Patok kecil berbentuk persegi dengan sudut lembut setia
berdiri di pinggir jalan Desa Menturo, tak jauh dari kediaman keluarga Cak Nun
dan rumah kepala desa. Tepat di depan pagar sebuah rumah kuno bergaya Belanda, patok batu yang sekilas terlihat seperti batu biasa setinggi sekitar
betis bawah orang dewasa itu sebenarnya menyimpan sejarah tentang rangkaian
kisah Majapahit yang tercecer.
Patok batu sederhana di Desa Menturo, Kecamatan Sumobito,
Kabupaten Jombang ini disinyalir merupakan salah satu penanda jalan masuk menuju
ibukota Majapahit. Menturo juga diyakini sebagai salah satu pesanggrahan
putra-putri kerajaan di masa itu.
Menurut kisah penduduk setempat, patok berbahan batu
andesit ini dipercaya sebagai tambatan perahu di era Majapahit. Layaknya sebuah
perahu yang bersandar di dermaga, tambangnya pasti dikaitkan di sebuah patok
supaya perayu tidak hanyut terbawa arus.
Tentunya, kisah mengenai patok sebagain tambatan perahu ini
tidak muncul dengan sendirinya. Entah
darimana cerita rakyat ini berasal, pastinya sudah menjadi kisah turun-temurun
yang diceritakan dari generasi ke generasi. Melihat keberadaan tugu batu di
Dusun Menturo dan Dusun Tugu yang letaknya masih dalam satu kawasan, berarti
sebaran patok-patok itu membentang dari utara ke selatan.
Apabila kisah itu benar, bentangan itu memunculkan gambaran
adanya sungai yang cukup lebar dimana patok-patok batu tersebut diletakkan di
tepiannya. Sungai itu membentang dari utara ke selatan dan bermuara di Sungai
Brantas di bagian utaranya.
Yang menjadi pertanyaan, kini dimanakah eksistensi sungai
itu berada? Dengan adanya sebaran patok batu itu, dipastikan dulunya terdapat
sungai kuno yang kini telah hilang. Entah apa penyebab hilangnya sungai itu,
apakah disebabkan bencana alam yang melanda Majapahit hingga keruntuhannya
ataukah akibat sudetan Sungai Konto yang dilakukan Belanda tahun 1914.
Menurut pakar sejarah Nurhadi Rangkuti, dulunya patok ini
mencapai tinggi 127 cm dengan pahatan tulisan jawa kuno yang tidak terbaca di
salah satu sisinya. Btw mungkin ada
yang bisa bantuin baca?? Bentou patok di bagian bawah segi empat, dan
bagian atasnya segi delapan. Segi delapan adalah bentuk khas era Majapahit yang
mungkin terinspirasi dari logo Surya Majapahit dengan bintang delapannya. Mirip
dengan umpak-umpak Grobogan yang juga berlekuk serupa.
Namun inilah patok yang ada di hadapan Jombang City Guide.
Dengan bentuk persegi dengan sudut lembut dan setinggi betis bawah orang dewasa. Sekilas,
penampakannya tidak berbeda dengan bebatuan maupun pagar milik warga setempat lainnya.
Jika Pak Kepala Desa tidak menjelaskan, bisa jadi Jombang City Guide hanya
melewatkan patok batu bersejarah ini begitu saja.
Penasaran dengan sejarah Kerajaan Majapahit yang penuh
misteri, menggelitik para peneliti untuk melakukan penelusuran. Ekskavasi yang
dilakukan balai arkeologi Yogyakarta tahun 2005 yang dipimpin langsung oleh Pak
Nurhadi Rangkuti menghasilkan temua yang mengejutkan. Penggalian patok batu di di
depan rumah keluarga Cak Nun dipenuhi oleh pasir dan kerang sungai. Sedangkan
kotak gali bahkan mengeluarkan air hanya dari kedalaman satu meter, meski
penggalian dilakukan saat musim kemarau.
Penduduk setempat bahkan berkisah bahwa sering mendengar
suara air di bawah lantai sungai mereka. Cerita penduduk setempat itu
menguatkan bahwa air tanah yang ada di kawasan Menturo berada tak jauh dari
permukaan. Dimana bila air tanah itu tak terlalu dalam, berarti ada aliran
sungai bawah tanah. Bisa jadi air tanah itu merupakan sisa sungai kuno Menturo
yang hilang.
Sungai Brantas memang tidak dapat dipisahkan dari hiruk
pikuk aktivitas Kerajaan Majapahit bahkan juga kerajaan-kerajaan pra-Majapahit
seperti Kahuripan dan Mataram Kuno. Sungai terbesar di Jawa Timur ini merupakan
penggerak perekonomian dan jalur transportasi utama kala itu. Dermaga, penyeberangan
dan desa-desa pelabuhan yang ramai seperti disebutkan di Prasasti Berangka
terbitan Raja Hayam Wuruk.
Setelah melayari Sungai Brantas, perahu memasuki Sungai
Watudakon ke arah selatan menuju Menturo, Tugu dan Badas. Setelah tiba di
Badas, Yoni Naga Raja Badas yang merupakan tapal batas kota yang kini
‘hilang’, menyambut para tamu kerajaan. Dari Badas, dilakukan jalur darat
menuju Ibukota Majapahit yang ada di Madyopuro.
Dalam ekspedisi Nurhadi Rangkuti itu, ditemukan pula sisa
pemukiman kuno berupa tembikar, uang kuno, dan keramik yang diperkirakan
berasal dari abad 13 hingga 15 yang
kualitasnya tak jauh berbeda dengan yang ditemukan di Trowulan. Istimewanya,
fragmen-fragmen yang ditemukan di Kagenengan, sebuah daerah yang agak lebih
tinggi itu mengindikasikan pemukiman itu dihuni oleh kelompok masyarakat kelas
atas.
Patok batu kuno di dekat Masjid Darussalam ini kini
keadaannya sudah pernah dicat mungkin untuk kepentingan penghiasan jalan desa
yang lazim dilakukan saat perayaan kemerdekaan. Tulisan Jawa Kuno yang terpahat
di salah satu sisinya pun semakin sulit dibaca. Mungkin ada yang bisa baca
tulisan jawa kuno? Oh ayolah tolong bantuin baca…. Jelasnya Jombang City
Guide sangat penasaran…
Mungkin patok yang dimaksud Pak Nurhadi Rangkuti adalah dua
patok lain di Desa Menturo, karena sebenarnya ada tiga patok lain yang ada di
kampung halaman Emha Ainun Najib ini. Satu patok sudah patah karena ditabrak
pedati, dan satu lainnya di halaman rumah penduduk yang mungkin belum
kesampaian Jombang City Guide kunjungi. Pak Kepala Desa pasti dengan senang
hati mengantarkan, namun karena hari sudah terlalu senja kesempatan itu mungkin
belum bisa diwujudkan. Doakan.
Seperti desa kuno pada umumnya, dulunya Sumobito juga
merupakan hutan belantara hingga akhirnya berubah menjadi pemukiman di zaman
modern. Hutan belantara Sumobito, dipercaya sebagai salah satu jalur darat
jalan masuk ibukota yang ada di Madyopuro dan menghubungkan rute Majapahit dan
Daha di Kediri sebagai daerah bawahan.
Menturo atau Mentoro merupakan sebuah desa yang berada di
kawasan Kecamatan Sumobito. Patok Batu Menturo, masih berada dalam satu
kecamatan Sumobito bersama Desa Tugu dan Desa Badas yang juga memiliki tugu
batu kuno yang tersebar di beberapa titik. Lokasinya yang dekat dengan Badas, memunculkan
dugaan bahwa patok batu ini merupakan salah satu jalur masuk menuju Kota Raja
Wilwatikta.
Sumobito, memang diyakini sebagai tapal batas ibukota sisi
barat laut yang ditandai oleh adanya yoni naga raja seperti tiga titik lainnya.
Sayangnya, di titik barat laut yang jatuh di Desa badas, tidak terdapat penanda
apapun. Yoni naga raja yang biasa dianggap sebagai tapal batas kota telah
‘hilang’. Simak Misteri Tapal Batas Kota Badas Yang Hilang.
Di Kecamatan Sumobito tak jauh dari Desa Badas, juga terdapat
Desa Madyopuro yang disinyalir kuat sebagai titik ibukota Majapahit berada. Kota
Raja Majapahit kala itu memang disebut Madyopuro, dan syukurlah nama desa itu
belum berubah hingga zaman modern.
Memang bila dikaji lebih lanjut dari tulisan Negarakertagama,
ibukota Majapahit digambarkan sebagai kota yang megah dan terlindung dari
parit-parit. Seperti yang disebutkan oleh Kitab Negarakertagama Pupuh VIII:1
yang membahas keajaiban kota :
“Tersebut
keajaiban kota: tembok batu merah, tebal tinggi, mengitari pura Pintu barat
bernama Pura Waktra, menghadap ke lapangan luas, bersabuk parit. Pohon
brahmastana berkaki bodi, berjajar panjang, rapi berbentuk aneka ragam. Di
situlah tempat tunggu para tanda terus-menerus meronda, jaga paseban.”
Parit yang dimaksud adalah sungai, dimana kata bersabuk
mengindikasikan terdapat lebih dari satu sungai yang mengelilingi kota. Sabuk
parit menandakan ibukota terlindung di balik sungai dan istana kerajaan aman
berada di dalamnya.
Para tamu kerajaan biasanya berlayar dari Sungai Brantas
seperti dalam kisah Tragedi Lapangan Bubat, dimana rombongan Kerajaan Pajajaran
datang dari Tanah Pasundan dengan berlayar melalui Sungai Brantas. Saat tiba di
Kerajaan Majapahit, rombongan kecil yang membawa Dyah Pitaloka Citraresmi untuk
dinikahkan denga Prabu Hayam Wuruk tidak langsung memasuki istana kerajaan,
melainkan menunggu di Lapangan Bubat dengan membangun perkemahan.
Meski akhirnya terjadi pertempuran yang tidak diinginkan,
peristiwa tragedi Perang Bubat ini menunjukkan umumnya para tamu kerajaan tidak
langsung masuk ke istana dan masih menunggu di ‘alun-alun’ kota karena letak
istana yang masih tersembunyi, terlepas dari adanya negosiasi yang dilakukan
petinggi Kerajaan Pajajaran untuk ‘memenangkan’ perang urat syaraf politik dua
kerajaan kala itu.
Uniknya, ‘parit-parit’ ini tidak ditemukan di Trowulan.
Hanya Jombang, satu-satunya kota di Jawa Timur dengan Mojoagung-nya yang
memiliki bentang alam dengan sungai yang bercabang-cabang dan bermuara satu
sama lain seperti sebuah benteng alami, yang mengindikasikan lokasi Ibukota
Kerajaan Majapahit yang sebenarnya.
Tim Laskar Mdang sebagai kelompok pecinta sejarah Majapahit
asal Jombang telah melakukan bedah Kitab Negarakertagama dengan menelusuri
jalur-jalur sungai yang membentengi istana kerajaan. Tim arkeolog lokal Jombang
inilah yang melakukan penemuan-penemuan penting mengenai berbagai sejarah
mengenai Sang Wilwatikta hanya berdasarkan penguasaan wilayah lokal nJombangan
dan pengetahuan berdasarkan catatan dalam Negarakertagama.
Dari kisah-kisah yang dituliskan Negarakertagama, Tim
Laskar Mdang melakukan napak tilas dengan menelusuri jalur-jalur yang
disebutkan. Daerah-daerah yang tersisa, umumnya masih mempertahankan nama
kunonya, sehingga memudahkan penelusuran. Daerah yang namanya berubah biasanya
tak berubah banyak, sehingga masih bisa dikenali.
Dari gambaran Pak Nurhadi Rangkuti, Menturo memang salah
satu jalan menuju Majapahit, selain seribu jalan yang lain yang bisa dirunut
ulang. Sungai yang hilang hanya salah satu bukti bahwa ibukota Majapahit memang
dikelilingi oleh parit-parit, yang dikuatkan oleh penelusuruan Laskar Mdang.
Kesimpulan bahwa Mentoro dulunya merupakan salah satu
pemukiman kelas atas makin menguat, didukung penemuan Laskar Mdang yang
menemukan bahwa ibukota Sang Wilwatikta memang tak jauh dari Menturo. Sumobito
sebagai tapal batas barat laut masih perlu digali lebih banyak lagi untuk
memecahkan misteri Yoni Naga Raja Badas yang hilang, beserta istana kerajaan
yang masih tersembunyi.
Patok Menturo di Dusun Mentoro hanyalah salah satu benang
merah yang menyingkap misteri dimana ibukotra Kerajaan Majapahit bertahta.
Istana kerajaan yang letaknya masih menjadi misteri merupakan tugas sekaligus
amanah yang harus diemban warga Kota Santri untuk menjaga kelestariannya, dan menguak misterinya????!!!??
Patok
Menturo
Jalan Kik
Ronopati
Samping Masjid
Darussalam, Desa Mentoro
Kecamatan
Sumobito, Kabupaten Jombang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar