Prasasti Watu Gilang
diduga merupakan peninggalan Kerajaan Medang Kamulan. Tugu batu ini sudah
menjadi ‘inventaris’ cagar budaya Jombang dengan nomor 10/JMB/91 dan
masuk dalam pendataan benda bersejarah peninggalan kerajaan kuno.
Seseorang pernah
mengatakan bahwa gilang artinya hitam, sedangkan watu dalam bahasa Jawa artinya
batu. Jika memang benar perkataan itu, Watu Gilang artinya batu hitam. Kalah
wes Hajar Aswad, xixixixi… Namun
saat diteliti lebih lanjut, tak ada terjemahan gilang dalam Bahasa
Sansekerta. Memang benar, Watu Gilang
berwarna hitam. Memang bukan sepenuhnya hitam, namun prasasti ini jelas dibuat
dari batu andesit sehingga warnanya hitam, bukan batu bata yang berwarna merah.
Sepertinya Prasasti
Watu Gilang ini statusnya in situ
yang artinya masih berada di lokasi aslinya. Pun misalnya prasasti ini tak lagi
in situ, pastilah dulunya ditemukan
di sekitar lokasinya kini atau masih dalam lingkup satu area desa. Pembangunan
cungkup sudah membuktikan bahwa Prasasti Watu Gilang tak perlu diboyong ke
museum milik BPCB Trowulan.
Meski sudah sudah masuk
sebagai benda cagar budaya Jombang dan dibangun cungkup lengkap dengan pagar
untuk melindungi prasasti ini, kondisi Prasasti Watu Gilang sudah tak utuh
lagi. Bagian atasnya sudah gupil
sehingga bentuknya sudah tak sesempurna prasasti pada umumnya. Cuilan prasasti
ini kini tak diketahui keberadaannya.
Tak diketahui pasti
kapan prasasti ini sampai cuil sedemikian rupa, yang jelas ada juru pelihara yang
merawatnya, salah satu upayanya yaitu dengan memberikan pembungkus kain putih
untuk menyelimuti bagian atas Prasasti Watu Gilang ini.
Tampak prasasti yang
bentuknya sudah tak sempurna ini agak tak beraturan saat diselimuti kain putih.
Kain putih itu terlihat masih baru, tampak dari warnanya yang masih cemerlang,
senada dengan nama dusun dimana prasasti ini berdiri. Juru pelihara juga
tampaknya memberikan pengikat berupa benang atau tali supaya kain tak mudah
jatuh, sehingga Prasasti Watu Gilang tampak rapi terbungkus kain.
Bisa jadi, pemberian
kain pembungkus ini adalah upaya juru pelihara untuk menjaga supaya prasasti
tidak kotor. Bisa juga untuk menangkis tangan-tangan pengunjung yang kadang
melumuri prasasti dengan aneka cairan. Kemungkinan cairan itu sebagai bagian
dari ritual, namun kadang cairan itu membuat prasasti jadi kotor dan mudah
berjamur. Jadi pembungkusan prasasti dengan kain ini agaknya merupakan langkah
pencegahan yang tepat.
Beberapa pengunjung
prasasti banyak yang berdoa dan melakukan ritual di Prasasti Watu Gilang. Tampak
banyak dupa, sisa bunga menyan maupun sesajen yang berada di samping batu
bersejarah ini. Ada kemungkinan, mereka adalah para pencari wangsit yang
menganggap lokasi berdirinya Prasasti Watu Gilang cukup keramat untuk dijadikan
tempat memanjatkan doa. Bisa jadi pula, pengunjung–pengunjung itu adalah
penganut Hindu yang merupakan agama yang dianut Kerajaan Medang kala itu.
Di sekitar Prasasti Watu Gilang, juga banyak ditemukan batu bata kuno dengan hiasan ukiran setengah lingkaran khas peninggalan Kerajaan Medang. Batu bata kuno yang ditemukan itu diletakkan di sekitar prasasti di dalam cungkup. Batu bata kuno yang berukuran besar itu juga ditemukan di Prasasti Tengaran, Situs Sugihwaras, Situs Kedaton, Candi Dempo, dan Petilasan Damarwulan di Sudimoro.
Menariknya, meski
dikatakan sebuah prasasti, Watu Gilang tampak tak memiliki guratan tulisan
apapun di permukaan batunya selayaknya prasasti yang bisa dibaca sejarah
pembuatannya. Akhirnya tak diketahui pasti pula sejarah prasasti ini berikut
informasi yang biasanya dimuat dalam pahatan tulisannya. Meski demikian, para
pakar sejarah mencoba menerka-nerka alasan pembuatan dan fungsi prasasti ini
berdasarkan lokasi berdirinya.
Tak ada petunjuk sama
sekali mengenai profil Watu Gilang di Tembelang ini. Hanya lokasinya yang
berada di kawasan yang diduga kuat sebagai ibukota Kerajaan Medang sehingga
coraknya diperkirakan beragama Hindu.
Meski demikian, bila
ditelusuri secara awam, dalam bahasa Indonesia gilang artinya cemerlang atau bercahaya. Gilang juga kerap
mendapatkan sisipan –em di tengahnya sehingga menjadi kata gemilang yang
artinya cahaya terang, sangat bagus, bahkan juga disebut sebagai kesuksesan
yang luar biasa hingga mencapai kejayaan dan kemasyhuran.
Prasasti Watu Gilang
memang berada terletak di Dusun Gilang, Desa Mojokrapak, Kecamatan Tembelang yang
masih dalam area dekat dengan Megaluh. Kawasan ini merupakan area dengan
peninggalan sejarah Kerajaan Mataram Kuno yang tersebar di berbagai titik.
Memang disebutkan,
Tembelang yang merupakan daerah yang tak jauh dari Mojokrapak adalah ibukota
Kerajaan Medang Kamulan saat hijrah dari Jawa Tengah. Mpu Sindok memulai
dinasti baru bernama Wangsa Isyana dan menjadikan Tembelang sebagai ibukotanya.
‘Mdang ing Tamwlang’
disebutkan dalam prasasti Turyyan tahun 929 M yang ditemukan di Malang.
Disebutkan bahwa Kerajaan Medan Kamulan ini ada di muara Sungai Brantas. Dari
prasasti itu ditafsirkan para ahli bahwa Kerajaan Medang berdiri di Tamwlang
yang kini oleh masyarakat modern nJombangan disebut sebagai Tembelang yang ada
di Kota Santri Jombang BERIMAN.
Sayangnya, masih banyak
perdebatan mengenai Tembelang sendiri karena daerah lain juga merasa memiliki
kesamaan nama, topografi, letak geografis maupun ciri-ciri yang disebutkan
dalam prasasti. Salah satunya Tamwlang yang ditafsirkan ada di Malang yang juga
memiliki banyak benda peninggalan bersejarah di daerahnya.
Jangankan Tembelang
yang diklaim banyak pihak sebagai keraton Medang Kamulan. Nama Watu Gilang juga
dimiliki banyak tempat, dimana setiap lokasi juga punya kisah sejarahnya
sendiri yang berasal dari benda purbakala. Watu Gilang di Kota Gede, juga
merupakan peninggalan kerajaan Mataram Islam yang menjadi singgasana Panembahan
Senopati. Di Pujon, Watu Gilang malah sebuah benteng sisa kerajaan Singhasari
bekas medan pertempuran antara Singhasari dan Kediri. Di Banten, Watu Gilang
merupakan benda yang diprcaya sebagai tempat penobatan para sultan Kerajaan
Banten.
Di Wonogiri bahkan
monument prasasti bernama Watu Gilang yang menjadi patokan atur strategi
melawan Kompeni Belanda. Di Kediri ada pula Prasasti Batu Asah yang juga bernama
Watu Gilang yang merupakan peninggalan kerajaan Panjalu. Madiun juga punya Watu
Gilang, yang diduga merupaka bagian dari ambang pintu sebuah candi. Sedangkan
Magetan juga punya Prasasti Watu Gilang, meski juga kerap disebut sebagai
Prasasti Tegalturi yang juga tulisannya sudah tak bisa dibaca.
Ada sebuah kemungkinan,
batu bersejarah Mojokrapak ini merupakan bakalan prasasti yang akan dijadikan
penanda desa sima dan sejenisnya. Mungkin karena kerajaan sudah terlanjur pecah
atau runtuh, akhirnya prasasti urung diselesaikan. Kemungkinan lain juga ada
pada prasasti ini dimana tulisannya mungkin sudah dihapus karena saat
pemerintahan baru, informasi dalam prasasti sudah tak lagi relevan di masa itu.
Namun, ada kisah mistis
dari penduduk setempat yang menduga bahwa Prasasti Watu Gilang memang dibuat
polos karena memiliki tulisan yang hanya bisa dibaca orang-orang tertentu.
Orang-orang tersebut mungkin memiliki ilmu khusus yang bisa menampakkan tulisan
dalam permukaannya, di momentum yang penting pula. Tak jelas kebenaran kisah
ini, namun cerita ini memang simpang siur namun bisa jadi penambah narasi
mengenai Prasasti Watu Gilang.
Versi lain menyatakan
Watu Gilang merupakan bagian dari episode pertempuran Kebo Kicak dan Surontanu.
Watu Gilang awalnya merupakan batu penyumbat dam yang dijebol oleh Kebo Kicak
sehingga air sungai pun meluap dan membanjiri sekitarnya. Ulah Kebo Kicak ini
jelas meresahkan penduduk setempat, namun cerita itu rupanya jadi salah satu detail pertempurannya dengan Surontanu di Mojokrapak.
Legenda inilah yang
menjadi asal muasal dimana daerah sekitar Tembelang memang selalu dilanda
banjir ketika musim penghujan tiba, termasuk sebab musabab cuilnya bagian atas
prasasti. Namun versi ini agaknya kurang akurat karena eksistensi Kebo Kicak
sendiri belum bisa dipastikan apakah tokoh fiksi atau nama samaran seorang
tokoh dalam kehidupan masa lampau. Meski demikian, kemungkinan kebenaran kisah
ini tetap ada.
Akses menuju Prasasti
Watu Gilang sudah cukup bagus dan bisa dicapai dengan kendaraan roda empat.
Dengan jalanan kampung berpaving, tak jauh dari jalan tol yang baru saja
dibangun. Di pinggiran kebun warga, prasasti Watu Gilang begitu mudah dicapai
dari jalan kampung. Apalagi, lokasi ini sudah tertera di Gmaps sehingga makin
memudahkan pengunjung untuk menemukannya.
Peninggalan-peninggalan kuno yang berada di sekitar
Prasasti Watu Gilang juga tak bisa dikatakan sedikit. Paling dekat dari Gilang ada
Candi Dempok yang dipercaya sebagai lokasi pertapaan Damarwulan. Selain itu
terdapat Candi Mireng yang jelas-jelas tertera dalam kitab Negarakertagama
tentang asal-usulnya sebagai candi pendermaan Lembu Tal, ayahanda Raden Wijaya
pendiri Majapahit.
Petilasan Damarwulan di Sudimoro juga punya kisah yang
berkaitan dengan Damarwulan. Hanya Candi Tamping Mojo di Tampingan, Tembelang
yang bersebelahan dengan Megaluh yang mungkin masih belum diketahui sejarahnya.
Asal usulnya sendiri masih misteri, meski yoni naga raja kecil yang ditemukan
di sampingnya sepertinya sebuah pertanda bahwa Candi Tamping Mojo merupakan
sebuah check point perbatasan ibukota di masanya.
Sebagai generasi muda, fungsi kita adalah menjaga dan
melestarikan peninggalan bersejarah yang menjadi salah satu dari cikal bakal
Jombang yang tercinta ini. Lebih bagus pula bila ada upaya pengungkapan sejarah
maupun penelusuran dari pakar-pakar sejarah muda lokal yang yang bisa menguak
misteri Prasasti Watu Gilang maupun cikal bakal pembentukan Kota Santri.
Wahai muda-mudi pakar sejarah asal Jombang,,, mana
suaranya??????
Prasasti Watu
Gilang
Dusun Gilang, Desa Mojokrapak,
Kecamatan Tembelang, Kabupaten Jombang
Semakin banyak argumentasi atau apalah namanya akan menjadikan pembelajaran dan penelitian baru tentang sejarah Watu Gilang Mojokrapak itu sendiri sehingga generasi tidak kehilangan peradapannya
BalasHapusMemang benar, prasasti temlang buat di era mpu sindok, mpu sindok bergeser ke timur dr medang kamulan menjadi medang wetan, menjadi sebuah dinasty yaitu isyana,
BalasHapusKomunitas Rebung menjadikan Situs ini sebagai Icon Festival tahunan , monggo hadir guyup rukun ambangun bagyo di Festival Watu Gilang 6-8 Nopember 2021
BalasHapus