Candi Arimbi merupakan bangunan cagar budaya dari Jombang yang
kondisinya paling baik dan tidak terkubur di dalam tanah. Kebanyakan,
candi-candi di Jombang ditemukan dalam kondisi terkubur atau bahkan belum
ditemukan kembali. Wajarlah, lokasinya yang ada di dataran tinggi cukup mengamankan
tubuhnya dari terjangan bencana yang biasanya mengubur benda purbakala di dalam
tanah.
Terletak di Jalan Rimbi, Dusun Pulosari, Desa Pulosari, Kecamatan
Bareng, Kabupaten Jombang. Lokasinya di jalur menuju Wonosalam dan berada di
dataran tinggi lereng Gunung Gede Anjasmoro menjadikan Candi Rimbi sering
dikira bagian dari Wonosalam. Jadi pelancong yang mengunjungi Wonosalam dari
jalur utama biasanya pasti menjadikan Candi Rimbi sebagai salah satu tambahan
jujugan kala melintas di kawasan ini.
Luas area Candi Rimbi tercatat sebesar 896,56 m2, dengan panjang candi
seukuran 13,24 m dan lebar 9,1 m. Bangunan candi menjulang setinggi 12 meter.
Bila Candi Arimbi masih utuh, diperkirakan tingginya jelas melampaui ukurannya
yang sekarang. Kompleks Candi Arimbi bisa jadi bukan sebuah candi tunggal,
tetapi terdapat bangunan lain di sekitarnya. Sayangnya, kini hanya bangunan
utama yang tersisa itupun badannya cuma tersisa sebagian.
Candi Rimbi, demikian cara warga setempat menyebutnya. Dikatakan, nama
itu berasal dari toponim Desa Ngrimbi dimana Candi Rimbi berada. Memang,
sekarang lokasi Candi Rimbi ada di Desa Pulosari, tetangga Desa Ngrimbi. Bisa
jadi pada saat ditemukan dulu, Candi Rimbi masih berada dalam lingkup Desa
Ngrimbi. Sedangkan batas wilayah zaman Belanda dan masa sekarang sudah berbedam
sehingga kini masuk Desa Pulosari. Namun demikian, nama yang tersemat pada
Candi Rimbi masih dipertahankan.
Sebutan Rimbi di Desa Ngrimbi berasal dari sosok wanita legendaris dari
cerita rakyat setempat yaitu Dewi Arimbi. Dewi Arimbi adalah raksasa cantik
yang merupakan istri Bima salah satu dari pandawa lima, ibunda Gatotkaca. Nama
Rimbi juga dikaitkan dengan dua makam misterius yang bersebelahan, dekat sungai
tak jauh dari Candi Arimbi.
Dari cerita warga setempat, makam itu diduga merupakan pesarean Prabu
Arimba dan adiknya Dewi Arimbi yang menjadi legenda kawasan ini. Meski belum
ada bukti ilmiah apapun tentang sosok tersebut, agaknya detail ini bisa jadi tambahan
informasi mengenai asal muasal lokasi dan cerita budaya setempat.
Candi sendiri, berasal dari kata candikagra, yang berarti candika,
sebutan untuk Dewi Durga atau Dewi Maut / Dewi Kematian. Dari sebutan candi
ini, tampak jelas bahwa bangunan candi punya keterkaitan dengan kematian. Candi
biasanya didirikan untuk tempat pendermaan, tempat pemujaan khususnya para raja
yang berasal dari kalangan terkemuka. Candi cantik ini, diperkirakan dari era Kerajaan
Majapahit sebagai bangunan pemujaan sekaligus sebagai pendermaan Dyah Gitarja
atau Ratu Tribhuana Tunggadewi.
Pembangunan Candi Arimbi jelas tidak dilakukan secara sembarangan.
Panduan pembuatan dan pemilihan lokasi
candi berikut berbagai pertimbangan matang. Perhitungan yang presisi pastinya
menjadi alasan dipilihnya lokasi dimana candi berdiri saat ini. Syarat utama
haruslah berupa lahan yang subur dan memiliki cadangan air yang melimpah. Bukan
lahan gersang yang minim mata air di sekitarnya.
Dikatakan, candi pastinya dibangun berdasarkan pemilihan lokasi terbaik,
salah satunya berdasarkan jenis tanah, warnanya, baunya, kelandaian medan,
kandungan tanah, termasuk kandungan air di dalamnya melalui berbagai pengujian
mengenai hal-hal terkait. Tak heran memang, dataran sekitar Candi Rimbi memang
dikenal subur dan tak jauh dari lokasi juga terdapat sendang yang kadar ph
airnya cukup tinggi. Sangat mungkin sendang tersebut digunakan untuk sarana air
suci prosesi peribadatan yang dilakukan di Candi Rimbi kala masih difungsikan.
Kebanyakan candi berada di lereng gunung hutan atau puncak bukit, karena
mengikuti konsep meru, dimana arwah sosok yang dicandikan bisa bergabung dengan
para dewa di puncak gunung. Selain itu, pemilihan lokasi juga bisa jadi dari
permintaan sosok yang dicandikan. Mirip dengan wasiat pemakaman di masa kini.
Namun, belum ada bukti ilmiah apapun mengenai ini, karena tak ada catatan
apapun mengenai Candi Arimbi.
Candi Rimbi pertama kali ‘ditemukan’ dan dipublikasikan oleh Alfred
Russel Wallace yang sedang berkunjung ke Wonosalam untuk mengambil spesimen
burung merak dan hewan-hewan endemik dari Gunung Anjasmoro. Dalam catatan
kunjungannya ke sebuah tempat yang disebutkan sebagai ‘Wonosalem’, Ilmuwan
Inggris itu tak sengaja menemukan bangunan kuno klasik yang diselimuti semak
belukar di permukaannya berikut beberapa arca yang ditemukan bersama dengan
reruntuhannya.
Mungkin candi Rimbi dulu masih termasuk bagian dari Wonosalam. Kala
pencatatan itu, Jombang bahkan masih menjadi bagian dari Mojokerto. Jadi lokasi
Wonosalem yang disebutkan sangat mungkin merupakan Desa Pulosari, Bareng di
masa kini.
Dalam catatan perjalanannya, Om Wallace bahkan salah sebut Gunung
Anjasmoro dengan mencatatnya sebagai Gunung Arjuno. Bisa jadi Sang Ilmuwan ini
memang salah sebut, atau salah informasi karena nama kedua gunung yang mirip
karena sama-sama diawali huruf a, dan diakhiri huruf o, dengan ada getaran r di
tengahnya.
Candi rimbi bagian kanannya sudah runtuh sepenuhnya, menyisakan sisi
kiri bangunan yang ada di sebelah utara. Puing-puing candi ditemukan berserakan
di sekitar bangunan utama. Tak terawat dan terbengkalai, ditumbuhi
tanaman-tanaman liar di sekujur tubuhnya. Potret kondisi Candi Arimbi di masa
kolonial bisa dilihat dari foto-foto Kern Institute yang kini juga bisa diakses
secara online.
Diperkirakan bangunan Candi Rimbi dulunya berbentuk ramping menjulang
khas candi bercorak hindu Jawa Timuran. Tubuh bangunan candi di Jawa Timur
umumnya berpostur ramping dengan atap bertingkat yang makin ke atas makin
mengecil.
Bangunan candi yang dibangun secara vertikal sebenarnya menggambarkan
konsep Meru. Apabila gunung Meru memiliki konsep kaki, badan, dan puncak, maka
candi juga mengacu pada hal yang sama. Kaki candi merupakan penggambaran kaki
gunung, badan candi seperti bentuk lereng gunung, sedangkan puncaknya adalah
titik tertinggi yang menjadi puncak sebuah gunung.
Bagian badannya berdiri tegak hanya separuh bagiannya. Bangunan candi
seperti teriris secara vertikal sehingga pengunjung bisa berdiri bidang datar
di bagian selatan candi. Bila dibuat potret refleksi cermin tubuh bagian
utara untuk bagian selatan berupa Candi Rimbi dalam Mimpi, candi ini akan
terlihat menjulang tinggi ke atas seperti konsep meru. Dari gambar mimpi
restorasi itu, terlihat Candi Arimbi memang berbentuk ramping khas candi-candi
hindu pada umumnya.
Kebanyakan candi terdiri atas tiga bagian yang disebut Triloka, yaitu
kaki candi, badan candi dan atap candi. Konsep ini merupakan penggambaran dari
alam semesta. Atap candi sendiri menggambarkan alam atas atau Shuahloka/Swarloka/Arupadatu yang
merupakan tempat para dewa bersemayam. Bagian atap ini biasanya berhiaskan
puncak candi yang disebut ratna. Sedangkan atap candi rimbi sudah runtuh
seluruhnya, sehingga sudah tidak bisa diperkirakan lagi bentuknya.
Berhubung bagian atap candi sudah tak bisa diketahui lagi bentuknya, jadi
tak bisa diperkirakan lagi ratnanya. Uniknya, Candi Rimbi ini pernah dikatakan
sebagai candi yang paling membingungkan bagian atapnya oleh para ahli sejarah.
Selain karena sudah hilang, juga beredar berbagai spekulasi tentangnya.
Diantaranya adalah bentuk atap candi yang terbuat dari kayu mirip dengan
tampilan Menara Kudus. Dugaan ini muncul kala ditemukannya umpak-umpak yang
diperkirakan untuk atap pilar candi di sekitar lokasi. Jika tiangnya dari kayu,
pastinya kini bagian pilarnya jelas sudah lapuk. Namun adanya batu mirip tiang
yang ditemukan di lokasi tampaknya membuat spekulasi berkembang makin rumit.
Meski masih bisa dikatakan berdiri tegak sebelah, hanya bagian kakinya yang
tampak masih utuh. Kaki candi merupakan penggambaran alam bawah atau Bhurloka / Kamadatu yaitu alam dunia manusia yang dikuasai oleh hal-hal
keduniawian. Kaki candi terdiri atas tiga teras yang dihubungkan oleh sebuah
tangga yang menjadi pintu masuk menuju bilik.
Kaki candi Rimbi terlihat punya dua susunan, terbagi dalam dua susunan
yang dibatasi pelipit yang menonjol keluar. Bagian kaki yang terletak di atas
pelipit agak menjorok ke dalam, sehingga ukurannya jadi lebih kecil
dibandingkan bagian kaki yang ada di bawah. Di bagian yang menjorok inilah,
terukir relief-relief candi yang kondisinya masih bisa dibilang baik. Sedangkan
antara kaki dan bagian tubuh candi yang tersisa juga dibatasi oleh pelipit
dengan hiasan kucur candi yang menonjol keluar di setiap sudutnya.
Tubuh candi menggambarkan alam antara, yaitu Bhuwarloka / Rupadatu yaitu alam dunia manusia yang sudah tak
terikat lagi dengan hal-hal duniawi. Karena tubuh candi lebih kecil
dibandingkan kakinya, candi rimbi jadi terlihat memiliki selasar yang
mengelilinginya.
Sebuah selasar terdapat di masing-masing teras untuk membaca relief. Namun
karena separuh bagiannya sudah runtuh termasuk bagian atap dan tubuh candi
bagian selatan, sehingga tangga yang sejatinya digunakan untuk menuju selasar
juga runtuh. Jadi, hanya selasar bagian utara saja yang bisa terlihat dari
bawah.
Pada kaki bagian atas maupun dinding luar tubuh candi tidak tampak
adanya pahatan. Sedangkan di sekeliling kaki bagian bawah yang agak menjorok ke
dalam tepat di bawah pelipit itu terdapat panel-panel yang terpahat di dinding
candi. Panel-panel itu menggambarkan ajaran tantrayana dan ragam hias bergambar
binatang dan tumbuhan.
Relief dipahat dengan teknik datar (wayang style) dan bisa dikatakan
masih utuh. Obyek digambarkan tampak samping dengan dan biasanya mengambil
tokoh atau kisah cerita wayang. Jajaran relief tampak mengisahkan kehidupan
sehari-hari masyarakat kala itu.
Pengerjaannya sangat indah dan halus, sehingga masih bisa diamati dengan
jelas hingga kini. Memang, relief candi di Jawa Timur biasanya menggunakan
teknik pahatan yang dangkal atau tipis, namun bergaya simbolis. Untuk
membacanya digunakan teknik prasawiya yaitu berlawanan arah jarum jam dimulai
dari sisi barat sebelah tangga kemudian menuju ke selatan kemudian sisi timur lalu dilanjutkan ke sisi utara hingga kembali berakhir ke sisi barat.
Bisa jadi saat candi masih difungsikan sebagai pemujaan, dilakukan prosesi
sirkumabulasi. Terdapat tepi pradhaksinapatha yaitu kaki bangunan candi yang
berupa teras atau lorong untuk tempat mengelilingi candi sebelum memasuki bilik
utama yang disebut garbhagrha sebagai
tempat arca perwujudan berada. Candi Rimbi memiliki profil pelipit dan sisi
genta. Profil ini merupakan ciri khas candi-candi Jawa Timuran akhir dari era Singasari
dan Majapahit.
Dari sini bisa diamati bahwa desain bagian relief candi rimbi seakan sengaja
dipahat di bagian kaki bawah untuk menyesuaikan tinggi badan peziarah yang
hadir dalam ritual. Padahal,bagian kaki candi yang berbahan bata masih terpendam sekitar 40cm. Selain itu, relief ditempatkan sekeliling candi supaya
dalam prosesi sirkumabulasi, peribadatan dilakukan dengan mengelilingi candi
sembari membaca relief dan doa-doa tertentu.
Mirip dengan prosesi thawaf yang dilakukan dalam ibadah haji dan umroh
yang mengelilingi obyek yang disakralkan sambil melafalkan doa yang dipanjatkan
pada Yang Maha Kuasa. Ritual sirkumabulasi sangat mungkin dilakukan kala itu
dengan mengelilingi candi sebagai obyek yang disakralkan sambil memanjatkan
doa.
Kedua jenis dinding polos dan berpahat dalam tampilan candi rimbi ini
disimpulkan oleh Asmara Garudhara sebagai relif bercorak toleransi yang
menggambarkan perpaduan antara candi hindu yang punya unsur budha juga di
dalamnya. Sesuai dengan corak Majapahit yang memang bercorak hindu-budha yang
memang menjunjung toleransi antar umat beragama. Namun bila diamati lebih lanjut, sejatinya Candi RImbi masih berstatus nirtuntas sehingga bagian relief atas belum sempat dikerjakan.
Reruntuhan candi masih tersisa dan ditata berjajar di sekeliling
kompleks candi. Di antara reruntuhan itu, ada tiga buah bongkahan besar yang
sangat menarik. Satu bongkahan besar tampaknya adalah kala, yang merupakan
hiasan pintu masuk candi.
Sedangkan dua bongkahan lainnya bergambar motif tumpal sulur bunga yang
kemudian menginspirasi pembuatan batik khas Jombang. Batu bermotif tumpal ada
dua dan diletakkan di samping kala. Mungkin dulunya adalah bagian dari pipi
tangga, dimana corak sulur tanaman ini merupakan lekuk khas Majapahitan ini
mengindikasikan Candi Arimbi dibuat di era Wilwatikta.
Uniknya, motif ini juga banyak ditemukan di candi-candi dan Majapahit
lainnya, termasuk yang terdekat yaitu di cerat Yoni Gambar. Meski tak sama
persis, namun motif tumpal keduanya cukup identik. Mentuknya sekilas menyerupai
seperti rahim atau tuba falopi sebagai lambang kesuburan. Motif batik itu pun
dinamai Batik Tribuana sesuai perlambang ratu majapahit yang didermakan di
Candi Arimbi.
Relief Candi Arimbi bisa dibilang istimewa karena salah satunya memuat
gambar matahari yang menjadi cikal bakal lambang surya majapahit. Relief yang
mengelilingi candi ini kebanyakan menggambarkan keseharian kehidupan manusia,
berikut interaksinya dengan hewan, tumbuhan dan alam. Di bagian akhir relief sisi
selatan, tampak beberapa kali muncul wujud cupu manik, yang dibaca oleh Asmara
Garudhara.
Belum diketahui kisah pasti dari relief Candi Arimbi secara lengkap.
Namun diperkirakan, relief candi rimbi berupa potongan-potongan peristiwa berupa
kegiatan religi dari ajaran tantri di masa itu, dan kehidupan keseharian
manusia dalam lingkungannya. Bila dilihat secara global, relief ini kebanyakan menggambarkan
kemakmuran masyarakat kala itu.
Setiap relief cerita dipisahkan oleh satu panel gambar hewan yang sampai
sekarang belum bisa diidentifikasi. Panel ini berbentuk persegi panjang, mirip
dengan konsep medallion namun berbingkai kotak. Panel di Candi Arimbi serupa
dengan yang ada di Candi Sanggrahan, hanya yang membedakannya adalah gambar
hewan yang tergurat dalam reliefnya.
Bila Candi Sanggrahan bergambar singa, panel dalam Candi Arimbi
bergambar makhluk mitologi yang sampai sekarang masih diperdebatkan spesies pastinya.
Beberapa ada yang menyatakan anjing, kambing, namun mirip juga dengan kelinci
atau hewan lain. Kisah penduduk setempat mengaitkan bentuk ini dengan legenda
Gua Ngesong sebagai Asu Kekek, atau Anjing Kekek yang dulunya kerap mengganggu
penduduk setempat.
Bila diruntut dari legenda Asu Kekek dari penduduk setempat, Asmara
Garudhara punya kecurigaan tersendiri. Pecinta sejarah dan ikonografi itu
menduga adanya sosok yang mungkin menjadi pengganggu penduduk setempat yang
mungkin disimbolkan dalam gambar hewan mitologi tersebut.
Dalam dunia ikonografi dan pembacaan makna, anjing dapat diartikan
sebagai sosok wanita tua. Ini disebabkan, dalam ilmu simbol anjing merupakan
hewan yang dianalogikan sebagai wanita tua atau nenek-nenek. Sangat mungkin
nenek tersebut ada kaitannya dengan sosok terkait candi arimbi, atau malah
tentang Dewi Arimbi maupun sosok lain yang kemudian menjadi legenda setempat.
Dalam pengamatan Jombang City Guide, sepertinya hewan ini adalah salah
satu hewan mitologi yang disebut qilin, dan Asmara Garudhara juga cukup setuju
dengan dugaan tersebut. Hewan ini banyak ditemukan dalam literatur negeri tirai
bambu yang menggambarkannya sebagai semangat sekaligus keagungan. Menariknya, dalam
panel Candi Arimbi, sosok qilin digambarkan dalam bermacam sisi, kadang
menghadap kanan sedangkan lainnya menghadap ke kiri.
Uniknya, relief qilin ini digambarkan dalam berbagai pose yang berbeda.
Seperti seekor hewan yang bergerak riang layaknya pembuatan film kartun yang
perlu banyak gambar untuk satu gerakan. Namun anggapan ini masih belum pasti,
dimana bisa jadi sosok hewan yang disebut qilin oleh Jombang City Guide ini bisa
jadi hanya merupakan ragam hias atau mungkin penggambaran simbol lain yang
masih belum terkuak.
Meski atapnya sudah runtuh dan sulit diperkirakan lagi bentuknya, namun
relung bagian utara Candi Arimbi masih
tersisa. Relung sendiri merupakan pintu semu pada ketiga sisi candi, tempat diletakkannya
arca-arca penjelmaan dewa tertinggi. Tampak relung yang tersisa tidak memiliki
hiasan maupun relief apapun di sampingnya.
Biasanya untuk candi pemakaman ada tiga relung candi yaitu sisi utara
dan selatan, serta satu lagi sisi timur. Sisi barat yang biasanya tanpa relung
namun berhiaskan kala untuk pintu masuk menuju bilik utama candi. ‘Arca’ Kala yang
menghiasi atap pintu bilik utama candi memang masih tersisa satu di lokasi,
sedangkan lainnya entah berada dimana.
Diperkirakan, salah satunya sudah menjadi penghias dam di Selumbung,
Mojowarno kala era kolonial Belanda. Dilihat dari bentuk dan ukurannya yang
sama persis, dugaan wajah Kala yang tertancap di bangunan dam itu menguat. Bila
memang ada Kala lainnya, sayangnya masih belum diketahui keberadaannya.
Bisa juga kala berada di empat sisi di atas tiap pintu dan relung,
tergantung citarasa seni dan desain seniman pembuat candinya. Namun dilihat
dari relung sebelah utara yang tersisa : Polos tanpa berhiaskan relief atau
kala, sangat mungkin hiasannya kalanya hanya ada dua di sisi barat dan timur,
atau bahkan hanya satu di sisi barat. Sedangkan kala di dam selumbung bisa jadi
merupakan kala dari candi lainnya.
Hiasan kala memiliki fungsi sebagai penjaga candi, untuk menakut-nakuti
dan mengusir roh jahat yang akan mengganggu siapapun yang beribadah dalam candi.
Kala adalah sosok asura yang ditundukkan oleh Dewa Syiwa, kemudian ditugaskan
untuk menjaga kuil-kuil dengan tinggal di ambang pintu. Jadi siapapun yang
masuk ke dalam kuil pastinya harus melalui kala, dengan memberi penghormatan
kepadanya.
Filosofinya digunakan untuk menolak bala’ atau segala macam hambatan
termasuk energi negatif yang bisa mengancam kelangsungan dan kelancaran upacara
yang diselenggarakan di dalam candi.
Karena itulah, sosok kala digambarkan sebagai monster dengan mimik
bengis dan menyeringai, yang mendukung tampilannya sebagai candi pemakaman. Kala
jawa timur kerap disebut pula dengan banaspati
yang digambarkan dengan sosok mata melotot, mengingatkan kita pada tari barong
dan reog ponorogo. Memang, kebanyakan kala jawa timuran memiliki mimik bengis,
berbeda dengan tampilan kala jawa tegah yang kebanyakan digambarkan dalam
bentuk tenang dan sabar.
Arca Parwati menjadi patung perwujudan utama dari candi Arimbi. Dari
konsep umum candi dengan arca perwujudan Parwati, umumnya relung-relung diisi
dengan arca keluarga Sang Dewi. Sosok dan hiasan yang berkaitan dengan ajaran
hindu seringkali dihadirkan bersamaan dengan tokoh dan tampilan yang berkaitan
dengan ajaran Budha, khususnya aliran Tantrayana. Candi-candi di Jawa Timur pun
umumnya dihiasi dengan relief atau patung berupa arca yang berkaitan dengan
Trimurti dewa dalam ajaran Hindu atau yang berkaitan dengan Syiwa seperti Durga,
Parwati, Ganesha dan Agastya.
Sosok dewa yang diarcakan di sini dapat diketahui dari potret lawas Candi
Arimbi yang berasal dari dokumentasi lawas Kern Institute. Dalam foto-foto
lawas tersebut, ditemukan setidaknya tiga arca dari kompleks Candi Arimbi yaitu
Arca Parwati, Arca Bhatara Guru, dan Arca Durga.
Biasanya relung bagian selatan diperkirakan diisi arca Agastya, relung
bagian utara diisi arca Durga dan relung bagian timur diisi Arca Ganesha. Namun
dilihat dari potret lawas saat penemuan candi, tak terdapat potret Ganesha
dalam arca yang ditemukan di pelataran Candi Arimbi. Hingga kini, tak diketahui
eksistensi arca Ganeshanya.
Arca Parwati diperkirakan berasal dari bilik utama candi yang ada di
bagian tengahnya yang kini sudah hancur dan bisa dilihat dari luar. Jika Candi
Arimbi masih utuh, maka diperkirakan stella arca Parwati bersandar di dinding
bagian timur candi dalam bilik utama. Patung Parwati menghadap ke barat sesuai
arah hadap Candi Arimbi yang punya arah serupa sebagai candi pemakaman.
Meski tak ditemukan angka tahun dari candi rimbi, namun keberadaan Arca
Dewi Parwati yang dipercaya sebagai perwujudan Tribuana Tunggadewi yang
didermakan di sini seperti menunjukkan identitas siapa yang dicandikan di sini.
Dyah Gitarja, sebutan lain dari ratu yang memerintah majapahit sekitar tahun
1329-1351 adalah sosok yang diduga mulai dibangunkan candi pada 1384M (Bennet,
Kempers), 12 tahun setelah mangkatnya.
Entah bagaimana dan kapan dibawa, yang jelas Arca dewi Parwati itu kini
disimpan di museum nasional dan kerap dianggap sebagai pasangan dari Arca
Harihara yang ditemukan di Candi Simping. Jombang City Guide sendiri belum
pernah melihat langsung, meski masih memendam mimpi untuk berkunjung ke sana. Monggo
kalau mau ada sponsor yang mau berangkatkan kami, xixixixixixi... aamiin..
Dari potret yang bisa diakses online mengenai patung dewi cantik itu
dilengkapi sandaran arca dengan penggambaran seorang dewi dengan empat tangan yang
salah satunya memegang teratai. Dewi yang memegang teratai ini menggambarkan perwujudan
rani, sosok pemimpin atau raja perempuan yang didermakan di sebuah candi.
Dewi Parwati sendiri, merupakan istri dari Dewa Syiwa yang digambarkan
sebagai bentuk kesempurnaan seorang wanita. Dewi Parwati dikenal sebagai simbol
wanita yang benar-benar mempunyai syarat terbaik sebagai seorang wanita, istri
dan ibu. Dewi Parwati juga dianggap sebagai dewi lambang kesuburan. Bersama
dengan suaminya Syiwa, keduanya sering digambarkan sebagai lingga dan yoni.
Lingga adalah perlambang Syiwa atau laki-laki, sedangkan yoni adalah lambang
Parwati atau perempuan. Sayangnya, tak ada catatan apapun mengenai ditemukannya
yoni di sekitar pelataran Candi Arimbi.
Dulunya ada sebuah lapik yang diperkirakan antara dari arca Bhatara Guru
atau Arca Parwati yang menyisakan kaki patung di pelataran candi. Sepertinya,
arca diambil secara paksa sehingga lapiknya pecah menjadi beberapa bagian dan
ukiran kakinya yang patah tertinggal di kompleks candi. Namun, keberadaan
arcanya kini tak lagi diketahui akibat diambil oleh oknum yang tak bertanggung
jawab. Lapik yang menyisakan bentuk kaki itu pun sudah diamankan oleh petugas
dan disimpan di Museum Trowulan.
Arca Dewi Durga kini dikabarkan sudah disimpan di museum mpu tantular. Ukurannya
cukup besar sehingga petugas kelurahan di desa yang mengingat bentuknya cukup
ragu bila arca Durga itu muat ditempatkan di salah satu relung candi. Meski
demikian, potret aktualnya akan coba Jombang City Guide usung di artikel khusus
tentang Durga Mahesasuramandini ala Arimbi.
Pondasi candi terbuat dari batu bata kuno yang dimensinya lebih besar
dibanding batu bata masa kini. Sedangkan seluruh tubuh candi rimbi terbuat dari
batu andesit. Batu andesit sendiri, kerap digunakan sebagai bahan pembangun
candi di era jawa tengah dan beberapa candi di jawa timur dari era Kahuripan
hingga Singosari yang banyak ditemukan di Lereng Pawitra.
Batu andesit sendiri berwarna hitam, mirip dengan batu sungai. Meski
mirip, namun batu andesit dikatakan berbeda jenisnya dengan batu sungai. Batu
andesit didapat dari dalam tanah, sehingga cara mendapatkannya pun harus digali
dahulu. Batu andesit juga punya sifat yang lebih kuat dibanding batu sungai
yang mudah hancur.
Hal ini cukup menjadi tanda tanya, mengingat candi peninggalan majapahit
umumnya pondasinya terbuat dari batu andesit sedangkan tubuh candinya terbuat
dari batu bata merah. Sedangkan candi rimbi malah sebaliknya : Pondasi dari
bata kuno sedangkan tubuh candi dari batu andesit.
Penggunaan batu andesit dalam candi rimbi seakan menggambarkan betapa
istimewanya kedudukan sosok yang didermakan di sini yang diperkirakan adalah Ratu
Tribuana Tunggadewi. Sepertinya, Hayam Wuruk sebagai putranya seakan ingin
memberikan penghormatan yang sangat tinggi dengan penggunaan bahan candi yang
lebih berkualitas.
Candi Arimbi dibangun menghadap ke barat, dengan tangga untuk naik yang
masih utuh. Sejatinya, tangga itu harusnya digunakan untuk menuju pintu bilik
utama candi tempat jantung bangunan berada. Karena sudah runtuh, bilik utama
pun sehingga tak bisa lagi diperkirakan bentuknya. Namun, detail candi
menghadap ke barat sepertinya bisa dijadikan petunjuk bahwa candi ini memang
merupakan candi ‘pemakaman’ dari sosok yang didharmakan.
Itulah mengapa, candi rimbi juga disebut sebagai Candi Cungkup Pulo.
Candi sendiri memiliki banyak jenis, salah satunya yaitu candi pemakaman. Candi
makam diidentifikasi serupa cungkup makam, sehingga muncullah istilah candi
cungkup. Sedangkan pulo dari sebutan Cungkup Pulo bisa jadi diambil dari nama
lokasi dimana Candi Arimbi berada yaitu Desa Pulosari.
Candi umumnya dibangun menghadap ke barat atau ke timur. Bila dibangun
menghadap ke timur, berarti candi ini merupakan candi pemujaan karena menghadap
matahari terbit sebagai perlambang kelahiran. Sedangkan bila menghadap ke barat
berarti candi pendermaan menghadap matahari terbenam yang melambangkan akhir
hayat berupa kematian. Candi Rimbi dibangun menghadap ke barat, berarti candi
ini merupakan candi pendermaan sosok yang dimuliakan di sini.
Adanya pemujaan terhadap raja atau pemimpin sebagai wakil dewa di muka
bumi sepertinya bisa menjadi dugaan dwifungsi candi yaitu candi pendermaan
maupun candi pemujaan. Bisa jadi, candi ini dibangun untuk pendermaan, namun
kemudian juga difungsikan sebagai pemujaan terhadap sosok yang diastanakan.
Arca Parwati dalam bilik candi rimbi, sama pula kedudukannya dengan
menhir dalam tradisi megalitik, sehingga Arca Parwati merupakan patung
perwujudan dari raja yang telah meninggal dan titisan dewa untuk dipuja.
Demikian menjadi jelas bahwa Candi Rimbi juga berfungsi sebagai kuil pemujaan
terhadap raja ketiga Majapahit yaitu Tribhuwana Tunggadewi.
Meski banyak artikel menyatakan sosok Ratu Tribuana Tunggadewi yang
didermakan di sini, hendaknya jangan lupakan ada tempat lain yang juga
berkaitan dengan sosok Bhre Kahuripan. Sebuah Yoni Naga Raja yang sangat
terkenal juga ada di petilasan Dyah Gitarja, dimana tahun 2019 telah dilakukan
ekskavasi, Penggalian tersebut menjadi titik balik yang sangat mengejutkan
karena ditemukan kompleks candi di bawah yoni naga raja bertuliskan angka tahun
di Klinterejo.
Hasil ekskavasi itu agaknya menguak fakta baru dimana sosok Sang Ratu
ternyata didermakan di dua tempat berbeda. Namun, biasanya bila ada satu sosok
didermakan di dua tempat berbeda biasanya digambarkan sebagai sosok dalam dua
sisi. Satu tempat menggambarkannya sebagai hindu, dan satunya lagi sebagai
budha.
Yoni Klinterejo sudah jelas merupakan perwujudan sisi hindunya.
Sedangkan berdasarkan arca Parwati yang ditemukan di Candi Arimbi, sosok
tersebut juga digambarkan dalam nuansa hindu yang kental. Dari Representasi
Sang Dewi, sangat mungkin sosok yang didermakan di Candi Arimbi berbeda dengan
yang ada di Yoni Klinterejo.
Meski Stutterheim menyatakan bahwa sosok arca perwujudan di Candi Arimbi
bukan putri Kertanegara yang bertahta sebagai permaisuri Majapahit, beberapa
pakar dan pembaca ikonografi termasuk puslit punya interpretasi sebaliknya. Arca
Parwati yang ada di museum nasional sekarang, adalah pasangan dari Arca
Harihara yang ditemukan di Candi Simping. Keduanya digambarkan mirip dengan
tipikal arca yang sama. Arca yang sepertinya dibuat berpasangan itu agaknya
menjadi penggambaran bahwa yang didermakan merupakan pasangan dari Prabu Harsawijaya,
yaitu permaisurinya : Tribuaneswari.
Jangan lupakan, bahwa ada sosok lain sebelumnya yang menyandang nama
‘Tribuana’ selain Dyah Gitarja. Dia adalah Puspawati yang bergelar Sri Parameswari
Dyah Dewi Tribhuaneswari. Putri sulung Kertanegara itu sudah menyandang nama Tribuana-iswari bahkan saat Dyah Gitarja
masih belum bertahta. Bila Klinterejo hampir dipastikan sebagai ‘milik’
Tribuana Tunggadewi, maka dapat dicurigai bahwa Candi Arimbi adalah pendermaan
Tribhuaneswari.
Tentunya, hipotesis ini masih belum bisa dibuktikan secara ilmiah. Kejanggalan-kejanggalan
Yoni Klinterejo masih belum selesai diungkap hingga masih bisa merujuk sosok
Bhre Kahuripan yang lainnya. Masih ditunggu penemuan selanjutnya yang mendukung
adanya dugaan sementara mengenai eksistensi Tribuaneswari dalam pembuatan Candi
Arimbi.
Misteri mengenai Candi Arimbi masih belum berhenti untuk ditelusuri. Di
sungai yang mengalir di belakang Candi Arimbi, banyak ditemukan pula batu bata
kuno yang berceceran di sepanjang alirannya. Diperkirakan, ada pemukiman kuno
di yang membentang dari sekitar Candi Arimbi hingga Alas Boto yang berada di
lahan ladang dan hutan di desa tetangga. Terdapat juga sendang yang berada di
kaki gunung dekat Candi Arimbi yang sepertinya menjadi bagian dari kelengkapan
bangunan maupun kepentingan pemujaan.
Nama-nama tempat yang ada di sekitar Candi Arimbi juga patut dicurigai
sebagai lokasi yang punya keterkaitan dengan candi. Lemahbang, Jurangbang,
Balekambang, Gedhoganjaran, Jemparing, dan masih banyak lagi.
Lemahbang berasal dari kata lemah
abang. Istilah ini bisa diartikan sebagai tanah merah yang memang jenis
tanah di Wonosalam dan sekitarnya memang berwarna merah. Namun toponim identik
dengan darah tumpah yang membasahi tanah. Bisa jadi dulunya di kawasan itu
terjadi sebuah pertempuran yang menumpahkan darah hingga memerahkan tanah di
sekitarnya. Sedangkan Jurangbang mungkin merupakan jurang yang punya arti yang
sama dengan Lemahbang yang mungkin pernah menjadi lokasi pertumpahan darah
akibat kedaton yang diserang musuh.
Sebutan Balekambang belum diketahui apa keterkaitannya dengan lokasi
wisata dengan nama yang sama di Malang, namun dikatakan istilah ini identik
dengan istana atau kedaton. Tak heran memang, untuk ukuran candi semegah Arimbi
pastinya di dekat sekitarnya ada kediaman raja atau petinggi kerajaan yang
punya jabatan penting. Selain itu penemuan dinding Kedaton dari era Bhre
Kahuripan di Bulurejo agaknya bisa menjadi tambahan detail kecil yang mendukung
hipotesis ini.
Nama Jemparing sendiri bisa diartikan sebagai busur panah yang
dibentangkan, siap untuk membidik sasaran. Sangat mungkin istilah ini merujuk
sebagai lokasi latihan prajurit kerajaan yang salah satunya berupa kegiatan
panahan. Bisa jadi, pusat pelatihan yang mungkin berupa asrama prajurit berisi
kegiatan para ksatria dilakukan untuk upaya pengamanan kedaton atau lokasi
penting yang harus dilindungi.
Tak heran pula, ada toponim Gedhoganjaran di dekat candi yang merujuk
pada istilah istal kuda. Dari cerita penduduk setempat, mereka sering mendengar
bunyi mistis berupa gemerincing lonceng kereta kuda yang akhirnya
dikait-kaitkan dengan sosok Ratu Pantai Selatan. Namun bila dihubungkan dari lokasi lainnya, sangat
mungkin prajurit yang berlatih juga dilengkapi dengan pasukan kavaleri yang
istal kudanya berada di lokasi yang bernama Gedhoganjaran kini.
Selain itu, ibarat kendaraan mewah di masa kini, kuda adalah barang
mewah yang hanya dimiliki oleh orang-orang penting kerajaan dan pasukan elit.
Jadi sangat mungkin kedaton punya ‘garasi’ berupa istal kuda yang lengkap
dengan kereta kencananya untuk mobilisasi tokoh penting yang sangat mungkin
kemudian sosoknya dicandikan di Candi Arimbi.
Alas Boto yang ada di desa tetangga, juga memiliki kisah sendiri.
Dikatakan, penduduk setempat bahkan tak perlu membeli bata untuk membangun
rumah, karena sudah disediakan nenek moyang terdahulu di alas boto. Tinggal
ambil di hutan karena serakannya begitu luas hingga bisa membangun banyak rumah
penduduk. Jika diteliti lebih lanjut, sangat mungkin sisa-sisa bata itu adalah
sisa bangunan era klasik yang sayangnya akibat ketidakpahaman mengenai
berharganya benda cagar budaya sehingga diambil sembarangan oleh penduduk.
Toponim di sekitar Candi Arimbi memang begitu mencurigakan, sangat wajar
bila muncul dugaan-dugaan mengenai keterkaitannya dengan banyak situs lainnya.
Meski hanya dugaan kasar dan belum terbukti secara ilmiah, namun misteri
mengenai candi arimbi masih sangat menarik untuk diteliti.
Pemugaran yang pernah dilakukan untuk candi rimbi agaknya belum mampu
mengembalikannya ke bentuk aslinya. Pernah dilakukan sebuah perbaikan, namun
hanya berupa tambal sulam dan memperbaiki tatanan yang ada saja, bukan berupa
restorasi utuh semisal pengembalian bentuk candi seperti wujud awalnya.
Menurut juru pelihara, tidak mungkin untuk mengembalikan candi dalam
bentuk semula karena reruntuhan yang ada sebagian besar merupakan batuan
pengisi tubuh bagian dalam candi. Padahal, masih sangat mungkin karena
reruntuhannya masih banyak tersebar di sekeliling kompleks cagar budaya ini.
Dulu beberapa batu sering diambil warga untuk jadi pondasi rumahnya,
namun katanya sekarang sudah dikembalikan. Mengenai jumlah pastinya yang sudah
‘dijarah’ warga, tidak ada yang tahu. Satu-satunya jalan adalah dengan membangun
kembali candi sehingga bisa diketahui bagian mana yang tak lagi ada.
Memang, kala islam mulai masuk ke Jawa, ajaran Hindu dan Budha pun mulai
ditinggalkan berikut bangunan sucinya pun juga dilupakan. Akibatnya, bangunan
candi itu mulai tertimbun longsoran tanah dan ditumbuhi semak belukar seperti
yang terjadi pada Candi Arimbi saat ditemukan.
