Dunia sudah terlalu dibuai dengan kenikmatan Kopi Luwak. Jombang pun punya lokasi wisata penangkaran luwak yang memang memproduksi Civet coffee asli yang bukan sekedar
kopi yang logonya diberi gambar musang. Lalu bagaimana kalau kopi yang sama,
diproduksi dengan campur tangan tupai??? Jenis kopi yang serupa, tapi tak sama namun juga tak kalah nikmat dan eksotisnya. Sudah pernah mencicipinya? Atau malah
baru dengar pertama kali??
Di samping sebagai penghasil
durian, Wonosalam memang dikenal sebagai kawasan hamparan kebun kopi sejak masa
kolonial Belanda. Kopi ekselsa, merupakan andalan Wonosalam karena varietas ini
merupakan jenis kopi eksotis nan langka yang tak banyak dibudidayakan, tak
hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia.
Berawal dari kisah orang tua yang kerap mengkonsumsi kopi tupai di masa lampau, petani kopi di Wonosalam tak kehabisan ide untuk membuat kopi yang berbeda dari yang lain dan bisa dikomersilkan. Setelah
diproduksinya kopi Luwak Ekselsa, adalah Kopi Jegidik yang merupakan jenis minuman
berkafein yang diolah dengan sentuhan tupai sebagai perantaranya.
Walaupun punya peran yang sama
dalam proses terciptanya kopi seperti Kopi Luwak yang tersohor itu, sejatinya
Jegidik punya cara kerja tersendiri dalam mengolah biji kopi yang nantinya akan
diambil dalam mengolah biji kopi yang nantinya akan diambil dan diolah oleh
petani kopi setempat.
Sebutannya tak umum, kemudian
dijadikan nama merek Kopi Jegidik. Jegidik jadi terdengar mirip dengan kata nJegidheg dalam bahasa Jawa yang artinya silent then doing nothing without answering. Julukan aneh ini
diharapkan memunculkan rasa penasaran bagi yang membacanya sehingga bisa
membuat sebuah branding yang menarik bagi konsumen.
Sejatinya, Jegidik merupakan
sejenis tupai lokal yang moncong mulutnya panjang runcing dan gemar memakan
berry kopi merah yang ranum. Sayangnya, petani kopi lokal tak mengetahui dengan
pasti jenis spesies Tupai Jegidik ini. Yang jelas, tupai Jegidik ini jelas
punya habitat di balik kemegahan Pegunungan Anjasmoro.
Berbeda dengan kopi luwak yang
masih penuh kontroversi mengenai halal-haramnya karena tercampur kotoran hewan,
Kopi Jegidik dijamin bersih dari keraguan akibat pro-kontra hukum akibat ‘feses
ajaib’ itu. Biji Kopi Jegidik didapat dari ‘muntahan’ berry kopi sisa bekas dimakan
oleh tupai.
Jadi, tupai-tupai tersebut
dipelihara dan secara rutin diberi berry kopi yang matang. Kemudian mamalia
yang menjadi kawan Spongebob dari Texas itu akan memakan daging berry-berry
kopi yang disediakan. Seperti layaknya manusia yang makan durian, tentunya yang
dimakan adalah daging buahnya, sedangkan bijinya kemudian dilepeh. Dari lepehan
tupai ini biji kopi yang mengandung air liur chipmunk ini kemudian dikumpulkan
dan diproses menjadi kopi Jegidik.
Jenis kopi yang dimakan oleh
tupai-tupai ini pun harus jenis ekselsa yang memang punya karakteristik daging
berry kopinya tebal dengan biji kecil. Tupai-tupai itu biasanya tak suka jenis
kopi selain ekselsa karena berry kopinya kurang tebal. Miriplah dengan manusia
yang suka makan durian, pasti lebih kenyang dengan durian yang tebal dan
berbiji kecil.
Ibaratnya tupai ini merupakan
perantara sebagai ‘mesin’ pengupas berry kopi dimana mereka memakan daging
berry kopinya sedangkan manusia membutuhkan biji kopinya. Kopi ekselsa yang
kurang populer di dunia kopi karena berdaging tebal dan bijinya kecil, malah
menjadi keunggulan unik dari Kopi Jegidik.
Kopi Jegidik jadi makin istimewa karena
yang didapat dengan bantuan insting langsung dari sortiran tupai. Petani kopi
sangat terbantu dari tajamnya penciuman Jegidik dalam memilih kopi terbaik,
karena tupai ini hanya memilih kopi terbaik dalam menu makanannya. Kopi Jegidik
pun menjadi sangat langka karena menjadi biji kopi pilihan yang benar-benar standar
kualitas dari Sang Jedigik.
Sama dengan kotoran dari luwak liar
yang mengandung kopi saat ditemukan di kebun kemudian dikumpulkan, ide
pengolahan Kopi Jegidik berawal dari banyak ditemukannya biji-biji kopi yang
ditemukan berserakan sehabis dikrikiti
tupai liar. Setelah dikumpulkan dan diolah, didapat rasa kopi baru yang begitu
unik dan berbeda dari yang lain. Sebuah cita rasa baru yang tak hanya nikmat
tapi juga benar-benar langka.
Karena ingin memperbesar kapasitas,
kemudian tupai ditangkarkan supaya Pak Sampiyo Sang Petani Kopi Jegidik tak
kesulitan mengumpulkan biji kopi berliur tupai. Akhirnya berhasil ditangkarkan
tiga tupai yang akhirnya satunya kabur di kandang belakang rumahnya
untuk produksi kopi unik ini. Meski demikian, ‘perburuan’ biji kopi sisa dikrikiti tupai di kebun tetap berlanjut.
Awalnya Jombang City Guide tak tahu
menahu mengenai kopi ini. Saat melihat bannernya, hanya berpikiran sebuah kopi
yang punya merek bergambar tupai yang lucu sebagai brand name-nya. Mungkin pemikiran ini muncul akibat keracunan pola pikir
kopi nasional yang hanya memasang gambar luwak dalam mereknya namun tak
menggunakan hewan tersebut dalam produksinya.
Saat bertamu ke kediaman Pak Kasun
di Sumber, kebetulan kopi menjadi sajian yang disediakan, bersamaan dengan
durian lokal Wonosalam. Ketika pertama kali mencicipi kopinya, rasanya begitu
pas, dan aroma kopinya begitu harum, tidak seperti kopi pada umumnya. Usut punya
usut, rupanya Pak Kasun pun menjelaskan bahwa inilah Kopi Jegidik yang
gambarnya tupai imut itu. Wow.
Menariknya, Kopi Jegidik selalu
mendapat ulasan positif dari kawan-kawan Jombang City Guide yang kebetulan
diberi oleh-oleh kopi tupai ini. Umumnya mereka menyatakan hal yang senada,
dimana semerbak aroma Kopi Jegidik menyebar ke seluruh ruangan
saat kopinya terkena air mendidih saat disajikan. Rasanya tak seasam kopi luwak tapi begitu unik sekaligus tetap nikmat saat diseruput. Rasanya pas, tapi mantap, begitu mereka
mengomentarinya.
Kedai Rumah Durian Bu Sulami |
Kopi Jegidik dijual di Lapak Durian
Bu Sulami dan Kedai Rumah Durian Bu Sulami, yang juga menjual Durian Bakar Cantik
ala Wonosalam. Harga kopi yang lebih langka dari kopi luwak ini pun masih
dibilang terjangkau, dengan kisaran Rp. 7.000,- per cangkirnya. Terdapat pula
kemasan kopi bubuk dengan gambar tupai yang imut, yang sangat cocok untuk
oleh-oleh khas Jombang. Pun bila penasaran ingin mencicipinya, kopi ini sudah
dijual secara online di beberapa aplikasi jual-beli oleh Sang Petani Kopi
Jegidik.
Lapak Durian Bu Sulami : Itu kelihatan sedikit banner kopi Jegidiknya |
Sebenarnya, selain Kopi Jegidik ada
kopi lain yang juga dibuat dengan campur tangan tupai di Indonesia. Kopi
Toratima dari Pipikoro, Sulawesi Tengah adalah kopi yang ‘menggunakan jasa’
tupai Tangali. Kopi tersebut juga sama langkanya dengan Kopi Jegidik, bedanya
kopi Toratima berasal dari berry kopi Robusta. Bisa jadi, karena kawasan itu
tak mengenal kopi ekselsa yang dagingnya tebal dan digemari para tupai.
Dunia perkopian internasional mengenal
empat jenis binatang yang menjadi perantara produksi kopi nikmat : Luwak (Indonesia),
Gajah Dung (Thailand), Burung Jacu (Brazilia), dan Kera (Taiwan). Dari Kopi
Toratima dan Kopi Jegidik, kini sepertinya Indonesia bolehlah menahbiskan diri
sebagai penyumbang kontingen tambahan dari jenis tupai sebagai yang kelima.
Para pecinta kopi, mana ilernya????
Eh. Suaranyaaaa??????
Kopi
Jegidik
Jalan Arjuno,
Dusun Sumber, Desa Wonosalam,
Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang
Rumah Durian Bu Sulami (Weni : 0855
4676 8860)
IG : imah_neda
Lapak Durian Bu Sulami (0857 3546
4040)
IG : kopi_jegidik
Kalau Kopi Luwak kan Civet Coffee ya. Kalau Kopi Tupai apa? Chipmunk Coffee??? |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar