Berawal dari niat membuat sumur untuk membuat kebutuhan air lancar, Candi Glagahan ditemukan. Penggalian dilanjutkan hingga menguak adanya struktur bangunan kuno dengan batu bata merah khas era kerajaan di masa lalu. Seperti bangunan pemujaan, yang juga diperkirakan berbentuk petirtaan. Keluarga Bu Tonah sendiri juga tak menyangka ternyata di halaman belakang rumahnya terdapat sebuah candi yang memiliki nilai sejarah tinggi bagi Jombang.
Candi ini berada Dusun Glagahan, Desa Glagahan, Kecamatan Perak, Kabupaten Jombang. Dari nama desa ditemukannya candi, kemudian bangunan kuno ini pun disebut Candi Glagahan. Karena ditemukan di Desa Glagahan, maka candi ini disebut Candi Glagahan dan telah terdaftar sebagai bangunan cagar budaya oleh BPCB. Kini rumah yang memiliki lahan itu ditinggali oleh salah satu putra Bu Tonah yang sekarang menjabat Ketua RT setempat di RT.03 RW. 02.
Diperkirakan bangunan ini merupakan bangunan suci yang disebutkan dalam Prasasti Poh Rinting berdasarkan pembacaan (4)… kaswa (5) tantranikanang sima kabikuan i poh rinting…
Prasasti Poh Rinting sendiri, sementara ini merupakan prasasti tertua yang ditemukan di Jombang.
Dinyatakan pula dalam batu bertulis yang ditemukan di Glagahan, bahwa Dang Acaryya membuat permohonan kepada raja supaya daerahnya dijadikan perdikan karena di kawasannya terdapat bangunan suci. Sang Prabu pun mengabulkannya, dengan menetapkan Desa letak prasasti Poh Rinting berada sebagai desa sima. Sedangkan masyarakat desa sekitar bangunan suci berkewajiban untuk memeliharanya.
Siapa
jelasnya Dang Acaryya yang dimaksud di sini tak bisa diketahui karena nama
dirinya tidak terbaca. Dang Acaryya merupakan gelar untuk pendeta penganut
sekte siwa. Dang Acaryya atau Dang Acharyya ini agaknya merupakan posisi
penting di desa setempat yang punya akses langsung kepada raja. Terbukti pula,
dari permohonannya, pengukuhan desa sima diwujudkan. Jadi posisinya jelas bukan
main-main karena mampu membuat permohonan yang dikabulkan raja.
Penanggalan Prasasti Poh Rinting yang katanya ditemukan dalam kompleks candi menyatakan angka tahun 851 Caka. Pembacaan tanggal pun dikonversikan menjadi 28 Oktober 929 M yang kala itu masuk dalam era pemerintahan Mpu Sindok. Jadi diperkirakan bangunan ini merupakan peninggalan dari Kerajaan Medang. Kini Prasasti Poh Rinting pun juga sudah diusung ke Museum Purbakala di Trowulan dengan nomor inventaris 82.
Penetapan
sima bisa dilakukan dengan menghadirkan perangkat desa beserta warga setempat
yang biasanya berasal dari penduduk sekitar wilayah perdikan. Penetapan ini
mirip dengan acara ‘peresmian’ masa kini yang disertai dengan perayaan.
Biasanya pesta diakhiri dengan pemberian pasek-pasek sebagai persembahan yang
berwujud bahan pakaian, uang, perak, bahkan emas.
Ada banyak pertimbangan dalam pengukuhan tanah perdikan. Pemberian status
desa sima juga dilakukan untuk pengembangan wilayah sehingga agar kawasan yang
kurang penting jadi lebih menarik bagi petani. Pengembangannya bisa berupa
pemukiman, atau kawasan pertanian, atau bentuk agraris lainnya. Pada akhirnya
dapat memperluas pemukiman sehingga makin mantap jadi wilayah yang strategis.
Pengukuhan suatu wilayah menjadi daerah perdikan dapat merupakan anugerah
raja kepada seseorang atau penduduk karena telah berjasa bagi negara. Selain
itu juga bisa karena dalam wilayah tersebut terdapat bangunan suci yang bisa
mendatangkan pendapatan dari para peziarah. Agaknya, penetapan perdikan yang
tertera dalam Prasasti Poh Rinting disebabkan karena adanya bangunan suci ini.
Biasanya, pendapatan yang dihasilkan dari pendapatan kunjungan bangunan
suci akan dianugerahkan pada pejabat setempat sebagai pengelola kuil. Dari
pendapatan itu pula, sebagai sumber biaya pemeliharaan bangunan suci.
Selebihnya digunakan untuk membeli lahan baru, sehingga tanah tersebut
dijadikan tambahan sawah sima bagi bangunan suci itu.
Tak dijelaskan rinci di dalam Prasasti Poh Rinting bangunan suci jenis apa sehingga mampu mendapat persetujuan Sang Maharaja hingga dikukuhkan sebagai daerah istimewa berstatus desa sima. Namun Candi Glagahan sementara ini diduga kuat sebagai bangunan yang dimaksud dalam Prasasti Poh Rinting.
|
Airnya sampai ngecembeng, memancar terus |
Selama ekskavasi di tahun 1981, para penggali cukup kerepotan dengan bancarnya air yang memancar. Candi tersebut yang terbuat dari batu bata merah kuno dengan ukiran cantik di berbagai sisinya dan terkubur di kedalaman sekitar dua meter dari permukaan tanah era modern. Ukuran candi utama sekitar 2,6m x2m dengan struktur batu bata sebagai dinding yang mengelilinginya.
Ada pula beberapa batu bata berukir yang sampelnya kini dibawa peneliti arkeologi Jatim ke Trowulan. Melihat bentuknya dan pancaran air yang hampir merendam lokasi, candi ini diperkirakan berjenis petirtaan mirip Candi Tikus dan Situs Candi Petirtaan Sumberbeji.
Ditemukan banyak penemuan yang didapatkan kala penggalian. Mulai batu bata merah kuno berukir cantik, maupun pecahan gerabah, dan masih banyak lainnya. Bahkan disebutkan kala itu juga ditemukan patung kecil dari logam yang kini sudah tak diketahui keberadaannya. Sedangkan keluarga Bu Tonah, masih mempertahankan sebuah tembikar yang kini disimpan rapi di dalam rumah.
Di sisi lain, kala itu animo masyarakat begitu tinggi terhadap penemuan Candi Glagahan sehingga lokasinya selalu dipenuhi oleh pengunjung yang ingin melihat bangunan kuno ini. Mungkin viral istilah masa kininya. Mereka tampak antusias dengan penemuan benda purbakala yang ada di Jombang, hingga akhirnya sempat menjadi destinasi wisata dadakan.
|
Animo masyarakat |
Namun,
animo masyarakat yang tinggi kala itu juga dibarengi oleh para pencari wangsit
yang kerap melakukan ritual dan semedi di Candi Glagahan, hingga meresahkan
warga sekitar. Tak jarang aktivitas mereka mungkin dinilai cukup mengganggu
sehingga akhirnya Candi Glagahan diputuskan untuk diurug kembali sekitar tahun 1985.
Seperti
tampak pada potret, anak terkecil yang ada dalam foto kini sudah membangun
keluarga sendiri dan setidaknya sudah memiliki dua anak. Tak dijelaskan tahun
berapa potret Candi Glagahan yang ada ini diambil, diperkirakan foto ini
diabadikan diantara kala candi sudah berhasil diekskavasi dan sebelum diurug kembali.
Ada kisah menarik dari batu bata kuno dari Candi Glagahan. Kala bentuk candi masih terlihat, tetangga setempat ada yang pernah mengambil salah satu batu bata kuno dari pondasi candi. Sayangnya pengambilan itu tanpa izin dan sepengetahuan pemilik halaman dimana candi berada, dengan maksud untuk menambah susunan tungku untuk keperluan memasak di dapur. Tak dinyana, berkali-kali memasak dalam dua kali lipat waktu seharusnya hingga minyak dan kayu habis, masakan tak kunjung matang.
Kejadian masak gagal matang itu terjadi berulang-ulang sehingga tetangga tersebut akhirnya mengembalikan batu bata kuno bagian candi tersebut ke lokasi asalnya, sekaligus meminta maaf pada Bu Tonah selaku pemilik halaman tempat candi berada. Praktis, setelah pengembalian dan permintaan maaf dilakukan, tetangga tersebut kemudian memasak dengan tungku seadanya pun kembali matang seperti durasi normalnya. Sebuah kisa yang tak mengherankan terjadi terkait bangunan kuno.
Penduduk setempat percaya, halaman itu punya hawa mistis mungkin karena ada pengaruh sisa energi bangunan kuno bekas pemujaan di masa lampau. Di sisi lain, keluarga dan keturunan Bu Tonah pemilik lahan malah tak pernah mengalami kejadian aneh apapun. Berhubung Jombang City Guide manusia yang nggak ngerti gitu-gitu jadi cukup nyantai saja saat melakukan kunjungan dan bincang-bincang dengan keluarga pemilik halaman. Heheheheh…
Kini batu bata merah kuno dan berukir cantik sudah diboyong ke Museum Trowulan. Sedangkan bangunan kuno berupa candi yang mungkin berupa petirtaan itu pun sudah ditutup kembali. Kondisi Candi Glagahan tak lagi bisa dikenali karena sudah terkubur di dalam tanah di bawah latar dimana ayam berlari-lari dengan riangnya. Yang jelas sisa urugan pun sudah tak terlihat setelah berlalu beberapa dekade lamanya.