Ketika kemudian daerah sekitarnya mulai tumbuh menjadi kawasan
pemukiman, keadaannya jadi makin parah. Dinding candi ada yang dibongkar dan
diambil batunya untuk pondasi rumah atau pengeras jalan. Kejadian ini juga
menimpa Candi Arimbi yang tampak rumah jupel lama yang sudah sepuh di samping
situs cagar budaya tampak berceceran batu bata maupun pecahan candi di
lantainya.
Kadang ada penduduk yang mengambil batu batanya untuk dijadikan bagian
dari tungku di dapur seperti yang terjadi di Candi Glagahan. Ada pula yang batu
bata kunonya diambil untuk ditumbuk jadi semen merah. Sedangkan sejumlah batu
berpahat dan yang berhias diambil oleh sinder-sinder perkebunan untuk dipajang
di halaman dan kantor pabrik atau di rumah dinas perkebunan.
Petugas di balai desa pernah menyatakan niatnya untuk melalukan upaya
restorasi candi seperti semula dengan menggunakan dana desa. Namun, kendala
tentu saja pada segi dana yang jelas tidak akan menelan biaya yang sedikit.
Prioritas untuk kepentingan sosial warga setempat sementara ini lebih
diutamakan. Padahal, bila menggandeng pecinta sejarah, arsitek candi dan
sponsor sepertinya masih sangat mungkin diwujudkan.
Dikatakan sebelumnya bahwa candi Arimbi belum pernah dipugar. Namun
pendapat lain bisa dikemukakan oleh Jombang City Guide yang pernah berkunjung
ke Candi ini sekitar tahun 2007. Dahulu, candi ini masih berantakan, berikut
susunannya yang tak beraturan. Kala itu, Jombang City Guide masih kecil
sehingga bisa memanjat hingga puncak candi tanpa takut.
Kini, terlihat dari beberapa sisi candi yang sepertinya sudah ditambal
di berbagai sudut untuk menguatkan pondasinya. Selain itu, Jombang City Guide
tak lagi bisa memanjat ke puncak candi karena tak ada lagi panjatan yang dirasa
aman. Tapi bisa jadi karena faktor usia Jombang City Guide juga yang tak
lagi muda sih. Heheheheh... Kelincahan dan kelihaian menurun, jadi lebih
takut untuk memanjat karena berbagai pertimbangan.
Hanya saja, berada di jalur utama yang padat penduduk membuat Candi
Arimbi cukup kekurangan lahan parkir. Biasanya pengunjung terpaksa parkir di
pinggir jalan menanjak, atau bisa menggunakan lahan di halaman penduduk
tetangga Candi Arimbi bila masih ada tempat. Tetangga biasanya sudah paham asal
pengunjung juga tetap menjaga norma kesopanan selama menitipkan kendaraan
Candi Cungkup Pulo ini juga sudah dilengkapi toilet yang memadai dan
pagar dengan nuansa Mojopahitan. Terimakasih kepada Balai Purbakala Jatim yang
sudah menyulap pagar menjadi begitu apik. Hanya musholla yang belum tersedia,
sehingga biasanya Jombang City Guide akan sholat di musholla terdekat atau
menumpang di rumah yang ada di samping Candi Arimbi.
Juru pelihara yang merawat candi Arimbi sudah melakukan upaya maksimal
dalam menjaganya. Tampak saat sore taman pelataran candi selalu disiram untuk
menjaga keasrian tanaman hias yang ditanam di sekitar candi.
Biasanya kendala utama terjadi saat musim hujan kala candi sering basah
terkena air hujan. Probabilitas munculnya jamur di permukaan candi meningkat
jadi harus dibersihkan lebih rutin. Selain itu, kemungkinan pelataran candi
menjadi lebih mudah becek sehingga pengunjung yang gemas karena jembrot akan
mengoleskan alas kakinya ke segala tempat termasuk ke badan candi. Hadeeehhh.
Tim Ahli Cagar Budaya Jombang sudah menggagas proyek ‘Arimbi Bercerita’
yang dijalankan oleh pemuda setempat. Salah satu idenya yaitu dengan
mengenalkan Candi Arimbi dari reliefnya yang unik termasuk medallion-kotaknya yang
dikatakan istimewa. Warga sekitar candi pun diajak untuk membawa pusaka
keluarga mereka, disertai dengan mengenalkan kisahnya. Cara ini adalah bentuk
pemetaan awal benda cagar budaya yang efektif meski agak susah dibayangkan
pelaksanaannya.
Sebagai generasi muda, hendaknya putra dan putri Jombang yang tertarik
dengan sejarah maupun yang mencintai kotanya juga turut menjaga aset budaya
bangsanya. Meski kondisi Candi Arimbi masih dalam kondisi baik, bukan berarti
berhenti dalam perjuangan pencarian sejarah dan asal muasal kota Jombang. Benda
cagar budaya di tempat lain di Jombang pun harus dijaga, begitu pula dengan
semangat untuk melestarikannya.
Candi Arimbi memang candi tercantik di Jombang sehingga bisa dijadikan
andalan kala ada tamu dari luar negeri yang ingin menikmati keindahan Jombang.
Masih besar harapan Jombang City Guide untuk mewujudkan mimpi merestorasi candi
Arimbi, setidaknya mengembalikan badan candi sisi selatan kembali tegak seperti
semula. Candi Arimbi dan sekitarnya pun, masih menyimpan berbagai misteri yang
masih belum terkuak, sambil menanti penemuan lainnya yang bisa memberikan
tambahan detail tentangnya.
Candi aRimbi
Jalan Arimbi, Lereng Gunung Gede Anjasmoro
Dusun Pulosari, Desa Pulosari
Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang
candiarimbi.blogspot.com
Btw, Apriliya Oktavianti dari
situsbudaya.id monggo kopas-kopas sepuas-puasnya ya. Nanti silakan pura-pura
lupa cantumkan sumber seperti biasanya, 'kan ya??? Haseeek, hasek hasek
haseeeekkk!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar