Para
siswa itu mengenakan seragam yang berlubang-lubang di beberapa bagian
pakaiannya. Lubang-lubang itu disebabkan oleh abu cerobong asap kereta api kuno
yang mereka naiki kala berangkat sekolah.
Sudah jadi rahasia umum, anak-anak dengan baju yang
berlubang itu pastinya para siswa yang menggunakan moda trasportasi kereta api
ketika berangkat sekolah. Baju berlubang itu semacam identitas bahwa mereka
sepurmania. Bahkan karena banyaknya abu panas yang berterbangan layaknya momen
giling pabrik gula, tak jarang kulit dan wajah mereka pun turut menghitam
terkena jelaga.
Kereta api zaman dulu memang masih menggunakan batu bara
sebagai bahan bakarnya dan lokomotifnya dilengkapi cerobong asap seperti kereta api Hogwarts
Express dalam film Harry Potter. Bunyinya tuuuut tuuut… seperti dalam lagu
maupun ilustrasi serial kartun Thomas and Friends.
Karena cerobong itu pulalah, asap hitam hasil pembakaran mengepul
ke udara sambil ‘mencemari’ lokasi-lokasi yang dilaluinya. Selain lokasi-lokasi
yang dilalui asap, para penumpang di dalam kereta pun akhirnya terkena imbasnya
pula. Kereta kuno zaman baheula tak dilengkapi kaca jendela apalagi air
conditioner di dalamnya, praktis abu jelaga dari cerobong yang hitam dan panas
pun siap melubangi pakaian para penumpang, termasuk anak-anak sekolah di dalam
gerbong.
Tapi itu dulu, sekitar tahun 1970an. Anak-anak itu kini
sudah jadi orang dewasa yang sudah punya cucu, dan kini hanya mengenang masa
sekolahnya sambil makan tahu Telor Mak Saromah di Jalan Seroja, tak jauh dari stasiun kereta api kuno milik Jombang. Stasiun Kereta
api yang bertempat di jalan yang sama itu pun, sudah tak dioperasikan lagi.
Pintu masuk stasiun kuno Djombang Kota Pasar |
Stasiun kereta api kuno di Jombang, terdapat di Jalan Seroja,
Desa Jombang, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jombang. Dulunya, kereta api ini
menjadi moda transportasi paling keren di masanya dan stasiun Jombang Kota
termasuk stasiun yang ramai. Sayang sekali tidak ada potret kuno yang menggambarkan situasi di Stasiun Jombang Kota kala itu.
Arsitektur bangunan stasiun Jombang Kota lama ini mirip
dengan stasiun-stasiun kecil yang ada di Jombang lainnya seperti di Stasiun
Curahmalang maupun Stasiun Sembung yang kental nuansa kuno ala Belanda. Tembok
yang tebal, dan ornamen hiasan dari kerikil kecil masih tampak di sisa-sisa
dinding meski kondisinya sudah sangat memprihatinkan.
Ornamen dinding hiasan kerikil |
Tak ada bukti otentik sama sekali di bangunan kuno ini
selain tulisan Jombang Kota +37 di bagian samping atas dinding luar. Stasiun
Jombang Kota lama ini kerap disingkat menjadi JGK. Sedangkan angka +37 maksudnya
stasiun ini berada di ketinggian 37 mdpl. Memang, Desa Jombang bukanlah dataran
tinggi seperti Wonosalam, sehingga suhunya pun tak sesejuk hawa pedesaan yang
berada di lereng Anjasmoro.
Stasiun kuno Jombang kota ini diperkirakan dibagun pada
tahun 1897 seiring dibukanya jalur rel dari Jombang Staatsspoorwegen (SS)
hingga Jombang Kota sejauh 2,7 km. Stasiun JGK dulunya masuk wilayah Daerah
Operasi VII Madiun dan berada di ujung paling utara milik KSM serta berbatasan
langsung dengan jalur milik Babad-Djombang
Stoormtram Maatschappij (BDSM).
Stasiun Jombang Kota dulunya bernama Stasiun Jombang BDS
karena dioperasikan oleh perusahaan kereta api lainnya yang disebut Babat-Djombang Stroomtram Maatschapppij (BDSM).
KAdang stasiun ini juga disebut Stasiun Jombang Kota Pasar oleh para pemerhati
sejarah perkeretaapian. Kemudian, jalur yang dibangun perusahaan swasta Kediri Stoomtram
Maatschappij (KSM) ini dijual ke perusahaan kereta api Hindia Belanda Staatsspoorwegen pada 1930an.
Berbeda dengan masa sekarang dimana bisnis kereta api
dikuasai oleh perusahaan BUMN PT. KAI dan memonopoli semua aktivitas
transportasi di atas rel, di era kolonial bisnis kereta api dimiliki oleh
banyak perusahaan yang bersaing maupun berkolaborasi satu sama lain termasuk
dalam pembangunan jalur rel kereta api.
KSM adalah perusahaan kereta api swasta era Hindia Belanda
yang mendapat konsesi tahun 1894 untuk membangun jalur kereta api di seputar
Jombang dan Kediri. Sedangkan BDSM adalah perusahaan kereta api swasta lainnya
yang mendapat konsesi tahun 1896 untuk membangun jalur kereta api di sekitar
Jombang dan Lamongan.
Selain mengarah ke Ploso, jalur rel yang mengarah ke utara
dari Stasiun Djombang Kota juga bercabang ke pabrik Gula Djombang Baru yang
terintegrasi sebagai sarana pengangkutan hasil industri gula dan jalur lori. BDSM
juga telah membangun jalur Jombang Kota – Jombang Pasar selama setahun di
1898-1899 sepanjang 3 kilometer.
Rel yang mengarah ke selatan dan dibangun oleh BDSM menuju
Stasiun Jombang Kota yang kini menjadi stasiun utama di Kabupaten Jombang.
Jalur ini melewati pertigaan Beringin Contong yang merupakan titik nol Jombang,
dan terletak di bagian barat dari Jalan Wahid Hasyim.
Pada tahun 1898 jalur rel Jombang Kota lama ini tersambung
dengan jalur milik BDSM lintas Jombang Kota sampai dengan Ploso sejauh 10 km serta
memiliki percabangan jalur yang akan berakhir di Tuban melalui Babat ke utara dan
ke selatan menuju Pare sampai Kediri.
Jadi bisa dibayangkan betapa ramainya stasiun Jombang Kota
lama waktu itu. Selain berada di lintasan utama milik Staatsspoorwegen, stasiun Jombang Kota Pasar juga terhubung dengan
sejumlah daerah yang di sebelah selatan dan utaranya berkat KSM dan BDSM.
Meskipun jalur Babad-Djombang yang dibangun BDSM merupakan
rute yang strategis, namun pengelolaan jalur ini mulai mengalami kerugian
setelag 20 tahun berjalan. Untuk menutup kerugian tersebut, di 1903 BDSM
menutup kerugian tersebut dengan menyewakan sebagian asetnya pada
Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij selama 15 tahun dengan nilai
kontrak 250.000 gulden.
Namun sayang, dua jalur yang dibuat dengan susah payah oleh
KSM dan BDSM kini tinggal kenangan, dan sudah tidak aktif lagi. Tahun 1981
Stasiun Jombang Kota dinon-aktifkan bersamaan dengan penutupan total jalur
Babat-Jombang.
Tak dioperasikannya lagi stasiun lama ini karena makin
padatnya penduduk di sekitar stasiun, termasuk berdirinya bangunan di sepanjang
jalur yang melintang. Selain itu, perkembangan zaman modern dengan munculnya
banyak kendaraan pribadi dan persaingan bisnis transportasi membuat kereta api
kuno ini makin kalah pamor dengan moda transportasi lain. Infrastruktur warisan
kolonial kondisinya pun sudah lapuk.
Letaknya yang bersandingan dengan pasar tradisional membuat
bangunan lama kemudian beralih fungsi dan dijadikan bagian dari pasar. Ada
bagian dari bangunan stasiun yang menjadi kantor pengurus pasar, ada pula yang
menjadi gudang penyimpanan sayur dan sembako.
Terasnya dijadikan lapak pedagang pisang |
Terasnya dijadikan etalase pedagang pisang dan sayuran. Beberapa
bagian yang lain menjadi parkiran, jemuran, tempat sampah, penyimpanan alat
kebersihan, bahkan di sekelilingnya dibangun lapak-lapak pedagang dan bedhag liar milik pedagang pasar. Bekas
jalur rel kereta apinya, masih bisa dilihat sisanya di beberapa titik meski
kebanyakan sudah ditanam dan di atasnya telah dibangun kios-kios pedagang
pasar.
Meski demikian, masih tersisa pintu besar khas Belanda, pasangan tiang kecil sebagai pembatas, maupun loket untuk penjualan tiket. Tiang kecil
pembatas ini memiliki lubang yang mungkin digunakan untuk mengaitkan kain
pembatas seperti dalam antrian bank.
Dua tiang kecil yang diduga untuk pembatas, terdapat lubang untuk gantungan
Sedangkan loket tiket, kini sudah ditutup
dan digunakan untuk tempat bertengger televisi lama yang jelas masih lebih muda
usianya dibandingkan kekunoan bangunan. Loket tiket ini masih menyisakan bagian jendelanya, sekaligus meja loketnya. Tampak warnanya yang sudah pudar termakan usia dan telah meninggalkan masa kejayaannya. Meski demikian, masih bisa dibayangkan para penumpang era kolonial yang datang silih berganti.
Kini dijadikan tempat televisi |
Terbayang dalam benak Jombang City Guide dan Djombang
Tempoe Doeloe, hiruk pikuk para petugas kereta api beserta para penumpang yang
ditemani oleh pengantar sambil membawa barang bawaannya. Ruangan di sebelah loket sepertinya semacam
peron dengan antrian tiket sekaligus ruang tunggu untuk menanti kereta yang
datang.
