Beberapa
umpak bundar sedikit persegi, struktur batu bata kuno dan dua yoni persegi berukuran cukup
besar berceceran di sebuah lahan persawahan. Ada sekitar sembilan umpak
berbentuk bundar yang mungkin dulunya menjadi pondasi pilar sebuah bangunan.
Sedangkan pondasi memanjang dengan sisa sebuah struktur batu bata kuno
menandakan di lokasi ini dulunya pernah ada bangunan bersejarah. Bisa jadi
bangunan suci atau sisa sebuah pemukiman penting.
Menariknya,
ada dua yoni yang berukuran cukup besar di sekitar umpak-umpak tersebut. Yoni
tersebut berbentuk persegi dan tak punya pahatan apapun di permukaannya. Memang,
kedua yoni ini ukurannya tak sebesar Yoni Gambar maupun lekuknya yang semegah
Yoni Badas. Meski tak punya ukiran apapun, tapi lekuknya tak bisa dikatakan
polos layaknya Yoni Balongrejo di Sumobito. Lekuk-lekuk dan ukuranya menandakan
bahwa yoni ini seakan punya 'kasta' sedikit lebih tinggi dibanding rekan-rekannya yang
punya bentuk polos.
Yoni
tersebut jelas terbuat dari batu andesit, dengan bagian atasnya yang berwarna
kelabu khas batu kali. Namun bagian bawahnya seperti memutih, seakan terbuat
dari batu lain yang mungkin menjadi ‘kombinasi’ unsur bebatuan penyusun yoni
saat pembuatannya .
Yoni
di Indonesia umumnya berbentuk
persegi dengan empat sudutnya. Di beberapa daerah di Indonesia, yoni disebut
juga lesung batu karena menyerupai sebuah lesung dari batu. Namun ada kalanya
yoni di nusantara menyimpang dari pakem lingga yoni, berbentuk tidak lazim,
unik, maupun dilengkapi dengan ukiran yang detail seperti Yoni Gambar di
Japanan, Mojowarno dan Yoni Badas yang ditengarai sudah diboyong ke Museum Nasional
Jakarta. Keunikan tersebut terjadi karena faktor yang berbeda-beda sesuai letak
geografis dan situasi maupun politik yang melatarbelakangi pembuatannya.
Sayangnya,
kondisi kedua yoni di Candi Yoni Watukucur ini kini sudah tanpa lingga maupun ceratnya
sehingga sulit diidentifikasi identitas yoni dari lekuk pahatannya. Memang,
yoni terkadang punya cerat yang polos, tapi ada juga yoni yang punya bentuk
khusus berupa hiasan cerat berukir yang cantik seperti empat yoni tapal batas
ibukota kerajaan Majapahit. Dari ukiran tersebut bisa diidentifikasi corak
pembuatan yoni, bangunan suci yang ada di sekitarnya, maupun era kapan yoni
dibuat.
Ada
kemungkinan karena terlalu besarnya yoni, sehingga tak kuat penjarah membawanya
sekaligus. Bisa jadi pula, ada keunikan bentuk dari cerat ini sehingga hanya
bagian itu yang diambil secara paksa oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab.
Nasib
lingganya pun setali tiga uang. Entah punya ukiran atau tidak, karena bentuknya
kadang lingga memang sangat fungsional untuk kehidupan sehari-hari sehingga
sangat rawan untuk diambil orang. Karena itu biasanya situs bersejarah yang
masih punya lingga di kawasannya akan memasang lingganya itu secara permanen
seperti yang terjadi di Petilasan Dewi Kili Suci di Puncak Gunung Pucangan.
Lingga
biasanya diletakkan di cekungan yoni, dimana lingga biasanya juga berbentuk
arca perwujudan yang dipuja di dalam bangunan. Lingga mempresentasikan dewa siwa secara simbolik
sedangkan yoni melambangkan Dewi parwati, istri Siwa. Yoni adalah perlambang
ibu, kesuburan dan bumi pertiwi yang diwujudkan dalam sebuah pemukiman. Dengan
adanya yoni, seperti sebuah pertanda bahwa daerah tersebut termasuk wilayah
yang subur.
Yoni
memiliki saluran air yang disebut cerat atau pranala. Pada prosesi pemujaan,
puncak lingga disiram air suci yang mengalir hingga ke atas yoni lalu mengucur ke
bawah melalui cerat yoni. Air tersebut digunakan untuk digunakan untuk membasuh
wajah peziarah atau semacam prosesi dalam bersuci dalam ritual peribadatan. Miriplah
dengan umat islam yang harus berwudlu dahulu untuk menunaikan ibadah sholat.
Air yang
digunakan adalah air suci berenergi dewa untuk mendapatkan
keberkahan. Kucuran air itu merupakan bagian dari prosesi. Karena air yang
mengucur dari cerat itu, kemudian penduduk setempat menyebutnya dengan
watukucur. Mungkin karena ketidaktahuan mereka mengenai istilah yoni, sehingga
batu persegi yang ada di kawasan mereka pun disebutlah dengan watukucur atau
batu kucur yang merujuk pada batu yang mengucurkan air sesuai fungsinya kala
itu. Ironisnya, meski sebutan watukucur masih melekat, media pengucur berupa
ceratnya malah tak lagi menempel di tubuh yoninya.
Lingga dan yoni ditemukan paling sering berada dekat
candi, atau bertempat di satu area dengan bangunan candi. Karena itu biasanya
yoni ditemukan bersama sisa bangunan yang terbukti di samping Yoni Watukucur memang ada pondasi batu bata kuno. Dengan adanya pasangan lingga dan yoni di
suatu tempat seperti yang diletakkan di bilik bangunan candi adalah bukti bahwa
dulunya lokasi Candi Yoni Watukucur adalah lokasi penting yang bisa jadi berupa
pemujaan.
Sisa pondasi bangunan |
Sedangkan kondisi candi, sudah tak berbentuk lagi. Hanya
menyisakan sebagian pondasi dinding candi berupa susunan batu bata kuno, yang mungkin
bagian dari bangunan peribadatan. Ada sebuah tatanan batu bata kuno yang
mungkin menjadi sisa candi, namun bentuk awalnya sudah tak bisa diperkirakan
lagi.
Pendataan dari dinas dan juru pelihara Jombang |
Lokasi benda cagar budaya ini ada di sebuah lahan
tak jauh dari perbatasan Jombang-Mojokerto, dekat Budha Tidur. Dari kabar
burung yang beredar, lahan tempat yoni watukucur berada sudah dimiliki oleh
kawan Pak Lurah setempat. Meski nyaris menyentuh kawasan kota tetangga, namun
Candi Yoni Watukucur masih masuk lingkup Kabupaten Jombang. Benda cagar budaya
ini pun sudah masuk dalam data BPCB Trowulan dan jadi benda purbakala di
wilayah Jombang sehingga sudah dilindungi undang-undang. Secara berkala,
petugas mendata kondisi dan kelengkapannya.
Sudah dilindungi undang-undang |
Tak ada catatan apapun yang ditemukan di lokasi,
termasuk ukiran tertentu yang mungkin bisa jadi penanda yang mungkin bisa
menjadi petunjuk kecil untuk identifikasi. Selain itu, lokasi Candi Yoni
Watukucur pun tak tertera di kitab manapun. Namun melihat lokasinya yang tak
jauh dari Trowulan dan masih berada dalam lingkup empat tapal batas, agaknya
yoni ini merupakan bagian dari ibukota kerajaan di masa itu.
Istilah watukucur ini sepertinya juga dimiliki oleh
kawasan lain di kota tetangga yang dulunya merupakan induk asal Kota Santri. Situs lain yang punya nama serupa juga memiliki yoni sebagai obyek yang disebut watu kucur di Desa Kumitir, Kecamatan Jatirejo. Untuk membedakannya, rasanya Jombang City Guide akan cenderung menggunakan istilah 'watukucur' dengan penggabungan frase tanpa spasi untuk menyebut benda purbakala di wilayah Jombang ini. Meski kadang sering juga kepreset menyebutnya dengan watucukur gara-gara ketularan petugas disbudpar. Hehehhe...
Kedua
yoni dan sembilan umpak yang ditemukan berada tercecer di sebuah ladang, yang
sama sekali tidak terkubur di dalam tanah. Sepertinya, semua benda purbakala
ini masih insitu, yang artinya masih berada di lokasi aslinya. Pun misalnya
sudah berpindah, sepertinya hanya bergeser sedikit saja karena mungkin
aktivitas persawahan maupun produksi batu bata di sekitarnya.
Tidak terkubur |
Agaknya, kondisi utuh tak
terkubur dari Candi Yoni Watukucur ini seperti lazimnya peninggalan cagar
budaya di kawasan timur Jombang yang kebanyakan tidak terkubur rapi seperti
di wilayah barat Kota Santri. Dari kondisi ini, harusnya jadi lebih mudah
karena tak perlu lagi dilakukan ekskavasi kelas berat untuk menguak misteri
dari kisah di masa bangunan ini berjaya.
Sebenarnya, ada sebuah fakta menarik tentang yoni tanpa cerat ini. Upaya pengamanan sudah pernah dilakukan dengan pemindahan ke yoni Museum Trowulan. tak tanggung-tanggung, sudah tiga kali yoni tanpa cerat ini diboyong ke museum, namun secara ajaib selalu kembali ke lokasi aslinya. Mirip dengan satu umpak padmasana 'bandel' yang ada di Watu Umpak Grobogan yang selalu kembali ke tempat aslinya dan tak mau digabungkan dengan kawan-kawannya.
Keseriusan
pemerintah untuk menjaga dan melestarikan benda cagar budaya ini sangat
dinantikan karena merupakan kewenangan pemerintah daerah sesuai UU nomor 11
Tahun 2010. Meski berada di lahan milik warga dan sudah didata sebagai benda
purbakala Jombang, harusnya ada upaya untuk melakukan perlindungan berupa pemberian cungkup supaya tidak begitu saja teronggok
di tengah sawah. Meski yoninya sendiri seperti merasa aman dan 'ingin' ada di lokasi aslinya, setidaknya harus ada atap peneduh untuk 'melindunginya'.
Kejadian mistis bin ajaib ini banyak terjadi pada benda purbakala, jadi sudah bukan hal yang mengherankan lagi mengenai kasus ini. Dalam hati Jombang City Guide hanya mbatin, apakah dia kembali ke lokasi aslinya itu mungkin untuk menanti orang yang sudah merampas ceratnya. Mungkin dia menunggu orang itu mengembalikan ceratnya, supaya saat moro-moro Si Penjarah kesambet dan ingin mengembalikan ceratnya, dia sudah standby di lokasi. |
Selain
itu, guru-guru sejarah di Jombang dan seluruh nusantara hendaknya memotivasi
para siswanya untuk menghargai peninggalan sejarah bangsanya, supaya bila
ditemukan lagi situs bersejarah yang menjadi cikal bakal perjalanan bangsa ini,
benda kuno tersebut bisa diselamatkan dengan sebaik-baiknya. Sehingga niat
menjual benda cagar budaya seperti yang dilakukan oknum-oknum tak bertanggung
jawab tidak lagi terjadi karena sudah adanya kesadaran tinggi atas nilai-nilai
sejarah bangsa ini.
Sangat
penting untuk generasi mendatang, terutama anak muda di Jombang yang harus
berbangga karena dulunya di Kota Santrilah berdiri ibukota salah satu
kerajaan terbesar dan terkuat di nusantara. Selanjutnya, kita sebagai
generasi mudalah yang bertanggung jawab menjaga peninggalan kuno ini supaya
tetap lestari.
Terimakasih untuk Mojopahit Lelono yang sudah memberi izin untuk memuat foto-foto apiknya di artikel ini |
Candi Yoni
Watukucur
Perbatasan Jombang-Mojokerto
Kabupaten Jombang
Btw, Apriliya Oktavianti dari situsbudaya.id monggo kopas-kopas sepuas-puasnya ya. Nanti silakan pura-pura lupa cantumkan sumber seperti biasanya, 'kan ya??? Haseeek, hasek hasek haseeeekkk!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar