Sebuah
patok batu andesit berdiri agak miring di tengah sawah. Patok batu itu bukan
sekedar tugu biasa. Patok batu itu, menjadi asal usul sejarah Desa Watu Galuh
yang kini hari jadinya didasarkan dari penetapan lokasi itu sebagai ibukota
Kerajaan Mataram Kuno dalam era Wangsa Isyana yang dipimpin Mpu Sindok, Sang
Mahamantri Rakyyan i Hino.
Penduduk
setempat menyebut patok Watu Galuh ini sebagai Watu Mbah-Mbeh, yang entah
darimana penamaan ini berasal. Patok ini mungkin sebuah srandu yang menandai
lokasi tertentu sebagai bagian dari batas kota. Jika memang benar, maka bisa
jadi masih ada patok batu yang lain sebagai penandanya. Mirip dengan konsep
yoni naga raja milik Majapahit yang menjadi pembatas wilayah ibukota kerajaan.
Patok Batu
itu, berdiri agak oleng bak Menara Pizza di Dusun Nanggalan, Desa WatuGaluh
Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang. Bentuknya mirip tombol, dengan ujung bundar.
Bagian bawahnya, agak sedikit kuat sudutnya hingga membentuk empat sisi dimana
makin ke atas batu ini bentuknya makin melengkung hingga jadi bundar. Menariknya,
satu dari empat sisinya yang
menghadap ke barat memiliki guratan yang mirip dengan relief dalam candi.
Relief di bagian kiri itu bergambar orang yang mirip tokoh Semar atau Bagong
gondrong dengan badan berisi dan menghadap ke kiri. Di depannya, terdapat
relief daun yang berada di bagian kanan.
Dari
tampilan relief itu Asmara Garudhara, pakar pembaca relief benda kuno jawa
timuran, menebak bahwa batu ini merupakan sejenis sengkalan memet atau semacam
surya sengkala. Sengkalan merupakan sejenis penanda waktu di era kuno, yang
memberikan informasi tahun dimana benda ini dibuat dan beberapa detail lainnya.
Terbukti terdapat
ukiran orang dan daun yang biasanya menunjukkan angka tahun dimana batu ini
dibuat atau sebagai penanda waktu kala itu. Penanda waktu di sini bukan berarti
sebuah jam penunjuk waktu seperti yang ada di zaman modern, namun sebagai angka
tahun yang menampilkan informasi peristiwa penting yang menjadi alasan
bagaimana sengkalan ini dibuat.
Sengkalan
merupakan penanda waktu yang biasanya menunjukkan angka tahun yang memang
biasanya dipakai untuk menandai lahirnya seseorang, berdirinya suatu lembaga,
daerah, kota atau negara. Sengkalan bisa juga untuk menandai kematian, berakhir
atau bubarnya sesuatu atau bahkan sering digunakan untuk menandai peristiwa
penting yang juga bisa menggambarkan kondisi politik doa dan harapan. Bila di
zaman modern, mungkin sengkalan ini semacam plakat atau vandel dari marmer yang
kerap digunakan saat peresmian acara atau lokasi baru.
Dalam hal
ini, Watu Mbah-Mbeh yang ada di Watugaluh bisa jadi merupakan sengkalan penanda
waktu dan penunjuk lokasi dimana dipindahkannya ibukota Kerajaan Mdang dari
Tembelang ke Watugaluh sesuai isi Prasasti Anjukladang bertahun 937M yang
berbunyi “Kita prasiddha mangraksa
kadatwan rahyangta i Bhumi Mataram i Watugaluh”.
Sengkalan
berwujud rangkaian kata yang divisualisasikan dari gambar yang memiliki makna
berupa bilangan-bilangan. Sedangkan bila dilihat, Watu Mbah-Mbeh yang ada di
Watugaluh memilik relief yang bisa ditafsirkan sebagai angka tahun sehingga
bisa disimpulkan sebagai Sengkalan Memet yang dikategorikan sebagai Surya
Sengkala.
