubungkan dengan kahyangan tempat para dewa bersemayam, dan tempat roh para leluhur berada. Dalam budaya kerajaan kuno, para raja kerap dianggap sebagai titisan para dewa sehingga tak jarang lambang kerajaan menggunakan simbol gunung yang identik dengan kahyangan. Lokasi kompleks Jladri agaknya menjadi salah satu simbol tersebut, hingga dijadikan punden yang dikeramatkan warga setempat.


Warga setempat bahkan punya kepercayaan dan ritual khusus bagi pasangan yang akan menikah. Ritual tersebut berupa mengelilingi pagar banon. Banon sendiri artinya bata, yang merupakan pondasi penyusun pagar di kompleks situs Jladri. Pasangan pengantin setempat diharuskan melakukan ritual ‘thawaf’ di kompleks Candi Jladri ini. Jika berani melewatkan prosesi ritual itu, dipercaya pengantin akan menjadi gila atau terjadi hal-hal yang tak diinginkan.


Ritual ini masih dipercaya oleh penduduk setempat, yang mengingatkan kita pada prosesi pernikahan dalam adat hindu berupa mempelai yang harus mengelilingi api suci. Selain ritual keliling situs juga mengingatkan kita pada prosesi sirkumabulasi yang ada dalam upacara hindu-budha yang juga melakukan peribadatan dengan berdoa sambil mengelilingi bangunan yang disakralkan.

Meski tidak seorang pun penduduk Desa Bedander tahu alasan mengapa pengantin harus menjalankan ritual berupa mengelilingi pager banon, tradisi sirkumabulasi pengantin di kompleks Candi Jladri ini agaknya merupakan bentuk menghormati bangunan kuno yang ada di desanya. Meski tidak mengelilingi api suci seperti dalam upacara pernikahan hindu, namun ritual ini jelas berasal dari prosesi peribadatan yang mengelilingi obyek yang sakral. Miriplah dengan prosesi thawaf dalam ibadah haji dan umroh dalam Islam.

Lokasi Bendander hanya bertetangga desa dari Prasasti Kusambyan dan Prasasti Sumber Gurit. Letaknya yang ada di utara Brantas, membuatnya menjadi kawasan yang berbatasan dengan Lamongan yang juga memiliki banyak peninggalan sejarah dari masa Airlangga . Mungkin bahkan dulunya kedua kota ini merupakan satu kesatuan dalam pemerintahannya, sehingga kebijakan yang diambil pun juga berasal tak jauh dari lokasi kedaton.


Kompleks Sendang Made dan Gua Made pun masih dalam satu rute, berikut sumur kuno gurit yang belum dikupas kisahnya. Selain itu pertapaan Dewi Kili Suci di Gunung Pucangan sepertinya makin menahbiskan lokasi utara Brantas kawasan Jombang ini merupakan deretan tempat penting dari kepemimpinan Sang Raja Pembangun Bendungan.

Dugaan kediaman Airlangga jadi makin menarik bila dibahas dari toponim Wwatanmas. Wwatan Mas artinya jembatan emas, sedangkan wonogiri yang merupakan hutan pelarian Airlangga diartikan gunung berhutan. Memang dimana-mana hampir semua gunung pasti berhutan, dan kompleks Candi Jaladri juga berada di puncak gunung yang rimbun oleh pepohonan.


Melihat toponim wwatanmas yang mirip artinya dengan Watu Galuh yang juga ada di lingkup Jombang. Terlebih lagi dari pembacaan Watu Mbah-Mbeh pendapat Asmara Garudhara yang merujuk pada era Airlangga. Sedangkan Wonogiri yang masih menjadi teka-teki agaknya bisa juga diduga sebagai Gunung Pucangan, tempat putri mahkota Airlangga moksa hingga diterbitkannya Prasasti Pucangan yang kini telantar di Kalkuta, India. Gunung Pucangan pun berada tak jauh dari kompleks situ kuno Jladri yang sudah jelas pernah menjadi lokasi kedaton Airlangga.


Candi Jaladri yang ada di Bedander memang masih menyimpan banyak misteri. Penguakan fakta masih terus dilakukan, namun perlu juga upaya penelitian ilmiah untuk membahas lebih lanjut tentang kedaton peninggalan Airlangga ini.

Sebuah detail yang terpisah, tapi tersambung satu sama lain mirip puzzle. Makin diteliti makin terlihat benang merahnya. Namun tetap perlu bukti-bukti arkeologis untuk mendukungnya sebagai fakta yang ilmiah. Bisa jadi masih ada peninggalan lain yang masih terkubur dan belum ditemukan. Sambil melakukan identifikasi dan penelitian, pasti tinggal menunggu waktu untuk menyeruak ke permukaan.


Candi Keraton Bedander
Kompleks Situs Kuno Gunung Jladri
Gunung Jaladri, 64 mdpl
Dusun Bendander, Desa Sumber Gondang,
Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang


Btw, Apriliya Oktavianti dari situsbudaya.id monggo kopas-kopas sepuas-puasnya ya. Nanti silakan pura-pura lupa cantumkan sumber seperti biasanya, 'kan ya??? Haseeek, hasek hasek haseeeekkk!!!

3 komentar:

  1. Makamnya siapa ya, yang ada didalam situs tsb...

    BalasHapus
  2. Makamnya makam palsu, tidak ada jasad/jenasah/sisa tengkorak disana... ???

    BalasHapus
  3. Kami penduduk asli desa sumbergondang, sebenarnya juga belum pernah mendapat cerita dari orang tua kami tentang istana airlangga, namun situs jeladri memang kami kenal dengan sentono jeladri, yang sudah tentu artinya istana jeladri,
    Cerita terakhir yang kami dengar dari orang tua kami ketika masa kerajaan majapahit, mulai dari pelarian jayanegara sampai dengan masa runtuhnya majapahit, yang mana proses runtuhnya majapahit sudah di perkirakan oleh wali songo dan sentono jeladrilah tempat berkumpulnya wali songo untuk membahas keruntuhan majapahit,
    Dan kebetulan di kala itu ada putra sunan geseng dari tuban yang bertempat di jeladri yang bernama joko bumi atau sunan condromoto bergelar raden elang putih dan diberi tugas oleh sunan geseng untuk menjamu setiap kedatangan wali songo,
    Karena kejadian inilah kami yakini di sentono jeladri terdapat sembilan makam yang kami yakini pula sebagai petilasan wali songo,
    Petilasan ini kami menyebut dengan makam wali wolu songo tinari,
    Sudah barang tentu wali ke sembilan adalah sunan kali jaga, sebagai tinari, penutup dan menjadikan lengkapnya sebuah keluarga yang mewujudkan kebahagiaan,

    BalasHapus

Tentang Jombang Lainnya

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...