Jumat, 03 April 2020

Candi Blawu : Menanti Ekskavasi Setelah Efek Racun Sirna


Awal tahun 2018, Jombang digegerkan dengan adanya penemuan benda purbakala di kompleks makam sesepuh desa yang kerap disebut Punden Mbah Blawu. Setelah tahun sebelumnya Jombang digegerkan dengan berbagai penemuan benda pondasi bangunan candi yang misterius di berbagai lokasi, tampaknya tren ini masih berlanjut hingga periode berikutnya.

Punden Mbah Blawu kerap disebut Makam Sentono oleh warga setempat. Lokasi makam keramat yang dipercaya merupakan pesarean pembabat lahan setempat berada di Dusun Sukosari, Desa Sumbersari, Kecamatan Jogoroto, Kabupaten Jombang. Jika dilihat dari radius lokasi, Punden Mbah Blawu ini bertetangga dengan Candi Pandegong yang masuk dalam kompleks makam keramat Mbah Nambi dan Mbah Ijo.

Saat Soleh Sang Juru Kunci sedang mencangkul untuk mengambil pasir yang akan digunakan mengurug jalan masuk makam, ujung cangkulnya mengenai benda tumpul. Ketika melanjutkan penggalian di sebelahnya, ujung cangkulnya pun masih mengenai benda tumpul. Lalu dilanjutkanlah penggalian hingga penemuan batu bata kuno yang mirip sebuah bangunan mirip struktur sebuah candi.

Makam Mbah Blawu : Sudah direnovasi dengan keramik modern

Punden Mbah Blawu ini berada di bawah rimbunnya pepohonan besar dengan satu bangunan makam dari keramik yang dibangun di era modern. Tampak dari tegel yang digunakan berwarna putih-merah seperti ubin yang digunakan rumah tangga Indonesia pada umumnya. Tanah di sekitar punden terlihat memiliki permukaan batu bata kuno yang menyembul tersebar hampir sepanjang mata memandang.

Hamparan batu bata kuno tertata rapi

Sempat terbersit keanehan mengenai makam ini. Struktur batu bata kuno terlihat terhampar begitu lebarnya, sedangkan makam sesepuh desa terpendam sekitar dua meter di bawahnya. Bisa jadi makam tersebut merusak struktur candi, atau mungkin Sang Sesepuh dimakamkan cukup dangkal? Apaan sih. Atau mungkin makam itu ditempatkan di tepian candi. Atau.... makam itu... ah sudahlah.


Tanpa dilakukan penggalian maupun ekskavasi serius pun, sebenarnya bisa dilihat bahwa hamparan batu bata sepanjang lebih dari 20 meter persegi itu merupakan sisa bangunan kuno. Jika diamati satu persatu, batu bata itu berukuran besar, khas bahan pondasi bangunan era kerajaan kuno. Banyak yang sudah patah, namun ada juga yang masih utuh.

Diantara yang utuh, tampak ukurannya begitu besar dibanding batu bata produksi zaman modern. Jika diukur, batu bata kuno ini punya dimensi sebesar 30cmx20cm dengan ketebalan sekitar 7cm. Dari ukuran batu bata ini bisa disimpulkan bahwa sisa bangunan kuno ini merupakan peninggalan pra-Majapahit yang diperkirakan dari era Kerajaan Medang.

Batu bata kuno

Saat dilakukan penggalian ringan sekitar satu meter dari permukaan tanah, tampak bentuk struktur bangunan yang tak biasa, yang mirip dengan lekuk-lekuk candi pada umumnya. Namun karena terkubur di bawah tanah, bentuknya tak terlihat sehingga masih perlu ekskavasi lanjutan untuk mengetahui wujud aslinya.

Disinyalir ada struktur yang rumit ke dalam

Penemuan ini kemudian langsung dilaporkan ke BPCB, hingga diamati langsung oleh petugas. Sekitar 15 meter dari hamparan batu bata yang tersebar, ada juga tumpukan batu bata kuno yang juga diduga merupakan sambungan dari ‘bangunan utama’. Temuan ini bisa dikatakan menarik, karena diperkirakan masih ada struktur bangunan yang lebih kompleks di tatanan batu bata yang tertimbun lebih dalam. Dari pengamatan bentuknya itu, nantinya baru bisa diketahui apakah fungsi bangunan ini di masa jayanya.

Beberapa foto diambil dari gmaps,

Di sekitar hamparan batu bata kuno tersebut, terdapat sebuah yoni yang masih terpendam bagian badannya. Penemuan lingga di lokasi sepertinya menjadi pendukung yoni pasangannya sebagai perlambang kesuburan. Lingga dan yoni ditemukan paling sering berada dekat candi, atau bertempat di satu area dengan bangunan suci. Karena itu biasanya yoni ditemukan bersama sisa bangunan. Dengan adanya pasangan lingga dan yoni di suatu tempat adalah bukti bahwa dulunya lokasi Candi Blawu di Makam Sentono adalah lokasi yang bisa jadi berupa pemujaan.

Yoni

Bentuk yoni di Makam Sentono terlihat persegi, namun karena tubuhnya masih terkubur sehingga tak bisa dilihat bentuk maupun lekuknya. Adanya ukiran maupun lekuk bisa mengindikasikan era dan corak candi sehingga memungkinkan untuk dilakukannya identifikasi. Apalagi bila ditemukan patung atau elemen lainnya yang menjadi bagian dari pemujaan seperti di Candi Pandegong, maka akan memudahkan pengidentifikasian.

Semacam pecahan candi atau benda arkeologis lain

Ada dua sumur jobong yang dindingnya juga terbuat dari batu bata kuno yang bisa jadi keduanya merupakan bagian dari kelengkapan candi. Memang, sebelum memasuki candi maupun ketika akan melakukan prosesi, biasanya peribadatan didahului dengan menyucikan diri dengan air. Sangat mungkin kedua sumur ini merupakan tempat untuk mengambil air dalam prosesi pemujaan.

Lihat, ada gayungnya : Masih dipakai hingga sekarang

Dikatakan oleh juru kunci, memang kedua sumur ini tak pernah kering. Bisa jadi pula, air dari kedua sumur inilah yang dikucurkan ke lingga yoni yang ada di lokasi untuk prosesi. Miriplah dengan umat islam yang harus mengambil wudhu terlebih dahulu sebelum sholat. Peribadatan di bangunan suci pun harus membasuh wajah dan beberapa bagian tubuh terlebih dahulu sebelum dilakukannya prosesi pemujaan.

Beberapa foto di sini dari mas Asmara Garudhara

Sayangnya, upaya ekskavasi harus terhambat karena adanya bahan limbah beracun berupa timbal yang memenuhi lokasi. Beberapa tahun belakangan, Jombang memang dibanjiri limbah beracun dari pabrik yang tak mampu menghasilkan limbah yang aman bagi lingkungan. Ironisnya, limbah ini pun didapat dari restu perangkat desa terkait murni karena ketidaktahuan mengenai bahaya yang terkandung di dalamnya.

Ada pihak yang menawari secara gratis, tanpa menginformasikan bahwa isi glangsing berupa serbuk abu kehitaman itu adalah limbah yang sangat berbahaya. Pihak desa merestui areanya dijadikan lokasi diletakkannya limbah beracun itu karena didapat secara gratis dari pabrik pembuangnya. Daripada membeli bersak-sak tanah yang mahal dan susah keras, glangsingan limbah gratis yang sepertinya kokoh itu agaknya cukup menggiurkan untuk dijadikan pengokoh jalan masuk dan pinggiran punden.

Selain di kompleks Makam Sentono, limbah beracun itu juga bertebaran di seluruh penjuru desa dan Kota Santri. Tak hanya di Jogoroto, tapi juga di kecamatan lain seperti Sumobito, Kesamben, bahkan Wonosalam. Kebanyakan glangsingan limbah ini difungsikan sebagai plengsengan sungai, penahan tanah, maupun pematang sawah. Ada pula yang bahkan menggunakannya untuk mengurug jalan ke sawah, bendungan saluran air, menambal jalan yang rusak, pondasi warung bahkan ada pula yang menggunakannya sebagai pengganti tanah untuk mengurug halaman rumah.
Tampaknya celah jalan rusak dan kelalaian pemerintah untuk segera membangun plengsengan sungai menjadi kesempatan para pembuang limbah beracun ini untuk mendapatkan lokasi pembuangan yang tepat. Jalan desa yang diurug limbah dirasa jadi lebih enak, tanggul sungai pun dianggap jadi lebih kuat setelah diberi limbah tersebut.
Limbah abu aluminium disukai bahkan untuk bahan pondasi situs purbakala karena mudah keras, sungguh ironis. Meski disukai penduduk setempat, glangsing limbah beracun itu kemudian baru terasa mengeluarkan hawa panas yang menyesakkan dada bahkan membuat mata perih berair.

Glangsingan limbah beracun

Setelah rutin menjadi lokasi pembuangan limbah, akhirnya baru diketahui bahwa efek pencemarannya tak hanya mempengaruhi kesuburan tanah dan lingkungan tapi juga meracuni kesehatan makhluk hidup. Jelas, tumpukan limbah itu juga bisa mencemari kelestarian sawah dan kondisi tanah. Bangunan punden yang terpendam di dalamnya yang diurug dengan glangsingan timbal pun bisa rusak karena efek berbahaya dari limbah beracun tersebut.

Limbah bekas pembakaran aluminium itu sangat berbahaya karena punya kandungan logam berat di dalamnya. Peleburan dross aluminium itu menggunakan bahan berupa flux garam KCl dan NaCl, sedangkan pencuciannya menggunakan larutan asal sulfat kemudian asam ammonia. Dari situ dihasilkanlah limbah asalum yang sangat berpotensi mencemari udara, tanah, air di permukaan bahkan air tanah.

Dari hasil penelitian dan pengamatan oleh ECOTON, limbah beracun dari abu aluminium itu baru akan hilang efeknya setelah sepuluh tahun. Ekskavasi pun tidak bisa dipaksakan dilakukan sekarang, karena mempertimbakan keselamatan petugas. Misalnya dipaksa untuk rehabilitasi, pastinya diperlukan dana yang tidak sedikit untuk pengangkatannya. Estimasi biaya minimal untuk clearing limbah sekitar 10M yang didapat dari penelitian sampel limbah di Kesamben. Biaya restorasi candi pun biasanya tak sampai setengahnya angka tersebut. Apa daya, tak ada yang bisa dilakukan selain menunggu masanya berakhirnya efek racun limbah.

Belum selesai masalah limbah, lokasi ini pun menjadi ramai kembali bukan karena kegiatan ekskavasi tapi adanya peristiwa memilukan berupa pembunuhan pemuda bermotif ekonomi. Korban ditemukan bersimbah darah di kompleks makam keramat. Kondisi makam keramat yang sepi, mungkin cocok untuk berteduh sehingga memungkinkan pelaku menjalankan aksinya. Makam keramat jadi makin angker rasanya karena peristiwa ini.

Istilah Makam Sentono agaknya cukup menimbulkan kerancuan dengan nama kompleks makam yang punya sebutan yang sama. Di sebelah Makam Troloyo Trowulan, terdapat Kompleks Makam Sentonorejo yang juga sarat sejarah dan menjadi pesarean Ratu Kencono Wungu dan Dewi Anjasmoro. Sedangkan di Sukodono, Jepara juga terdapat Makam Sentono yang juga dihormati penduduk karena serta berdampingan dengan makam nasrani.

Bahkan bila ditelusuri di gmaps, maka setiap kota bahkan punya makam sentono yang kebanyakan punya nilai sejarah tersendiri. Ada Sentono Dowo dan Sentono nDalem Tawangsari di Blitar, Sentono Sedah di Lamongan, Sentono Kragas di Tulungagung, Sentono Krapyak di Sidoarjo, Sentono Kaliboto di Kediri, Sentono Rutan Ambarsari di Mojokerto, Sentono Kunir di Lumajang dan masih banyak lagi.


Supaya tak menimbulkan kerancuan, Jombang City Guide kemudian lebih suka menyebutnya dengan Makam Sentono Punden Mbah Blawu sehingga punya ciri-ciri tersendiri yang memang merujuk pada lokasi yang ada di Jombang. Candi Blawu menjadi sebutan yang merujuk pada punden dimana terpendamnya candi yang masih menanti untuk diungkap misterinya ini.

Sebutan Blawu sendiri merupakan nama sesepuh desa yang dulunya membabat alas daerah setempat. Penduduk mempercayai beliaulah yang pertama kali membuka lahan dan menjadikan desa yang mereka tempati kini. Sayangnya tak ada kisah tertentu mengenai sosok Sang Pembabat Alas ini.


Blawu dalam Bahasa Jawa diartikan sebagai sesuatu yang diwarnai atau terwarnai. Sedangkan daerah lain malah menyebutkan Blawu sebagai salah satu hantu yang mendiami rumah kosong dan tubuhnya kotor karena ternoda sesuatu. Kawasan Sukosari yang menjadi lokasi dimana Mbah Blawu dimakamkan malah tak mengenal arti tertentu mengenai nama Sang Sesepuh.

Tak ditemukan catatan maupun petunjuk lain apapun yang merujuk tentang Candi Blawu ini. Identifikasi hanya didapat dari ukuran batu bata yang disimpulkan oleh Asmara Garudhara sebagai peninggalan Kerajaan Medang. Tak menutup kemungkinan masih digunakan di era selanjutnya sampai masa Majapahit.


Bila dilihat dari lokasinya yang tak jauh dari Candi Pandegong, sepertinya bisa dikatakan keduanya punya keterhubungan. Sayangnya, keterkaitan itu belum diketahui sehingga belum bisa didapat kesimpulan apapun mengenai bangunan ini. Atau mungkin ada keterkaitan pula dengan Kedaton, Sugihwaras, bahkan Sumberbeji???

Berada di lahan desa sebagai makam keramat, Pemerintah Kabupaten Jombang dari dinas terkait sudah menetapkan kompleks makam Mbah Blawu sebagai bangunan cagar budaya dan menunjuk juru pelihara Candi Pandegong sebagai perawatnya. Sayangnya, banner penanda lokasi bahwa kompleks Candi Blawu sudah dilindungi undang-undang sudah hilang terbawa angin, dan menyisakan papan penanda dilarang menembak dan berburu satwa.  
Selain itu, guru-guru sejarah di Jombang dan seluruh nusantara hendaknya memotivasi para siswanya untuk menghargai peninggalan sejarah bangsanya, supaya bila ditemukan lagi situs bersejarah yang menjadi cikal bakal perjalanan bangsa ini, benda kuno tersebut bisa diselamatkan dengan sebaik-baiknya. Sehingga niat menjual benda cagar budaya seperti yang dilakukan oknum-oknum tak bertanggung jawab tidak lagi terjadi karena sudah adanya kesadaran tinggi atas nilai-nilai sejarah bangsa ini.

Diurug kembali

Keseriusan pemerintah untuk menjaga dan melestarikan benda cagar budaya ini sangat dinantikan karena merupakan kewenangan pemerintah daerah sesuai UU nomor 11 Tahun 2010. Terutama setelah periode efek berbahaya limbahnya habis.

Kini kondisi candi diurug kembali supaya strukturnya tidak rusak sembari menanti efek timbalnya hilang. Sebenarnya pihak BPCB bersedia melakukan ekskavasi karena menilai temuan di Punden Mbah Blawu sangat menarik, asal pemerintah mau mengangkat limbah timbal berbahaya tersebut. Jadi gimana, mau keluar 10M atau mau nunggu 10 tahun???
  
Candi Blawu
Kompleks Makam Sentono – Punden Mbah Blawu
Dusun Seumbersari, Desa Sukosari,
Kecamatan Jogoroto, Kabupaten Jombang

Makasih Mas Asmara Garudhara yang sudah menemani kunjungan ke Candi Blawu
Btw, Apriliya Oktavianti dari situsbudaya.id monggo kopas-kopas sepuas-puasnya ya. Nanti silakan pura-pura lupa cantumkan sumber seperti biasanya, 'kan ya??? Haseeek, hasek hasek haseeeekkk!!!

2 komentar:

  1. Mantap om...saya suka analisisnya..ada runtutan sejarah,kritik sejarah, dan yang penting adalah kritik limbah pabrik yh dibuang dekat makam serta kritik atas guru sejarah agar peka sejarah lokal...semoga sukses dalam menawarkan warna budaya lokal...
    Minta tolong dikupas perbedaannya dengan mbah sentono lainnya om..
    Trims
    Salam budaya

    BalasHapus
  2. Memang situs yg layak diperhatikan serius.

    BalasHapus

Tentang Jombang Lainnya

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...