Surya
sengkala merujuk pada tahun Caka yang dibuat berdasarkan kalender surya yang
perhitungannya berdasarkan perputaran bumi terhadap matahari. Jadi angka tahun
yang tertera di Watu Mbah-Mbeh ini berdasarkan tahun Caka dimana orang-orang di
pada masa itu tak kalah keren dengan kebudayaan Romawi dan Persia yang masyhur
karena sudah bisa membuat dan memahami penanggalan berdasarkan perputaran bumi terhadap
matahari.
Dari surya
sengkala ini kita dapat menyimpulkan bahwa orang zaman dahulu sudah bisa
membuat penanggalan baik dari perhitungan revolusi bumi mengelilingi matahari dan
perputaran bulan mengelilingi bumi. Miriplah dengan penanggalan dari sebuah
kalender masehi yang menggunakan perhitungan matahari. Bayangkan, di masa itu
dasar apa yang sudah mereka gunakan sehingga bisa membuat sistem kalender yang
masih relevan dengan masa kini.
Sengkalan
memet merupakan sengkalan yang berbentuk gambar ukiran, relief, patung dan
bentuk-bentuk semacamnya yang nantinya punya makna angka tahun. Tiap kata dalam
sengkalan mewakili sebuah bilangan dan jika rangkaian kata tersebut dibaca
terbalik seperti membaca huruf arab dari kanan ke kiri maka didapatlah bilangan
tahun yang dimaksud.
Sementara
ini, dari yang terlihat ada dua relief yaitu orang dan daun. Sedangkan lekuk lainnya sepertinya bukan relief yang bisa dibaca. Menurut ilmu
pembacaan relief, orang berada di kanan dengan angka 1 dan daun berarti angka 1
ada di kiri, sehingga bila dibaca maka akan menghasilkan angka 11.
Angka
sebelas ini sama sekali tidak lengkap dan informasi dari kedua relief ini
tampak sangat minim, sehingga tidak bisa memberikan kesimpulan yang menyeluruh
mengenai apa yang mendasari pembuatan sengkalan ini, dan peristiwa apa yang
terjadi kala surya sengkala ini dibuat.
Apalagi, sengkalan
memet memiliki tingkat kesulitan tinggi dalam penafsiran, terutama bila tidak
memahami bahasa yang digunakan dalam lambang yang ditampilkan. Tidak adanya
aturan baku untuk membaca rangkaian visual dalam citra visual, sehingga disebutlah
memet yang artinya rumit nan membingungkan.
Beruntung, Jombang City Guide kemudian mendapat pencerahan dari kedatangan kawan yang menggeluti dunia iconografi. Adalah Asmara Gharudhara yang datang langsung dan 'membaca' Watu Mbah-Mbeh ini. Relief dibaca dari kanan ke kiri. Berarti Orang dibaca pertama dan benda mirip daun dibaca akhir. Dari pengamatannya, dia memiliki interpretasi sendiri.
Jika diamati, orang dalam relief tampak bertubuh tambun dengan rambut keriting gondrong. Wajah orang yang ada dalam gambar tampak bukan seperti manusia. Ada kesan 'buto' atau raksasa. Sedangkan di tangannya terdapat relief yang susah dibaca, namun dicoba diperkirakan apa hubungannya dengan gambar daun di depannya.
Kemudian, gambar daun tampak seperti galaksi spiral yang berdiri diagonal. Tak ada tulang daun dan tangkai. Bagian bawahnya tampak bukan tangkai pohon karena lentik ujungnya mirip dengan bagian atasnya. Bisa jadi itu bukan daun, bisa jadi tanaman, atau pohon bahkan yang lain.
Setelah lama berpikir,A Smara Garudhara punya interpretasi dari sudut pandang pribadinya yaitu orang di situ bukan manusia, bukan raksasa, melainkan dewa. Sedangkan benda yang ada di tangannya belum jelas, namun daun di depannya bisa diartikan air.
Jadi bila dibaca, maka relief itu berarti 'dewa menyiram air' yang bila diinterpretasikan merujuk pada angka 922 Caka yang ketika dikonversikan dalam tahun masehi menjadi 1022 M. Pada masa itu, diperkirakan olehnya adalah era Airlangga dan watu mbah-mbeh merupakan patok berupa lingga semu yang mungkin menandakan sesuatu.
Jika memang benar Watu Mbah-Mbeh merupakan sengkalan memet yang memuat informasi sebuah penanda waktu akibat peristiwa strategis, agaknya toponim Dusun Nanggalan sebagai lokasi dimana tugu batu ini berada juga bisa menjadi petunjuk bahwa patok batu ini merupakan penanda waktu yang mengindikasikan penanggalan sebuah kejadian yang memorable.
Jika diamati, orang dalam relief tampak bertubuh tambun dengan rambut keriting gondrong. Wajah orang yang ada dalam gambar tampak bukan seperti manusia. Ada kesan 'buto' atau raksasa. Sedangkan di tangannya terdapat relief yang susah dibaca, namun dicoba diperkirakan apa hubungannya dengan gambar daun di depannya.
Kemudian, gambar daun tampak seperti galaksi spiral yang berdiri diagonal. Tak ada tulang daun dan tangkai. Bagian bawahnya tampak bukan tangkai pohon karena lentik ujungnya mirip dengan bagian atasnya. Bisa jadi itu bukan daun, bisa jadi tanaman, atau pohon bahkan yang lain.
Setelah lama berpikir,A Smara Garudhara punya interpretasi dari sudut pandang pribadinya yaitu orang di situ bukan manusia, bukan raksasa, melainkan dewa. Sedangkan benda yang ada di tangannya belum jelas, namun daun di depannya bisa diartikan air.
Jadi bila dibaca, maka relief itu berarti 'dewa menyiram air' yang bila diinterpretasikan merujuk pada angka 922 Caka yang ketika dikonversikan dalam tahun masehi menjadi 1022 M. Pada masa itu, diperkirakan olehnya adalah era Airlangga dan watu mbah-mbeh merupakan patok berupa lingga semu yang mungkin menandakan sesuatu.
Jika memang benar Watu Mbah-Mbeh merupakan sengkalan memet yang memuat informasi sebuah penanda waktu akibat peristiwa strategis, agaknya toponim Dusun Nanggalan sebagai lokasi dimana tugu batu ini berada juga bisa menjadi petunjuk bahwa patok batu ini merupakan penanda waktu yang mengindikasikan penanggalan sebuah kejadian yang memorable.
Karena itu
sebenarnya untuk mengetahui misteri informasi yang tertera dalam Watu Mbah-Mbeh
harusnya dilakukan penggalian di sekeliling patok ini untuk mengetahui bentuk
yang ada di bawahnya. Bisa jadi Watu Mbah-Mbeh hanyalah sebuah lingga, atau
juga mungkin di bawahnya terdapat bangunan yang lebih besar dengan relief yang
lebih beragam sehingga lebih banyak informasi yang bisa didapat.
Dengan
adanya informasi yang lebih lengkap, bisa didapat kesimpulan yang lebih akurat
mengenai misteri informasi yang terkandung dari batu ini. Karena bila terjadi salah
pembacaan, bisa berakibat fatal sehingga bisa menyebabkan kesesatan penafsiran
yang nantinya akan menjadi acuan penanggalan dan bisa terjadi penyimpangan
pemahaman bagi anak-cucu generasi selanjutnya.
Generasi Penerus Bangsa |
Menariknya,
sudah pernah dilakukan penggalian terhadap batu ini , namun selalu terjadi hal
yang tidak diinginkan. Beberapa kali dilakukan penggalian dari tugu misterius
ini, tak lama kemudian penduduk yang menggalinya tutup usia. Begitu seterusnya
setiap dilakukan penggalian.
Pernah
pula ada penduduk yang menggali batu ini guna memindahkannya ke tempat lain.
Ternyata setelah digali lebih dalam, ukuran batu ini semakin besar hingga
terlihat gambar wayang berwujud Arjuna. Kata penduduk setempat, batu ini menancap lebih dari 4 meter ke dalam tanah yang dalamnya berbentuk persegi. Jadi patok yang terlihat ini hanyalah puncak dari sebuah bangunan yang besar, tapi bagian utamanya masih terkubur di dalam tanah. Beberapa waktu setelah melakukan penggalian batu ini,
akhirnya penduduk penggali batu tadi menjadi lumpuh lalu meninggal dunia.
Memang,
probabilitas faktor kesehatan dan kelelahan masih sangat mungkin terjadi pada
para penggali patok ini. Namun, dari beberapa peristiwa yang terjadi dengan
pola yang sama, membuat penduduk enggan melakukan penggalian untuk mengungkap
kisah patok batu ini.
Bila
memang benar adanya mengenai ukuran batu yang semakin besar ke bawah, bisa jadi
Watu Mbah-Mbeh ini merupakan ujung sebuah candi atau bangunan yang lebih besar
mengingat mayoritas benda-benda purbakala memang banyak yang terkubur jauh di
dalam tanah.
Bisa jadi,
lokasi ini dulunya merupakan kuil kecil yang kerap digunakan untuk ritual
sirkumabulasi yang ada dalam agama budha, kepercayaan yang dianut masyarakat
Kerajaan Medang kamulan kala itu. Sirkumabulasi umumnya dilakukan dengan
memutari obyek yang diyakini sebagai bangunan sakral dengan mengelilinginya
searah jarum jam, sembari membacakan doa dan harapan kepada Sang Pencipta.
Prosesi
sirkumabulasi mirip dengan Thawaf di Kakbah yang juga mengelilingi benda suci
sebagai bagian dari ritual keagamaan. Bedanya, thawaf dilakukan dengan
mengelilingi kakbah dengan alur berlawanan jarum jam. Jika memang benar Watu
Mbah-Mbeh dulu merupakan bagian dari kuil, berarti Konsep Pradaksina dan
Prasawiya agaknya juga bisa terkait dengan patok ini. Reliefnya yang menghadap
ke barat mungkin salah satu pertanda sesuatu.
Dulunya, Watu Mbah-Mbeh hanya dibiarkan ada di tengah sawah di balik rimbunnya ladang para petani. Kini, sekeliling patok batu ini telah diberi paving dan pagar meski tanpa cungkup untung pelindung atas. Pemberian pagar dan paving ini juga berguna saat peringatan hari jadi desa yang biasanya dilakukan dengan menghelat acara di sekeliling patok batu ini, termasuk adanya kirab budaya dengan berkeliling kampung.
Alhamdulillah,
patok batu ini sudah terdaftar sebagai bagian dari Benda Cagar budaya yang
menjadi inventaris trowulan. Terbukti ada tulisan putih dengan kode tertentu yang
menjadi ciri khas bahwa benda ini sudah ditandai sebagai bagian dari benda
cagar budaya milik Trowulan.
Ditandai BPCB |
Saat
Jombang City Guide berkunjung ke Watu Mbah-Mbeh ini, terdapat banyak sisa
sesajen yang mungkin diletakkan para peziarah sebelumnya. Ada beberapa sesajen
berupa bunga-bunga, bahkan kepala ayam yang sudah dimasak berikut tusuk sate
dan beberapa dupa. Sayangnya, sisa sesajen yang sudah mengering ini malah
menjadi sumber sampah yang dikerubungi semut sehingga menyulitkan pengamatan.
Juru pelihara
mungkin punya jadwal pembersihan sendiri, yang mungkin belum memasuki masanya.
Namun sisa sesajen para peziarah ini jelas membuat WatuGaluh ini malah terlihat
kumuh. Terdapat pula sisa bunga yang mengeringi di bagian atas batu yang
memutih entah kenapa.
Dulunya,
ada lampu yang bisa digunakan untuk penerangan di malam hari. Namun sepertinya
kabelnya sudah putus dan lampunya pun sudah hilang. Berita baiknya, akses jalan
menuju lokasi juga sudah cukup untuk dilalui mobil dari jalan aspal desa.
Jaraknya pun tak jauh dari jalan utama desa sehingga akses masih cukup memadai
dengan medan yang ringan.
Sebagai
lokasi yang disebutkan sebagai salah satu tempat dimana Ibukota Kerajaan Mdang
berada, tak banyak yang bisa ditemukan di Watugaluh. Hanya beberapa lumpang,
sumur kuno dan beberapa artefak lain yang tersisa. Bisa jadi sudah hancur
dijarah, atau mungkin masih banyak yang masih terkubur, atau bahkan sebarannya
kini sudah bukan bagian dari Watugaluh.
Contohnya Candi Pundong yang berada di desa tetangga Watugaluh.
Sebuah
misteri yang belum terpecahkan, padahal lokasi ini jelas disebutkan sebagai
salah satu ibukota Kerajaan Mdang era Wangsa Isyana, setelah dipindahkan dari Tembelang
yang diperkirakan terjadi pada 10 April 937 M. Tak diketahui mengapa ada
pemindahan lokasi ibukota dari Tembelang ke Watugaluh, yang jelas kedua lokasi
ada di jarak yang tak jauh satu sama lain dan memang masih berada di lingkup
Kabupaten Jombang.
Beberapa
artikel berupa kopasan yang entah darimana sumbernya jelas menyebutkan bahwa
batu Mbah-Mbeh ini dulunya diduduki oleh Mpu Sindok sebelum pergi ke Nganjuk
karena diserang oleh Anuspati. Sebuah detail yang janggal dimana ada frase yang
menyebutkan adanya penyerangan oleh Anuspati.
Tidak
jelas siapa Anuspati yang dimaksud, yang jelas namanya mirip dengan Anusapati, tokoh
Tumapel yang menjadi raja kedua kerajaan Singhasari setelah Ken Arok. Tak
dijelaskan darimana sumbernya, berikut apakah Anuspati yang dimaksud merupakan
orang yang sama dengan Anusapati putra Tunggul Ametung yang menjadi penerus Ken
Arok pendiri Tumapel.
Mpu Sindok
sendiri merupakan pendiri Dinasti Isyana yang menjadi leluhur Raja Airlangga
yang nantinya menurunkan raja-raja di Jawa Timur, mulai Kahuripan, Kediri,
Sighasari hingga Majapahit. Bila Anusapati dan Anuspati memang merujuk orang
yang sama, tentunya detail ini tidak dapat dipercaya karena Watugaluh berada
jauh di masa awal abad 10, sedangkan Anusapati dari Kerajaan Singhasari hidup
sekitar tahun 1227-1248. Selisih tiga abad tampaknya sudah menjadi bukti bahwa
narasi pengejaran terhadap Mpu Sindok tampaknya kurang benar adanya.
Informasi
mengenai patok batu Watu Mbah-Mbeh ini masih tersimpan rapi di balik
menyembulnya ujung atas bagiannya. Hanya relief manusia dan daun yang masih
menjadi petunjuk satu-satunya mengenai batu ini. Ekskavasi lebih dalam jelas
harus dilakukan. Sangat ditunggu bantuan dari arkeolog BPCB untuk menguak
misteri mengenai batu ini.
Watu Mbah-Mbeh Watugaluh
Dusun Nanggalan, Desa Watugaluh
Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang
More Info : Pak Adib - 081
Btw, Apriliya Oktavianti dari situsbudaya.id monggo kopas-kopas sepuas-puasnya ya. Nanti silakan pura-pura lupa cantumkan sumber seperti biasanya, 'kan ya??? Haseeek, hasek hasek haseeeekkk!!!
foto2nya perlu diupdate
BalasHapus