Sabtu, 30 Juni 2012

Bahasa nJombangan : Dialek Jawa Timuran Khas Kota Santri


Bicara tentang bahasa nJombangan tentunya harus memperhatikan letak geografis Kota Santri ini terlebih dahulu. Jombang berada di Jawa Timur yang mayoritas penduduknya berbahasa Jawa dan masih dipertahankan hingga kini. Meski sama-sama berbahasa Jawa, namun bahasa Jawa yang digunakan penduduk Jawa Timur dan Jawa Tengah-Jogjakarta mungkin agak sedikit berbeda. Uniknya, meski berbeda namun keduanya bisa saling mengerti satu sama lain saat bercakap-cakap.

Bahasa Jawa sendiri, memiliki banyak tingkatan untuk pemilihan kata tergantung lawan bicara. Sebut saja Ngoko, Krama, dan Krama Inggil. Tentunya, sebagai manusia Jawa-ensis pastinya sudah paham benar bahwa Ngoko merupakan level terendah dan Krama Inggil adalah tingkatan tertinggi. Umumnya Ngoko digunakan untuk berbicara dengan kawan seumuran, Krama digunakan untuk bicara dengan orang yang lebih tua, dan Krama Inggil untuk komunikasi dengan raja, pejabat, nigrat maupun dalam momen kehormatan yang sangat resmi.

Hebatnya, klasifikasi Ngoko bahkan bisa dipilah kembali menjadi beberapa kelompok seperti Ngoko Alus, Ngoko Kasar, Ngoko Andhap, dan Ngoko Lugu. Tentunya bagian ini jombang City Guide sudah angkat tangan karena ini rasanya bagiannya mahasiswa Sastra Bahasa Jawa saja ya. Hehehhehe…. Kurang ajar.


Jombang dulunya merupakan bagian dari kawedanan Mojokerto, yang kemudian melakukan ‘disintegrasi’ sebagai kota baru yang mandiri. Meski sudah berpisah, Jombang dan Mojokerto tak meninggalkan identitasnya, termasuk banyaknya kemiripan baik dari segi bahasa dan budaya setempat.

Meski bukan bagian dari Gerbang Kerasusila alias Jabodetabeknya Jawa Timur, Jombang berada tak terlalu jauh dari Kota Pahlawan yang terkenal dengan bahasa spontannya yang kerap disebut Dialek Suroboyoan. Bahasa ibukota propinsi yang begitu blak-blakan itu, memberikan efek ketimuran dalam bahasa Jawa yang mungkin akan terdengar sangat kasar oleh orang Jawa Tengah. Bahasa Ngoko yang paling umum digunakan oleh penduduk Surabaya dan sekitarnya adalah jenis Ngoko Kasar, meski tetap bisa bercakap-cakap dengan bahasa Krama saat diajak berkomunikasi.

Sedangkan di sisi lain, Jombang juga cukup dekat dengan Kota Tahu yang punya unsur agak lembut dalam tutur katanya, meski tak sehalus bahasa Jawa regional Jawa Tengah dan Jogjakarta. Kediri dan sekitarnya, punya pengaruh dari Jawa Timur bagian barat yang lokasinya bernuansa kulonan yang disebut Dialek Mataraman. Beberapa kawasan yang berbatasan dengan Nganjuk dan Kediri memang memiliki pengaruh Dialek Mataraman yang punya banyak kesamaan dengan Bahasa Jawa Tengahan. Sehingga bahasa yang digunakan umumnya adalah Ngoko namun lebih halus daripada Ngoko asal Surabaya.


Jombang seakan berada di tengah-tengah persimpangan antara dua jenis bahasa Ngoko, yang tak bisa dikatakan terlalu kasar maupun dibilang halus. Meski demikian, sebagai native Jawa manusia-manusia Jombang tetap mampu berbahasa krama maupun krama inggil. Uniknya Jombang juga mampu mengadopsi keduanya dan juga memiliki bahasa sendiri yang tak dimiliki daerah lain.

Bahasa Jawa Jombang merupakan peralihan dialek bahasa Jawa antara Dialek Suroboyoan dan Dialek Mataraman yang kini sering disebut Dialek Jombang atau Bahasa nJombangan. Salah satu ciri khas yang membedakan Dialek Mataraman dan Dialek Suroboyoan adalah penggunaan kata arek untuk menggantikan kata bocah, dan kata cak untuk menggantikan kata mas dalam dialek Suroboyoan. Jombang juga masih menggunakan kosakata koen maupun awakmu untuk menyebut lawan bicara dalam bahasa Ngokonya serta lebih cenderung menyebutkan penolakan dengan kata gak daripada ora.

Memang, Jombang City Guide juga lebih akrab menyebut diri kami dengan Arek nJombang daripada Cah nJombang. Sedangkan saat berjumpa dengan abang-abang biasanya kami juga memanggilnya dengan sebutan ‘Cak’seperti “Cak Broden, Cak Joko dan Cak Pandi”. Namun saat memanggil kakak laki-laki maka panggilan mas yang digunakan.

Bahasa nJombangan disebut Dialek Jombang oleh Wikipedia dijelaskan bahwa dialek ini dituturkan dengan banyak pengaruh dari Dialek Suroboyoan yang terkenal egaliter. Kosakata Dialek nJombangan mengandung 70% dari Dialek Suroboyoan, 29% dari Dialek Mataraman. Sedangkan sisanya 1% adalah kosakata daerah khas Jombang sendiri.

Satu contoh kosakata bahasa nJombangan yang mungkin mengikuti rumpun Suroboyoan yaitu nyelang yang artinya meminjam. Kata dasarnya selang dan punya awalan ‘ny-‘ yang berarti kata kerja aktif. Jombang, Mojokerto, Surabaya menggunakan kosakata ini. Sedangkan saat Jombang City Guide menggunakan diksi ini saat ingin meminjam sesuatu ketika di Kediri, kami ditertawakan.

Rupanya, bahasa yang lazim digunakan untuk ‘meminjam’ di Kediri adalah ngampil yang masuk kategori kosakata yang halus bagi penduduk di Jombang. Dan orang Kediri tak paham apakah nyelang itu. Mereka berpikir bahwa nyelang berasal dari kata selang yang artinya pipa karet untuk menyiram tanaman. Astagadragon! Bayangkan coba mosok melata ala selang di taman gituhh????

Menariknya, sebagai daerah peralihan, Jombang juga terpengaruh Kediri yang lebih banyak menggunakan kata piye untuk mempertanyakan sesuatu daripada yeopo yang kerap diidentikkan dengan sapaan penanya kabar khas Suroboyoan. Meski kadang juga warga Jombang masih menggunakan kata yeopo secara berimbang.


Sebaliknya, ada kosakata dari Surabaya yang tak dipahami oleh orang Jombang karena fenomena yang ada di Surabaya. Seperti kata mBalon yang mungkin orang Jombang akan mengira bahwa itu adalah menggemuk atau membesar seperti balon. Padahal orang  Surabaya menggambarkan mBalon adalah semacam (maaf) PSK yang semok bin bohay dengan badannya yang dikiaskan dengan balon.

Sedangkan ada pula kosakata di Jombang yang tak dikenali oleh orang Surabaya seperti : Nge-bos-i yang artinya traktiran, lijo yang artinya tukang sayur gonceng keliling, dan jembek. Kata jembek, artinya menjengkelkan atau menjijikkan atau jelek sekali. Kata jembek bisa berubah menjadi njembeki, tergantung fungsi dan posisinya dalam kalimat. Pelafalan jembek ini serupa dengan mengucapkan kota Jember, hanya diganti konsonan akhirnya saja. Dialek Suroboyoan tak mengenali bahasa ini dan sering menggunakan kata lain untuk menggambarkannya.

Untuk kata jembek, translasinya dalam Dialek Suroboyoan bisa berbeda. Untuk menggambarkan orang yang menjengkelkan, biasanya mereka menggunakan kata nJengkelno atau mBencekno yang berasal dari kata benci yang dimodifikasi dalam bahasa Jawa. Atau bisa juga dengan kata letrek yang artinya jelek sekali. Sedangkan untuk menggambarkan benda yang menjijikkan, kata jembek di Surabaya sering diucapkan dengan njijiki atau nggilani, meski kadang orang Jombang juga menggunakannya.


Uniknya, saat Jombang City Guide menuliskan kata ‘jembek’ di search engine Google, yang keluar malah Gunung Jembek yang berada di wilayah Kabupaten Jombang regional Wonosalam Selatan. Anehnya, penduduk setempat malah tidak paham nama Gunung Jembek dan mengenalinya sebagai Gunung Margowayang yang merupakan bagian dari gugusan pegunungan Anjasmoro regional selatan tak jauh dari Kediri. Mungkin perlu ekspedisi lebih lanjut mengenai Sang Gunung Menyebalkan ini.

Kata ‘jembek’ memang tak dikenali sekaligus tak memiliki arti di Surabaya. Jadi bila diucapkan di Surabaya, mungkin mereka akan sedikit asing dengan kosakata ini, namun bisa memahaminya saat tersusun dalam sebuah kalimat. Lain halnya bila ada kosakata yang sama pengucapannya, tapi punya arti berbeda dan sangat menyimpang begitu jauh. Itulah kata rempon, yang wajar diucapkan di Jombang namun sulit saat ‘diekspor’ ke Surabaya karena memiliki arti yang sangat-sangat berbeda di sana.

Warga Jombang yang lagi rempon di bawah pohon

Rempon dalam bahasa nJombangan artinya ngrumpi, atau juga bercakap-cakap, berdiskusi dan membicarakan sesuatu. Kadang juga rempon menjurus ke ‘rasan-rasan’ meski tak selamanya topik pembahasan berupa ghibah. Ibaratnya, rempon adalah sebuah diskusi yang konotasinya lebih cenderung bermakna positif. Contohnya seperti dalam percakapan berikut :
Retno : “Heeey… rempon opo ae rek, aku ketinggalan berita iki la’an?” [Heeey… Ngrumpi apa nih semua, saya ketinggalan berita ini jadinya?]
Wati : “Biasa lah. Ayo lungguh_o kene, tak critani” [Biasalah. Ayo duduklah di sini, kuceritakan]
Sedangkan Rini, Siti dan Dewi terkikik sambil melanjutkan menyimak Wati setelah Retno duduk bergabung dengan mereka.

Parahnya, saat Jombang City Guide merantau ke Surabaya untuk menuntut ilmu dan menggunakan kosa kata ini, semua orang langsung berkata ‘HUSH!!!’ untuk menutup mulut, seakan kata-kata itu sangat tabu diucapkan. Ini sebuah bentuk Cultural Lag yang mengakibatkan Cultural Shock yang begitu parah. Seperti pula yang dialami Puspa, seorang warga Jombang yang merantau ke Surabaya ketika kuliah, dalam percakapan ini :

Wati : “Ssstt… enek mas2 ambek mbak2 rempon nang hutan MIPA” [Ada Mbak2 dan Mas2 sedang rempon di hutan MIPA]
Puspa : “Yo ben tho, bekne mas2 ambek mbak2 iku rempon nggarap tugas ta diskusi kuliah lho…” [Ya biarlah mungkin mas2 dan mbak2 itu sedang ngrumpi karena mengerjakan tugas atau diskusi perkuliahan lho…]
Wati : “Hish… awakmu iki wong rempon nang kunu kok biasa ae…” [Hush… kamu ini, ada orang sedang rempon kok malah biasa saja]

Nah, Si Puspa ini ternyata belum mudeng, kalau Surabaya mengenal kata rempon dengan begitu jauh dari arti yang dimiliki Jombang. Rupanya dalam bahasa Suroboyoan, rempon diartikan untuk menggambarkan salah satu bentuk pelecehan seksual dengan (maaf) meremas payudara wanita. Wow, amazing. Edddyyan gak seh?!!!??.

Jombang City Guide sampai sekarang masih terheran-heran dengan kosakata rempon, yang memiliki arti yang sangat melenceng jauh dari arti yang kami kenal selama ini. Saat rempon merupakan salah satu bentuk keakraban di Jombang, sedangkan di Surabaya rempon punya makna begitu cabul. Tapi ajaibnya di Kediri yang agak kulonan, memahami kosakata ini dengan makna serupa dengan Surabaya. Aneh!!!


Ternyata, setelah melakukan survey ke manusia-manusia Mojokerto, Jombang City Guide menemukan kesamaan nasib bahwa kota tetangga ini rupanya juga mengenal rempon seperti yang dikenal di Kota Santri. Bisa jadi karena Jombang dulunya merupakan bagian dari kawedanan Mojokerto, yang kemudian melakukan ‘disintegrasi’ sebagai kota baru yang mandiri.

Meski sudah berpisah dari Mojokerto, Jombang rupanya tak meninggalkan identitasnya termasuk banyaknya kemiripan baik dari segi bahasa dan budaya setempat dengan mantan ‘kembar siamnya’. Selain itu, Mojokerto juga mengenal kata jembek dan gething seperti halnya Jombang untuk menggambarkan kebencian. Jadi bisa dikatakan, bahasa nJombangan dan dialek Mojokertoan sangat mirip karena keduanya sebenarnya berasal dari satu kesatuan.


Memang benar apa kata Wikipedia, bahwa Bahasa Jawa Jombang atau biasa disebut dialek Jombang merupakan logat Jawa yang dituturkan di daerah Jombang dan sekitarnya seperti Mojokerto, sebagian Kediri (Kandhangan dan Pare) dan sedikit daerah Ngajuk (Kertosono). Mungkin ada kesamaan karena letak geografis yang berdekatan.


Ada lagi satu kata, yang mungkin hanya dikenal di Jombang yaitu cakut atau sering dilafalkan dengan ‘cakod’. Kata cakut ini mungkin bagian 1% dari keseluruhan diagram venn perpetaan pengaruh bahasa Dialek nJombangan. Cakut diartikan sebagai barusan atau baru saja yang masyarakat Jombang juga punya sinonim lain yaitu jek entas/jek tas dan lak gek. Seperti dalam contoh percakapan di bawah ini :

Supri : “Walah… aku lho cakut dikandhani lek mene nggawe klambi pramuka.” [Walah… aku baru saja diberitahu bahwa besok pakai baju pramuka]
Heru : “Lho, iyo ta? Aku malah gurung dikandhani. Lak gek ngerti pisan aku, slamet ae! ” [Lho, iya kah? Aku malah belum diberitahu. Aku barusan tahu ini malah, untung saja!]

Kosa kata cakut ini, bahkan akan diresmikan sebagai nama sentra batik yang ada di Jombang. Desa Jatipelem yang merupakan kawasan pembuatan batik tulis nJombangan telah sepakat untuk menamakan sentra batiknya dengan “Cakud Batik”. Hal ini didasari kata cakud atau cakut hanya diucapkan oleh orang Jombang dan Sentra Batik Jatipelem ingin menggunakan nama ini untuk mencerminkan identitas dan ciri khas asli nJombangan dari kosa kata langka ini.

Dari pengamatan orang-orang luar Jombang, mereka punya kesan tersendiri tentang Bahasa nJombangan yang dituturkan para Pithecantropus Jombangensis, hehehehhe. Mereka berpendapat bahwa pengucapan bahasa nJombangan biasanya diikuti dengan akhiran ‘i’ seperti dalam percakapan berikut :


Budi : “Bud, awakmu ta sing nggowo petelotku?” [Bud, apakah kamu yang membawa pensilku?]
Joko : “Nggak_i, lha trakhir sopo sing nggawe lho?” [Nggak tuh, lha yang terakhir pakai siapa lho?]

Dalam percakapan di atas, akhiran ‘i’ seakan menunjukkan penegasan dan bisa dipadankan dengan ‘tuh’ dalam bahasa endel Jakartaan.  Ada pula contoh lain dalam penggunaan akhiran ‘i’ seperti di bawah ini :
Ani : “Padahal wes diewangi, tapi kelakuane kok malah ngunu_i…” [Padahal sudah dibantu, tapi tabiatnya kok malah begitu sih…]
Tini : “Sopo An? Sing endi areke??” [Siapa An?? Yang mana orangnya??]

Akhiran ‘i’ di atas seakan berfungsi sebagai sih dalam bahasa endel Jakartaan atau seh dalam percakapan bahasa Jawa. Seperti yang sudah disebutkan di atas, warga Jombang kerap menggunakan kata arek daripada bocah untuk menggambarkan identitas dirinya. Seperti orang-orang Jawa Timur pada umumnya yang geli menggunakan bahasa gahoool ala Jakarta, warga Jombang juga tak menggunakan kata gue-elu untuk menggantikan kata ‘aku’ dan ‘kamu’.


Biasanya kosa kata yang berasal dari bahasa tontonan di televisi itu digunakan saat momen bercanda dan ejek-mengejek, mapun berlagak pura-pura menggunakan bahasa endel Jakartaan. Memang, bahasa ala orang Jakarta dianggap endel saat digunakan di Jombang, seperti di daerah-daerah Jawa Timur pada umumnya. Sehingga biasanya pendatang dari daerah Jawa bagian barat akan terpaksa ikut berbahasa Jawa supaya tidak ‘dikucilkan’. Hehehhe…. Tapi orang Jombang ramah kokgak sesadis itu lah.

Dari hipotesis sementara yang Jombang City Guide simpulkan, bisa jadi dialek nJombangan ini tercipta karena kultur masyarakatnya yang kebanyakan berkarakter sederhana seperti masyarakat pedesaan pada umumnya. Jombang pun belum bisa dikatakan kota besar, meski perkembangan pembangunan pun melaju pesat. Walau tidak bisa dipukul rata, pada umumnya memang warga Jombang masih tetap punya tipikal yang bersahaja, gak aneh-aneh lah istilahnya. 


Sorry yes, fotonya banyak yang nggak nyambung...

Tentunya, ragam bahasa ini tidak muncul begitu saja, tetapi ada pengaruh budaya setempat di dalamnya. Dialek-dialek di kawasan Jombang sendiri, juga kadang berbeda antara utara dan selatan. Perbedaan bahasa dan logat ini harus disikapi dengan baik dan ditempatkan sebagai keanekaragaman budaya lokal yang tak boleh dikesampingkan keberadaannya.
Mungkin ada kosa kata unik lain yang khas dari Jombang??? Monggo bisa diceritakan….

Bahasa Jawa Dialek nJombangan
Dituturkan di Kabupaten Jombang dan sekitarnya
  


Uniknya, sejak 29 Oktober 2018 lalu telah dikeluarkan edaran dari Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Jombang Budi Nugroho yang berisikan setiap hari Kamis, pelajar dan para guru di Kabupaten Jombang wajib berdialog menggunakan bahasa Jawa di lingkungan sekolah. Kewajiban berkomunikasi dengan bahasa Jawa itu berlaku mulai semester II tahun ajaran pendidikan 2018-2019.
Adanya kewajiban berdialog dengan bahasa Jawa itu bertujuan supaya Bahasa Jawa bukan selesai di pelajaran saja, namun benar-benar menjadi budaya keseharian di Jombang. Hal ini muncul dari bentuk keprihatinan atas terkikisnya kemampuan generasi muda berkomunikasi menggunakan Bahasa Jawa. Pengawasan tidak kaku, namun ini merupakan upaya untuk membiasakan kembali bahasa Jawa terutama Bahasa Krama menjadi tata krama berbahasa dalam keseharian.
Dari edaran itu, tak hanya guru dan murid saja yang wajib berbahasa Jawa di hari Kamis, tapi juga aparatur sipil Negara dan semua pegawai di lingkungan Dinas Pendidikan. Langkah ini seakan menjadi angisn segar bagi penyelamatan aset budaya bangsa Indonesia khususnya kultur di Kota Santri.
Tentunya, tata krama dalam berbahasa Jawa perlu ditanamkan sejak dini. Dengan kebijakan berbahasa Jawa ini bisa berkontribusi dalam mencetak anak-anak yang berkarakter dan berbudi pekerti luhur. Unggah-ungguh dalam tutur kata adalah cerminan keluhuran budi pekerti yang sudah sangat mendesak. Mari kita lestarikan bersama.


Hayooo…. Awakmu, faseh boso kromo pisan gak???


1 komentar:

  1. nek gelani iku arti spesifik e opo cak/mbak?
    contoh : “gelani seh arek iku, jek kurang ae”

    BalasHapus

Tentang Jombang Lainnya

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...