Di sayap lain dari stasiun Jombang Kota lama, juga terdapat
pintu yang lebih besar seperti layaknya bongkar muat angkut barang. Bisa jadi
ruangan ini bagian dari divisi pengiriman barang tempo dulu. Kini ruangan ini
dijadikan penjual beras untuk operasional bisnisnya.
Bagian tengah dari bangunan kuno stasiun Jombang Kota lama,
mungkin dulunya adalah kantor perusahaan kereta api terkait. Kini, bagian ini
masih tetap dijadikan kantor terlihat begitu mencolok karena dicat dengan warna kuning dan hijau khas kuningisasi yang masih diderita kota santri. Bagian tengah ini telah dialihfungsikan sebagai ruang para pengurus
asosiasi pedagang pasar yang hanya buka ketika pagi hari.
Kios-kios pasar ini, dulunya adalah tanah lapang yang
merupakan bagian dari Stasiun Jombang Kota lama. Bekas rel kereta api kadang
masih terlihat di depan trotoar sekitar pasar, di antara kios-kios pedagang dan
di beberapa titik lainnya, meski sudah banyak yang ditutup permanen oleh
bangunan baru. Bila bangunan-bangunan itu dibongkar, diperkirakan relnya masih
ada karena kebanyakan langsung ditimbun saat pembangunan.
Sisa rel di Stasiun Kuno |
Masih bisa dilihat |
Dari kutipan Javanesche
Spoorwegen Observeur (2013), sebagian peninggalan berupa sisa rel kereta
api Kediri Stoomtram Maatschappij (KSM)
sudah beralih fungsi menjadi pemukiman warga. Didirikan bangunan, dibongkar dan
tertimbun, bahkan hilang tak berbekas.
Lapak pedagang di Eks Lapangan Stasiun Kuno |
Jalur relnya masih bisa dirasakan di sepanjang Jalan KH.
Wahid Hasyim di sisi barat dimana aspal jalan terasa bergelombang dengan deretan
cekungan sepanjang jalan. Rel itu dulunya tidak dibongkar tapi hanya ditimbun
langsung dengan aspal seperti hampir semua rel peninggalan KSM di Jombang.
Beberapa rel rute Pare yang masih utuh bisa terlihat di
Jalan KH. Hasyim Asyari yang merupakan lanjutan dari Jalan Wahid Hasyim,
terutama di depan Warung Soto Pak Loso di perempatan Parimono. Rel itu memang
sudah tidak digunakan lagi, tapi masih bisa dibayangkan fungsinya ketika masih
di masa keemasannya.
Diduga kuat, stasiun Jombang Kota juga pernah dilalui Koesni
alias Bung Karno Kecil ketika masih berdomisili di Jombang dan menempuh
pendidikan Volkschool atau Sekolah Rakyat
di Ploso. Kala itu, Koesni kecil tinggal di Ploso dan keluarga Soekarno masih
sering pulang-pergi menuju Kediri yang dalam rutenya Djombang-Pare yang melalui
Gerdu Papak.
Jalur ke selatan memang menuju Kediri melalui Pare, yang juga
melintasi Gerdu Papak. Nenek Jombang City Guide masih benar-benar ingat di masa
kecilnya saat tinggal di pemukiman sbelakang Gerdu Papak. Anak-anak sering
bermain-main dan memanfaatkan kereta api lewat untuk membuat mainan dari paku.
Paku-paku diletakkan di atas rel, sengaja dibiarkan hingga
kereta api lewat. Setelah kereta api lewat, nantinya paku-paku tersebut akan terlindas
oleh roda kereta api dan otomatis gepeng sehingga bisa dijadikan mainan seperti
uang-uangan atau mainan lain. Sungguh sebuah masa yang begitu menyenangkan,
penuh kebahagiaan dan menjadi kenangan yang manis.
Kadishub Lamongan memiliki rencana untuk menghidupkan
kembali jalur Babat-Jombang yang kini telah mati. Namun sepertinya Stasiun
Jombang Kota lama tidak akan menjadi bagian dari ‘penghidupan’ jalur modern
karena kondisi lapangan yang sudah sangat tidak memungkinkan. Dalam wacananya,
Stasiun Ploso dan Stasiun Kabuh yang akan masuk dalam rute yang masih
direncanakan ini.
Meski tidak lagi dioperasikan dan tak akan dihidupkan
kembali, Stasiun Jombang Kota pasar tetaplah menjadi bangunan kuno peninggalan
bersejarah di Jombang dan layak dikategorikan sebagai bangunan cagar budaya.
Kita sebagai pewaris Kota Santri hendaklah turut menjaga kelestariannya,
termasuk memahami seluk beluk sejarahnya yang begitu gemilang di masanya.
Stasiun
Kuno Jombang Kota Pasar Lama
Jalan Seroja
Desa Jombang,
Kecamatan Jombang,
Kabupaten
Jombang
Selamat Hari Kereta Api Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar