Senin, 01 Februari 2021

Candi aRimbi dalam Ekspedisi Wallace ke Wonosalam

 

Candi Rimbi pertama kali ‘ditemukan’ dan dipublikasikan oleh Alfred Russel Wallace yang sedang berkunjung ke Wonosalam untuk mengambil spesimen burung merak dan hewan-hewan endemik dari Gunung Anjasmoro. Ilmuwan Inggris itu sedang melakukan penjelajahan dan pencatatan dalam ekspedisinya menguak jenis-jenis flora dan fauna di nusantara. Rupanya, Wonosalam di Jombang menjadi salah satu destinasi dalam ekspedisinya.


Catatan Wallace tersebut dirangkum dalam buku The Malay Archipelago. Dalam catatan kunjungannya itu, Wallace melalui Surabaya sebagai pelabuhan tempatnya mendarat setelah perjalanannya ke Ternate, Kepulauan Maluku. Dengan mengendarai kereta sapi jantan atau biasa kita sebut dengan cikar, Wallace melanjutkan ekspedisinya ke Mojokerto, lalu Mojoagung. Dari Mojoagung, Wallace melanjutkan perjalanannya ke Wonosalam dengan menunggang kuda.


Berikut cuplikan dari catatan Wallace yang menggambarkan Candi Rimbi :

"……. Having decided to stay some time at Wonosalem, on the lower slopes of The Arjuna Mountain, where I was informed I should find forest and plenty of game,…………

The road to Wonosalem led through a magnificent forest in the depths of which we passed a fine ruin of what appeared to have been a royal tomb or mausoleum. It is formed entirely of stone, and elaborately carved. Near the base is a course of boldly projecting blocks, sculptured in high relief, with a series of scenes which are probably incidents in the life of the defunct. These are all beautifully executed, some of the figures of animals in particular, being easily recognisable and very accurate. The general design, as far as the ruined state of the upper part will permit of its being seen, is very good, effect being given by an immense number and variety of projecting or retreating courses of squared stones in place of mouldings. The size of this structure is about thirty feet square by twenty high, and as the traveller comes suddenly upon it on a small elevation by the roadside, overshadowed by gigantic trees, overrun with plants and creepers, and closely backed by the gloomy forest, he is struck by the solemnity and picturesque beauty of the scene, and is led to ponder on the strange law of progress, which looks so like retrogression, and which in so many distant parts of the world has exterminated or driven out a highly artistic and constructive race, to make room for one which, as far as we can judge, is very far its inferior.

Few Englishmen are aware of the number and beauty of the architectural remains in Java. They have never been popularly illustrated or described, and it will therefore take most persons by surprise to learn that they far surpass those of Central America, perhaps even those of India. To give some idea of these ruins, and perchance to excite wealthy amateurs to explore them thoroughly and obtain by photography an accurate record of their beautiful sculptures before it is too late, I will enumerate the most important, as briefly described in Sir Stamford Raffles' "History of Java''."



''…………..Saya telah memutuskan untuk mengunjungi Wonosalem, yang berada di kaki Pegunungan Arjuna. Saya diberi informasi bahwa saya harus mengunjungi hutan tersebut dan mencoba menemukan banyak hal di sana……..

Jalan menuju Wonosalem menyusuri hutan belantara di mana kami melewati sebuah reruntuhan yang tampaknya merupakan mausoleum atau makam kerajaan. Bangunan itu seluruhnya terbuat dari batu, dan diukir dengan rumit. Di dekat bagian dasar ada tatanan balok yang diproyeksikan dengan mencolok, dipahat dengan relief tinggi dengan serangkaian adegan yang mungkin merupakan episode kehidupan orang terkait yang dimakamkan di sini.

Semua dikerjakan dengan sangat indah, khususnya beberapa figur hewan dapat dikenali dengan mudah dan sangat akurat. Secara umum, bisa dilihat dengan jelas kondisinya sudah rusak di bagian atasnya.

Bangunan ini kira-kira ukurannya tiga puluh kaki dan tingginya dua puluh kaki. Ketika pengendara berkunjung kemari, lokasinya ada di pinggir jalan dengan posisi tanah yang lebih tinggi. Reruntuhan tertutup pohon-pohon menjulang, ditumbuhi tanaman merambat, dan berada di tengah kegelapan hutan belantara.

Sungguh mengejutkan, pemandangan sekitar begitu mempesona. Kembali merenungi betapa majunya peradaban kuno ini, yang terlihat seperti kemunduran di masa sekarang. Telah begitu banyak di belahan dunia karya artistik yang konstruktif seperti ini, rusak dan musnah. Sedangkan apresiasi yang sejauh ini harusnya bisa dilakukan, masih begitu rendah nilainya.

Hanya sedikit orang Inggris yang menyadari jumlah dan keindahan peninggalan arsitektur di Jawa. Peninggalan kuno ini tak pernah ramai digambarkan dan dijelaskan, padahal jika demikian pastinya akan mengejutkan banyak orang setelah mereka mengetahu bahwa arsitektur kuno di Jawa jauh melampaui Amerika Tengah, bahkan mungkin India.

Untuk memberikan gambaran tentang reruntuhan ini, demi menarik perhatian para amatir yang kompeten untuk menjelajahinya secara menyeluruh dan sebelum terlambat memperoleh potret dokumentasi akurat dari relief indah ini, saya merekomendasikan literatur paling penting, yang dijelaskan secara singkat dalam buku 'History of Java' karya Sir Stamford Raffles.''

 

Ilmuwan Inggris itu menyebutkan ‘Wonosalem’ di kaki Gunung Arjuno, padahal nyatanya berada di lereng Pegunungan Anjasmoro. Bisa jadi Sang Ilmuwan ini memang salah sebut, atau salah informasi karena kedua gunung memang bertetangga. Nama kedua gunung juga mirip karena sama-sama diawali huruf a, dan diakhiri huruf o, dengan ada getaran r di tengahnya. Tapi bisa dipastikan, Wonosalem yang dimaksud adalah Wonosalam yang kita kenal sekarang sebagai bagian dari Pegunungan Anjasmoro.



Disebutkan di tengah perjalanan, dia menemukan sebuah bangunan yang luasnya kira-kira 30 kaki dengan tinggi sekitar 20 kaki. Wallace menceritakan bahwa bangunan yang dia kira monumen makam raja itu terletak di daerah yang lebih tinggi dari sisi jalan, dan tertutupi oleh pohon raksasa yang dipenuhi oleh tumbuhan menjalar.

Bisa dipastikan bangunan yang dimaksud adalah Candi Rimbi, mengingat Candi Rimbi memang berada di tepi jalur utama Wonosalam dengan posisi tanah yang lebih tinggi daripada bangunan di sekitarnya hingga sekarang. Bangunan suci era klasik memang kerap dibangun dengan konsep sitinggil, yaitu lebih tinggi dari posisi tanah dan bangunan lain di sekitarnya.

Dengan melihat peta kuno Belanda, bisa diperkirakan perjalanan Wallace melalui jalur utama satu-satunya menuju Wonosalam lewat Ngrimbi. Karena di peta terdapat tanda merah berupa titik peninggalan cagar budaya yang ada di Ngrimbi. Di Ngrimbi itulah, Candi Rimbi dulunya berada. Sangat mungkin kala itu batas desa dan kecamatan sudah berbeda dengan yang sekarang.

Terimakasih banyak untuk Mas Faisol Radar Dolkin atas petanya


Kala pencatatan itu, Jombang bahkan masih menjadi bagian dari Mojokerto. Jadi lokasi Wonosalem yang disebutkan dalam dokumentasi Candi Rimbi jelas merupakan Desa Pulosari, Bareng di masa kini. Dari dokumentasi Belanda mengenai Candi Rimbi didukung peta kuno titik bangunan cagar budaya, bisa disimpulkan Ngrimbi dulu masih tercatat sebagai bagian dari Wonosalam.

Detail yang digambarkan Wallace agaknya didukung oleh foto-foto kuno Candi Rimbi yang sempat dipublikasikan sekitar tahun 1890-1956 yang kini bisa dilihat secara online di direktori potret Universiteit Leiden. Foto-foto kuno tersebut memang menjadi satu-satunya gambaran kondisi candi rimbi kala pertama kali didokumentasikan dengan potret hitam-putih.

Kondisi Candi Rimbi sangat memprihatinkan, dengan badan yang sudah runtuh sebelah. Terlihat ada satu pohon besar yang berdiri di sampingnya, sedangkan permukaan candi ditumbuhi rumput-rumput liar. Pelataran sekitar candi juga bernasib serupa, dikelilingi ilalang yang mungkin di dalamnya tersimpan puing-puing batu andesit yang dulunya menjadi bagian bangunan suci.

Om Wallace ini, bahkan juga begitu terkejut dengan panorama bumi Wonosalam yang begitu mempesona. Ilmuwan Inggris itu juga sangat terkesan dengan begitu majunyakebudayaan jawa terutama arsitekturnya yang begitu canggih. Dikatakan bahwa Jawa bahkan lebih maju daripada Amerika Tengah, bahkan India. Wallace pun sangat menyayangkan begitu rendahnya apresiasi terhadap benda-benda purbakala yang sangat berharga ini, begitu pula minimnya perhatian dan penelitian mengenai arsitektur Jawa yang begitu mutakhir. 

Dokumentasi tentang arca juga ditampilkan, setidaknya ada tiga arca yaitu Arca Parwati, Arca Agastya dan Arca Durga Mahesasuramandini yang ditemukan berada di sekitar candi. Sedangkan Arca Ganesha yang biasanya ada bersama dua arca sakti siwa, tak ada dalam dokumentasi.

Menariknya, meski kondisinya sangat memprihatinkan masih tampak ada beberapa potret yang mungkin tak bisa lagi dilihat dari tampilan Candi Arimbi yang sekarang. Beberapa potret relief menunjukkan Candi Rimbi masih dipenuhi oleh relief dengan ragam hias yang sangat cantik. Dan ada pula tampilan semacam antefix yang kini sudah tidak ada lagi. Keberadaannya sekarang tak diketahui. Entah rusak, hilang, atau berada dalam simpanan tangan orang yang mengambilnya.

Catatan lawas Alfred Russel Wallace itu menjadi satu-satunya dokumentasi penting mengenai Candi Rimbi. Potret-potret yang dipublikasikan dalam rentang waktu 1890 hingga 1956 juga menjadi memori yang tak ternilai pentingnya. Dari catatan kuno tersebut, masih bisa diperkirakan bentuk awal kala Candi Rimbi pertama kali didokumentasikan, sebelum kini dipugar setelah beberapa bagiannya makin banyak yang rusak dan dijarah oknum tak bertanggung jawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Jombang Lainnya

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...