Penutupan
kembali bangunan kuno di tahun 1980an ini juga karena adanya ketidakpastian
nasib yang dilakukan pemerintah kala itu pada pemilik lahan Candi Glagahan. Dilihat
dari tahunnya, ekskavasi dilakukan dalam
kendali Pusan Penelitian Arkeologi Nasional dari Jakarta yang kemudian baru
bekerja sama dengan BPCB Trowulan untuk penyelamatan temuannya.
Kala itu,
peneliti yang datang memberi janji akan dilakukan penyelamatan bangunan kuno.
Pemilik lahan dijanjikan akan diberi status PNS yang mungkin adalah status
sebagai Juru Pelihara Bangunan Cagar Budaya dalam istilah masa kini. Sayangnya,
setelah mengusung berbagai fragmen, ornamen, dan berbagai benda penting
termasuk batu bata merah kuno berukir cantik yang kini dipajang di Museum
Mandala Majapahit di Trowulan, pihak tersebut seperti hilang ditelan bumi.
|
Suami ibu tonah pemilik lahan yang menemukan candi |
Upah
sebagai ‘juru pelihara’ pun hanya diterima tujuh kali kemudian tak diketahui
kelanjutannya hingga sekarang. Foto-foto dokumentasi candi setelah dilakukan
ekskavasi pun dipinjam tanpa dikembalikan. Padahal, harga foto di masa itu bukan
nilai yang murah. Bisa dibayangkan betapa banyak janji yang tak ditepati oleh
pihak yang tak bertanggung jawab itu.
|
Ibu Tonah, pemilik lahan |
Lelah
dengan aneka janji maupun orang-orang yang datang tanpa kepastian, Bu Tonah dan
keluarga menjadi sedikit sensitif terhadap tamu yang berkunjung. Saat Jombang
City guide berkunjung, awal kecurigaan muncul. Terlebih lagi pada pihak-pihak
yang tak jelas kepentingan dan posisinya.
|
Menanti lebih dari 30 tahun |
Apalagi
saat pengunjung yang datang mungkin cukup kecewa karena candi sudah terkubur
kembali. Bahkan Bu Tonah dan keluarga sempat mengatakan dilarang melihat lokasi
bila tak membawa dana atau kepastian apapun. Wajarlah sikap itu muncul karena benar-benar
lelah dengan berbagai pihak yang datang tanpa kejelasan, terutama pemerintah
yang dulunya member janji.
|
Berada dalam ketidakpastian |
Berhubung Jombang
City Guide bukan wartawan, bukan peneliti, bukan pihak dinas alias bukan
siapa-siapa, urusan jadi agak rumit. Apalagi Jombang City Guide pun tak membawa apapun. Beruntung Jombang City Guide adalah perempuan,
entah kenapa kebetulan jadi agak dimudahkan dibanding pengunjung-pengunjung
lain yang tak jelas perannya. Heheheheh........... Terimakasih untuk Bu Sekdes
Iva yang kebetulan adalah keluarga Bu Tonah, beliaulah yang memberikan jalan
untuk mengakses lokasi.
|
Putri Bu Tonah yang ada dalam potret bersama Bu Sekdes |
Pun
misalnya ada pihak yang bersedia melakukan ekskavasi, Bu Tonah dan keluarga jelas
sangat mengizinkan terutama bila dilakukan kejelasan nasib lahan. Dengan adanya
penemuan itu, keluarga jadi sulit untuk melakukan pembanguan perluasan
kediaman. Jadi kejelasan nasib benar-benar sangat dinantikan Bu Tonah dan
keluarga setelah dalam penantian lebih dari 30 tahun lamanya.
|
Jika ada yang mau mengekskavasi ulang, monggo |
Awal 2019,
kebetulan Jombang memiliki dana untuk alokasi cagar budaya. Pemerintah yang
sekarang sudah melakukan pendataan ulang untuk memastikan kondisi terkini dari
candi. Diproyeksikan, Candi Glagahan segera akan diekskavasi ulang. Namun, kehebohan
penemuan Candi Petirtaan Sumberbeji membuat efek kejut lain. Bombastisnya
penemuan di petirtaan amerta Sumberbeji membuat Candi Glagahan agaknya harus kembali
menunda harapan untuk diekskavasi.
|
Menanti ekskavasi ulang |
Pemerintah
Desa Sumberbeji agaknya juga sangat kooperatif dalam proses penggalian sehingga
sangat menyedot perhatian hingga bupati dan peneliti dari Jakarta pun turun
tangan. Masyarakat setempat juga berkontribusi meramaikan lokasi dengan
membangun Sumberbeji sebagai destinasi baru yang menyenangkan untuk dikunjungi.
Candi Glagahan yang terkubur dalam sunyi akhirnya harus menanti giliran lebih
lama.
|
Suami Bu Tonah |
Sepertinya,
perlu dilakukan pemberitaan yang masif pula tentang nasib Candi Glagahan,
termasuk pentingnya peran perangkat desa untuk memperjuangkan kembali bangunan
kuno yang sangat bersejarah di desanya. Dengan adanya kontribusi lebih dan langkah kooperatif dari pemerintah desa seperti di Sumberbeji, bukan tidak mungkin Candi
Glagahan akan lebih cepat diekskavasi ulang.
Memang,
eksistensi Candi Glagahan tak banyak diketahui oleh pakar arkeologi maupun para
penggila sejarah seperti nasibnya yang terkubur rapi di dalam tanah. Nama
Glagahan malah sering dikira Batu Stupa Glagah yang berada di Glagah, Kulon
Progo Jogjakarta. Sedangkan Pantai Glagah menjadi destinasi yang dikenal dalam
istilah ini.
Glagah
sendiri bisa berarti alang-alang. Dari nama Glagahan, bisa jadi sebelum dibuka
menjadi lahan pemukiman, dulunya merupakan lahan penuh ilalang. Sedangkan
penamaan Prasasti Poh Rinting dimana batu bertulis berasal merujuk pada kawasan
penghasil buah mangga podang dan mangga manalagi yang enaknya nggak ketulungan.
Penyebutan
Prasasti Poh Rinting berasal nama kabikuan yang tertera dalam tulisan yang tergurat di inskripsi tugu batu bertulis dari Glagahan itu. Poh Rinting sendiri, berasal dari bahasa Jawa poh atau woh yang
diartikan sebagai buah atau berbuah. Sedangkan rinting berarti beruntai atau
berjejer renteng-renteng. Jadi Poh
Rinting berarti buah yang rimbun subur beruntai-untai, menjuntai-juntai dari
tangkai pohonnya.
|
Prasasti Poh Rinting |
Dinamakan
Poh Rinting karena diperkirakan, sebutan buah yang beruntai-untai ini berasal
dari pohon yang banyak tumbuh subur di sekitar lokasi. Ada pendapat bahwa pohon
yang dimaksud adalah pohon mangga berjenis Mangga Podang dan Mangga Manalagi.
Keduanya memang merupakan sejenis mangga yang buahnya beruntai-untai dalam satu
tangkai. Padahal lokasi Glagahan satu rute dari sentra Si Jambu Darsono,
Jambu Manis Gondanglegi. Jombang memang salah satu penghasil mangga yang
cukup produktif selain kabupaten tetangga yang memang dikenal sebagai sentranya.
Nama
Glagahan sendiri juga tak familiar dalam catatan sejarah lokal. Menariknya, ada
sebuah detail yang janggal dari fakta terkait penemuan Prasasti Poh Rinting yang
dinyatakan dalam catatan OJO Brandes dari masa kolonial Belanda. Ditulis dalam
catatan mengenai arkeologi Hindia Belanda itu bahwa Prasasti Poh Rinting
ditranskripsi no. XL dan ditemukan di Glagahan Afdeeling Djombang, Residen
Soerabaja. Kala itu Jombang masih masuk dalam Residen Surabaya dan tergabung
dalam Kabupaten Mojokerto. Dari Bahasa Belanda yang digunakan, dan masa pencatatan
itu rupanya dilakukan sebelum tahun 1900an.
Disebutkan
pula dalam laporan Verbeek tahun 1891, adanya penemuan batu bertulis dari
Glagahan, District Madjaredja, Afdeeling Djombang, Blad C.XIV. Dokumentasi sudah dilakukan oleh
Asisten Residen STEINMETZ dan kemudian Prasasti Poh Rinting diboyong dari
tempat asalnya lalu disimpan halaman rumah Asisten Residen Jombang.
Bila
penemuan Prasasti Poh Rinting terjadi tahun 1891 berarti Candi Glagahan belum
diketahui eksistensinya. Candi Glagahan baru ditemukan oleh pemilik lahan di
tahun 1980an. Padahal dikatakan oleh berbagai media bahwa Prasasti Poh Rinting
ditemukan bersama di dalam kompleks Candi Glagahan. Sebuah detail yang
kontradiktif.
Rumah
Asisten Residen Jombang dipercaya berada di dekat Kebonradja, yang kini menjadi
kawasan Kebon Rojo. Memang, di dekat Kebon Rojo ada banyak rumah kuno, termasuk
bekas sekolah, dan lokasi kegiatan katolik lainnya. Meski kini wajah kawasan dekat
Kebon Rojo sudah berubah, masih tersisa beberapa rumah kuno yang patut
dicurigai sebagai lokasi penempatan Prasasti Poh Rinting setelah dibawa dari
lokasi aslinya.
|
Lihat itu di atas, heboh kan. Awas mbrosot lho
|
Setelah
disimpan di halaman rumah Asisten Residen Jombang, disebutkan dalam laporan
tahun 1907 Prasasti Poh Rinting kembali dipindahkan ke Pesanggrahan Regent di
Modjokerto. Hal ini sangat dimungkinkan karena bupati Mojokerto kala itu
menaruh minat sangat tinggi terhadap kajian arkologis. Bisa jadi kemudian
inilah asal muasal akhirnya Prasasti Poh Rinting kini ditempatkan di Balai
Purbakala Trowulan.
Di sisi
lain, ditarik mundur dari momen penyimpanan di halaman Asisten Residen Jombang,
berarti kala penemuan prasasti dan ekskavasi candi di era orde baru berjarak
seratus tahun lamanya. Penemuan Prasasti Poh Rinting terjadi sebelum tahun
1900an sedangkan Candi Glagahan baru ditemukan tahun 1980an. Bisa jadi Candi
Glagahan sudah pernah ditemukan sebelumnya. Atau ada kemungkinan lain secara
kasar bisa disimpulkan bahwa bisa jadi penemuan Prasasti Poh Rinting bukan di
kompleks Candi Glagahan. Bisa jadi di titik lain di distrik yang sama, atau
lokasi lain yang belum diketahui persisnya yang masih dalam lingkup Desa Glagahan.
Lokasi Candi Glagahan sendiri berada tak jauh dari Watu Galuh tempat dimana ditemukannya srandu atau lingga semu berelief ukiran dewa. Jadi tak mengherankan bila Glagahan dianggap penting sehingga layak ditetapkan sebagai daerah perdikan.
Bisa jadi, Glagahan dulunya merupakan bagian dari Watu Galuh yang pernah menjadi salah satu lokasi ibukota Kerajaan Medang yang disebutkan dalam Prasasti Anjukladang. Atau mungkin tetangga desa seperti kawasan suburban dari ibukota yang sedang gencar-gencarnya dilakukan pengembangan. Selain itu, Candi Glagahan juga tak jauh dari Candi Pundong yang juga bagian dari peninggalan Kerajaan Medang era Mpu Sindok.
Menjadi
sesuatu yang makin menarik dimana baru-baru ini dikatakan ada penemuan baru
yang juga ada di Glagahan Perak yang diperkirakan merupakan benteng struktur
yang ada sebelumnya, atau bekas pemukiman kuno yang mungkin merupakan sisa
jejak masyarakat yang diamanati untuk memelihara bangunan suci yang disebutkan
dalam Prasasti Poh Rinting.
Hanya membayangkan, dengan ukiran-ukiran bunga secantik itu, pastilah Candi Glagahan bukan sekedar bangunan kuno biasa. Bayangkan cantiknya, bayangkan betapa anggun bangunannya. Besar
harapan Jombang City Guide, di tengah ramainya penemuan benda purbakala di
Jombang akhir-akhir ini, hendaknya pemerintah dan pihak BPCB bisa segera mengekskavasi
ulang Candi Glagahan yang juga tak kalah menariknya dengan penemuan lainnya.
Tapi bisa
jadi ada bangunan lain yang masih terkubur dan belum terkuak di Glagahan. Tinggal
menunggu waktu saja, hingga penemuan-penemuan penuh sejarah dan nilai
arkeologis itu, menyeruak ke permukaan.
Candi Glagahan
Halama Belakang Rumah Bu Tonah
Dusun Glagahan, Desa Glagahan
Kecamatan Perak, Kabupaten Jombang
Btw, Apriliya Oktavianti dari situsbudaya.id monggo kopas-kopas sepuas-puasnya ya. Nanti silakan pura-pura lupa cantumkan sumber seperti biasanya, 'kan ya??? Haseeek, hasek hasek haseeeekkk!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar