Bicara tentang bahasa
nJombangan tentunya harus memperhatikan letak geografis Kota Santri ini
terlebih dahulu. Jombang berada di Jawa Timur yang mayoritas penduduknya
berbahasa Jawa dan masih dipertahankan hingga kini. Meski sama-sama berbahasa
Jawa, namun bahasa Jawa yang digunakan penduduk Jawa Timur dan Jawa
Tengah-Jogjakarta mungkin agak sedikit berbeda. Uniknya, meski berbeda namun
keduanya bisa saling mengerti satu sama lain saat bercakap-cakap.
Bahasa Jawa sendiri,
memiliki banyak tingkatan untuk pemilihan kata tergantung lawan bicara. Sebut
saja Ngoko, Krama, dan Krama Inggil. Tentunya, sebagai manusia Jawa-ensis
pastinya sudah paham benar bahwa Ngoko merupakan level terendah dan Krama
Inggil adalah tingkatan tertinggi. Umumnya Ngoko digunakan untuk berbicara
dengan kawan seumuran, Krama digunakan untuk bicara dengan orang yang lebih
tua, dan Krama Inggil untuk komunikasi dengan raja, pejabat, nigrat maupun
dalam momen kehormatan yang sangat resmi.
Hebatnya, klasifikasi
Ngoko bahkan bisa dipilah kembali menjadi beberapa kelompok seperti Ngoko Alus,
Ngoko Kasar, Ngoko Andhap, dan Ngoko Lugu. Tentunya bagian ini jombang City
Guide sudah angkat tangan karena ini rasanya bagiannya mahasiswa Sastra Bahasa
Jawa saja ya. Hehehhehe…. Kurang ajar.
Mengenai perbedaan logat maupun varian pengucapan, mungkin sudah terlalu banyak yang membahas antara utara dan selatan yang sering terpapar pengaruh kota tetangga. Kali ini Jombang City Guide akan lebih mengambil sudut pandang dari dialek dan kosakata unik berikut penggunaannya dalam bahasa sehari-hari.
Mengenai perbedaan logat maupun varian pengucapan, mungkin sudah terlalu banyak yang membahas antara utara dan selatan yang sering terpapar pengaruh kota tetangga. Kali ini Jombang City Guide akan lebih mengambil sudut pandang dari dialek dan kosakata unik berikut penggunaannya dalam bahasa sehari-hari.
Jombang dulunya
merupakan bagian dari kawedanan Mojokerto, yang kemudian melakukan ‘disintegrasi’
sebagai kota baru yang mandiri. Meski sudah berpisah, Jombang dan Mojokerto tak
meninggalkan identitasnya, termasuk banyaknya kemiripan baik dari segi bahasa
dan budaya setempat.
Meski bukan bagian
dari Gerbang Kerasusila alias Jabodetabeknya Jawa Timur, Jombang berada
tak terlalu jauh dari Kota Pahlawan yang terkenal dengan bahasa spontannya yang
kerap disebut Dialek Suroboyoan. Bahasa ibukota propinsi yang begitu
blak-blakan itu, memberikan efek ketimuran dalam bahasa Jawa yang mungkin akan
terdengar sangat kasar oleh orang Jawa Tengah. Bahasa Ngoko yang paling umum
digunakan oleh penduduk Surabaya dan sekitarnya adalah jenis Ngoko Kasar, meski
tetap bisa bercakap-cakap dengan bahasa Krama saat diajak berkomunikasi.
Sedangkan di sisi
lain, Jombang juga cukup dekat dengan Kota Tahu yang punya unsur agak lembut
dalam tutur katanya, meski tak sehalus bahasa Jawa regional Jawa Tengah dan
Jogjakarta. Kediri dan sekitarnya, punya pengaruh dari Jawa Timur bagian barat
yang lokasinya bernuansa kulonan yang disebut Dialek Mataraman. Beberapa
kawasan yang berbatasan dengan Nganjuk dan Kediri memang memiliki pengaruh
Dialek Mataraman yang punya banyak kesamaan dengan Bahasa Jawa Tengahan. Sehingga
bahasa yang digunakan umumnya adalah Ngoko namun lebih halus daripada Ngoko
asal Surabaya.
Jombang seakan berada
di tengah-tengah persimpangan antara dua jenis bahasa Ngoko, yang tak bisa
dikatakan terlalu kasar maupun dibilang halus. Meski demikian, sebagai native Jawa manusia-manusia Jombang
tetap mampu berbahasa krama maupun krama inggil. Uniknya Jombang juga mampu
mengadopsi keduanya dan juga memiliki bahasa sendiri yang tak dimiliki daerah
lain.
Bahasa Jawa Jombang
merupakan peralihan dialek bahasa Jawa antara Dialek Suroboyoan dan Dialek
Mataraman yang kini sering disebut Dialek Jombang atau Bahasa nJombangan. Salah
satu ciri khas yang membedakan Dialek Mataraman dan Dialek Suroboyoan adalah
penggunaan kata arek untuk
menggantikan kata bocah, dan kata cak untuk menggantikan kata mas dalam dialek Suroboyoan. Jombang
juga masih menggunakan kosakata koen
maupun awakmu untuk menyebut lawan
bicara dalam bahasa Ngokonya serta lebih cenderung menyebutkan penolakan dengan
kata gak daripada ora.
Memang, Jombang City
Guide juga lebih akrab menyebut diri kami dengan Arek nJombang daripada Cah nJombang.
Sedangkan saat berjumpa dengan abang-abang biasanya kami juga memanggilnya
dengan sebutan ‘Cak’ seperti “Cak Broden, Cak Imam, Cak Jaer, Cak Joko dan Cak Pandi”. Namun saat memanggil kakak laki-laki maka
panggilan mas yang digunakan, meski kadang juga ada saja yang masih menggunakan panggilan Cak.
Bahasa nJombangan
disebut Dialek Jombang oleh Wikipedia. Dijelaskan bahwa dialek ini dituturkan
dengan banyak pengaruh dari Dialek Suroboyoan yang terkenal egaliter. Kosakata
Dialek nJombangan mengandung 70% dari Dialek Suroboyoan, 29% dari Dialek
Mataraman. Sedangkan sisanya 1% adalah kosakata daerah khas Jombang sendiri.
Satu contoh kosakata
bahasa nJombangan yang mungkin mengikuti rumpun Suroboyoan yaitu nyelang yang artinya meminjam. Kata
dasarnya selang dan punya awalan ‘ny-‘ yang berarti kata kerja aktif.
Jombang, Mojokerto, Surabaya menggunakan kosakata ini. Sedangkan saat Jombang
City Guide menggunakan diksi ini saat ingin meminjam sesuatu ketika di Kediri,
kami ditertawakan.
Rupanya, bahasa yang
lazim digunakan untuk ‘meminjam’ di Kediri adalah ngampil yang masuk kategori kosakata yang halus bagi penduduk di Jombang.
Dan orang Kediri tak paham apakah nyelang
itu. Mereka berpikir bahwa nyelang
berasal dari kata selang yang artinya pipa karet untuk menyiram tanaman.
Astagadragon! Bayangkan coba mosok
melata ala selang di taman gituhh????
Menariknya, sebagai
daerah peralihan, Jombang juga terpengaruh Kediri yang lebih banyak menggunakan
kata piye untuk mempertanyakan
sesuatu daripada yeopo yang kerap
diidentikkan dengan sapaan penanya kabar khas Suroboyoan. Meski kadang juga
warga Jombang masih menggunakan kata yeopo
secara berimbang.
Sebaliknya, ada
kosakata dari Surabaya yang tak dipahami oleh orang Jombang karena fenomena
yang ada di Surabaya. Seperti kata mBalon
yang mungkin orang Jombang akan mengira bahwa itu adalah menggemuk atau
membesar seperti balon. Padahal orang
Surabaya menggambarkan mBalon
adalah semacam (maaf) PSK yang semok bin
bohay dengan badannya yang dikiaskan dengan balon.
Sedangkan ada pula
kosakata di Jombang yang tak dikenali oleh orang Surabaya seperti : Nge-bos-i yang artinya traktiran, lijo yang artinya tukang sayur gonceng keliling, dan jembek. Kata jembek, artinya menjengkelkan atau menjijikkan atau jelek sekali. Kata
jembek bisa berubah menjadi njembeki, tergantung fungsi dan
posisinya dalam kalimat. Pelafalan jembek
ini serupa dengan mengucapkan kota Jember, hanya diganti konsonan akhirnya
saja. Dialek Suroboyoan tak mengenali bahasa ini dan sering menggunakan kata
lain untuk menggambarkannya.
Untuk kata jembek, translasinya dalam Dialek
Suroboyoan bisa berbeda. Untuk menggambarkan orang yang menjengkelkan, biasanya
mereka menggunakan kata nJengkelno atau mBencekno
yang berasal dari kata benci yang dimodifikasi dalam bahasa Jawa. Atau bisa
juga dengan kata letrek yang artinya
jelek sekali. Sedangkan untuk menggambarkan benda yang menjijikkan, kata jembek di Surabaya sering diucapkan
dengan njijiki atau nggilani, meski kadang orang Jombang
juga menggunakannya.
Uniknya, saat Jombang
City Guide menuliskan kata ‘jembek’ di search engine Google, yang keluar malah
Gunung Jembek yang berada di wilayah Kabupaten Jombang regional Wonosalam
Selatan. Anehnya, penduduk setempat malah tidak paham nama Gunung Jembek dan
mengenalinya sebagai Gunung Margowayang yang merupakan bagian dari gugusan
pegunungan Anjasmoro regional selatan tak jauh dari Kediri. Mungkin perlu
ekspedisi lebih lanjut mengenai Sang Gunung
Menyebalkan ini.
Kata ‘jembek’ memang tak
dikenali sekaligus tak memiliki arti di Surabaya. Jadi bila diucapkan di
Surabaya, mungkin mereka akan sedikit asing dengan kosakata ini, namun bisa
memahaminya saat tersusun dalam sebuah kalimat. Lain halnya bila ada kosakata
yang sama pengucapannya, tapi punya arti berbeda dan sangat menyimpang begitu
jauh. Itulah kata rempon, yang wajar
diucapkan di Jombang namun sulit saat ‘diekspor’ ke Surabaya karena memiliki arti
yang sangat-sangat berbeda di sana.
Rempon dalam bahasa nJombangan artinya ngrumpi, atau juga
bercakap-cakap, berdiskusi dan membicarakan sesuatu. Kadang juga rempon menjurus ke ‘rasan-rasan’ meski
tak selamanya topik pembahasan berupa ghibah. Ibaratnya, rempon adalah sebuah
diskusi yang konotasinya lebih cenderung bermakna positif. Contohnya seperti
dalam percakapan berikut :
Retno : “Heeey… rempon opo ae rek, aku ketinggalan
berita iki la’an?” [Heeey… Ngrumpi apa nih semua, saya ketinggalan berita
ini jadinya?]
Wati : “Biasa lah. Ayo lungguh_o kene, tak critani”
[Biasalah. Ayo duduklah di sini, kuceritakan]
Sedangkan Rini, Siti
dan Dewi terkikik sambil melanjutkan menyimak Wati setelah Retno duduk
bergabung dengan mereka.
Parahnya, saat Jombang
City Guide merantau ke Surabaya untuk menuntut ilmu dan menggunakan kosa kata
ini, semua orang langsung berkata ‘HUSH!!!’ untuk menutup mulut, seakan
kata-kata itu sangat tabu diucapkan. Ini sebuah bentuk Cultural Lag yang mengakibatkan Cultural
Shock yang begitu parah. Seperti pula yang dialami Puspa, seorang warga
Jombang yang merantau ke Surabaya ketika kuliah, dalam percakapan ini :
Wati : “Ssstt… enek mas2 ambek mbak2 rempon nang
hutan MIPA” [Ada Mbak2 dan Mas2 sedang rempon di hutan MIPA]
Puspa : “Yo ben tho, bekne mas2 ambek mbak2 iku rempon
nggarap tugas ta diskusi kuliah lho…” [Ya biarlah mungkin mas2 dan mbak2
itu sedang ngrumpi karena mengerjakan tugas atau diskusi perkuliahan lho…]
Wati : “Hish… awakmu iki wong rempon nang kunu kok
biasa ae…” [Hush… kamu ini, ada orang sedang rempon kok malah biasa saja]
Nah, Si Puspa ini
ternyata belum mudeng, kalau Surabaya
mengenal kata rempon dengan begitu
jauh dari arti yang dimiliki Jombang. Rupanya dalam bahasa Suroboyoan, rempon diartikan untuk menggambarkan
salah satu bentuk pelecehan seksual dengan (maaf) meremas payudara wanita. Wow, amazing. Edddyyan gak seh?!!!??.
Jombang City Guide
sampai sekarang masih terheran-heran dengan kosakata rempon, yang memiliki arti yang
sangat melenceng jauh dari arti yang kami kenal selama ini. Saat rempon merupakan salah satu bentuk
keakraban di Jombang, sedangkan di Surabaya rempon
punya makna begitu cabul. Tapi ajaibnya di Kediri yang agak kulonan, memahami kosakata ini dengan makna serupa dengan Surabaya. Aneh!!!
Ternyata, setelah
melakukan survey ke manusia-manusia Mojokerto, Jombang City Guide menemukan
kesamaan nasib bahwa kota tetangga ini rupanya juga mengenal rempon seperti yang dikenal di Kota
Santri. Bisa jadi karena Jombang dulunya merupakan bagian dari kawedanan
Mojokerto, yang kemudian melakukan ‘disintegrasi’ sebagai kota baru yang
mandiri.
Meski sudah berpisah
dari Mojokerto, Jombang rupanya tak meninggalkan identitasnya termasuk
banyaknya kemiripan baik dari segi bahasa dan budaya setempat dengan mantan ‘kembar
siamnya’. Selain itu, Mojokerto juga mengenal kata jembek dan gething
seperti halnya Jombang untuk menggambarkan kebencian. Jadi bisa dikatakan,
bahasa nJombangan dan dialek Mojokertoan sangat mirip karena keduanya
sebenarnya berasal dari satu kesatuan.
Memang benar apa kata
Wikipedia, bahwa Bahasa Jawa Jombang atau biasa disebut dialek Jombang
merupakan logat Jawa yang dituturkan di daerah Jombang dan sekitarnya seperti
Mojokerto, sebagian Kediri (Kandhangan dan Pare) dan sedikit daerah Ngajuk (Kertosono).
Mungkin ada kesamaan karena letak geografis yang berdekatan.
Unik pula, ada kata lain yang dikenal dua kota kembar ini. Kata muntrok juga dikenal warga Jombang dan Mojokerto secara bersamaan. Muntrok diartikan sebagai membual atau padanan kata dari nggedabrus. Muntrok bisa dianggap sebagai percakapan yang membual dengan membahas sesuatu yang penuh kebohongan. Seperti contoh di bawah ini :
Budi : "Deloken iku sakno lho, Udin diuntroki Bejo" [Lihatlah itu kasian sekali, Udin dibohongi Bejo]
Wahyu : "Yoh.. gak kaget. Ancen pengganweane arek iku (Bejo) senengane muntrok." [Ya... tak kaget. Memang pekerjaan anak itu (Bejo) kesukaannya membual]
Unik pula, ada kata lain yang dikenal dua kota kembar ini. Kata muntrok juga dikenal warga Jombang dan Mojokerto secara bersamaan. Muntrok diartikan sebagai membual atau padanan kata dari nggedabrus. Muntrok bisa dianggap sebagai percakapan yang membual dengan membahas sesuatu yang penuh kebohongan. Seperti contoh di bawah ini :
Budi : "Deloken iku sakno lho, Udin diuntroki Bejo" [Lihatlah itu kasian sekali, Udin dibohongi Bejo]
Wahyu : "Yoh.. gak kaget. Ancen pengganweane arek iku (Bejo) senengane muntrok." [Ya... tak kaget. Memang pekerjaan anak itu (Bejo) kesukaannya membual]
Menariknya lagi, meski kota kembar siam dengan Mojokerto, Jombang tetap punya satu detail perbedaan dalam menyebutkan kata sampeyan yang artinya kamu (halus). Mojokerto lebih sering menyingkatnya dengan 'peyan', sedangkan Jombang lebih suka menggunakan 'samen' yang juga bentuk pendek dari kata sampeyan. Sebuah modifikasi yang sama sebenarnya, namun dengan kebiasaan penyingkatan yang berbeda.
Ada lagi satu kata, yang mungkin hanya dikenal di Jombang yaitu cakut atau sering dilafalkan dengan ‘cakod’. Pengucapannya juga bisa disamakan dengan kata cakot yang artinya menggigit. Kata cakut ini mungkin bagian 1% dari keseluruhan diagram venn perpetaan pengaruh bahasa Dialek nJombangan. Cakut diartikan sebagai barusan atau baru saja yang masyarakat Jombang juga punya sinonim lain yaitu jek entas/jek tas dan lak gek. Seperti dalam contoh percakapan di bawah ini :
Ada lagi satu kata, yang mungkin hanya dikenal di Jombang yaitu cakut atau sering dilafalkan dengan ‘cakod’. Pengucapannya juga bisa disamakan dengan kata cakot yang artinya menggigit. Kata cakut ini mungkin bagian 1% dari keseluruhan diagram venn perpetaan pengaruh bahasa Dialek nJombangan. Cakut diartikan sebagai barusan atau baru saja yang masyarakat Jombang juga punya sinonim lain yaitu jek entas/jek tas dan lak gek. Seperti dalam contoh percakapan di bawah ini :
Supri : “Walah… aku lho cakut dikandhani lek mene
nggawe klambi pramuka.” [Walah… aku baru saja diberitahu bahwa besok pakai
baju pramuka]
Heru : “Lho, iyo ta? Aku malah gurung dikandhani. Lak
gek ngerti pisan aku, slamet ae! ” [Lho, iya kah? Aku malah belum
diberitahu. Aku barusan tahu ini malah, untung saja!]
Kosa kata cakut ini, bahkan akan diresmikan
sebagai nama sentra batik yang ada di Jombang. Desa Jatipelem yang merupakan
kawasan pembuatan batik tulis nJombangan telah sepakat untuk menamakan sentra
batiknya dengan “Cakud Batik”. Hal ini didasari kata cakud atau cakut hanya
diucapkan oleh orang Jombang dan Sentra Batik Jatipelem ingin menggunakan nama
ini untuk mencerminkan identitas dan ciri khas asli nJombangan dari kosa kata
langka ini.
Dari pengamatan
orang-orang luar Jombang, mereka punya kesan tersendiri tentang Bahasa
nJombangan yang dituturkan para Pithecantropus Jombangensis, hehehehhe. Mereka
berpendapat bahwa pengucapan bahasa nJombangan biasanya diikuti dengan akhiran
‘i’ seperti dalam percakapan berikut :
Budi : “Bud, awakmu ta sing nggowo petelotku?”
[Bud, apakah kamu yang membawa pensilku?]
Joko : “Nggak_i, lha trakhir sopo sing nggawe lho?”
[Nggak tuh, lha yang terakhir pakai
siapa lho?]
Dalam percakapan di
atas, akhiran ‘i’ seakan menunjukkan penegasan dan bisa dipadankan dengan ‘tuh’ dalam bahasa endel Jakartaan. Ada pula
contoh lain dalam penggunaan akhiran ‘i’ seperti di bawah ini :
Ani : “Padahal wes diewangi, tapi kelakuane kok
malah ngunu_i…” [Padahal sudah dibantu, tapi tabiatnya kok malah begitu
sih…]
Tini : “Sopo An? Sing endi areke??” [Siapa An??
Yang mana orangnya??]
Akhiran ‘i’ di atas
seakan berfungsi sebagai sih dalam
bahasa endel Jakartaan atau seh dalam percakapan bahasa Jawa. Seperti
yang sudah disebutkan di atas, warga Jombang kerap menggunakan kata arek daripada bocah untuk menggambarkan identitas dirinya. Seperti orang-orang
Jawa Timur pada umumnya yang geli menggunakan bahasa gahoool ala Jakarta, warga Jombang juga tak menggunakan kata gue-elu untuk menggantikan kata ‘aku’
dan ‘kamu’.
Biasanya kosa kata
yang berasal dari bahasa tontonan di televisi itu digunakan saat momen bercanda
dan ejek-mengejek, mapun berlagak pura-pura menggunakan bahasa endel Jakartaan. Memang, bahasa ala
orang Jakarta dianggap endel saat
digunakan di Jombang, seperti di daerah-daerah Jawa Timur pada umumnya.
Sehingga biasanya pendatang dari daerah Jawa bagian barat akan terpaksa ikut
berbahasa Jawa supaya tidak ‘dikucilkan’. Hehehhe…. Tapi orang Jombang ramah
kok, gak sesadis itu lah.
Jombang juga tampaknya punya dialek yang moderat, dimana pengaruh bahasa Jawa Timuran mendominasi dimana aksen timur dan barat menjadi satu. Meski didominasi dialek Suroboyoan, Bahasa nJombangan bisa dikatakan : dibilang kasar nggak, dibilang halus juga enggak. Sedengan lah. Yang sedang sedang sajaa.... yang sedang sedang sajaa.... Malah nyanyi.
Dari hipotesis sementara yang Jombang City Guide simpulkan, bisa jadi dialek nJombangan ini tercipta karena kultur masyarakatnya yang kebanyakan berkarakter sederhana seperti masyarakat pedesaan pada umumnya. Jombang pun belum bisa dikatakan kota besar, meski perkembangan pembangunan pun melaju pesat. Walau tidak bisa dipukul rata, pada umumnya memang warga Jombang masih tetap punya tipikal yang bersahaja, gak aneh-aneh lah istilahnya.
Tentunya, ragam bahasa ini tidak muncul begitu saja, tetapi ada pengaruh budaya setempat di dalamnya. Dialek-dialek di kawasan Jombang sendiri, juga kadang berbeda antara utara dan selatan. Perbedaan bahasa dan logat ini harus disikapi dengan baik dan ditempatkan sebagai keanekaragaman budaya lokal yang tak boleh dikesampingkan keberadaannya.
Tentunya, ragam bahasa ini tidak muncul begitu saja, tetapi ada pengaruh budaya setempat di dalamnya. Dialek-dialek di kawasan Jombang sendiri, juga kadang berbeda antara utara dan selatan. Perbedaan bahasa dan logat ini harus disikapi dengan baik dan ditempatkan sebagai keanekaragaman budaya lokal yang tak boleh dikesampingkan keberadaannya.
Mungkin ada kosa kata unik
lain yang khas dari Jombang??? Monggo bisa diceritakan….
Bahasa Jawa Dialek nJombangan
Dituturkan
di Kabupaten Jombang dan sekitarnya
Berita baiknya, sejak 29 Oktober 2018 lalu telah dikeluarkan edaran
dari Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Jombang Budi Nugroho yang berisikan
setiap hari Kamis, pelajar dan para guru di Kabupaten Jombang wajib berdialog
menggunakan bahasa Jawa di lingkungan sekolah. Kewajiban berkomunikasi dengan
bahasa Jawa itu berlaku mulai semester II tahun ajaran pendidikan 2018-2019.
Adanya kewajiban berdialog dengan bahasa Jawa itu bertujuan
supaya Bahasa Jawa bukan selesai di pelajaran saja, namun benar-benar menjadi
budaya keseharian di Jombang. Hal ini muncul dari bentuk keprihatinan atas
terkikisnya kemampuan generasi muda berkomunikasi menggunakan Bahasa Jawa.
Pengawasan tidak kaku, namun ini merupakan upaya untuk membiasakan kembali
bahasa Jawa terutama Bahasa Krama menjadi tata krama berbahasa dalam keseharian.
Dari edaran itu, tak hanya guru dan murid saja yang wajib
berbahasa Jawa di hari Kamis, tapi juga aparatur sipil Negara dan semua pegawai
di lingkungan Dinas Pendidikan. Langkah ini seakan menjadi angisn segar bagi
penyelamatan aset budaya bangsa Indonesia khususnya kultur di Kota Santri.
Tentunya, tata krama dalam berbahasa Jawa perlu ditanamkan sejak
dini. Dengan kebijakan berbahasa Jawa ini bisa berkontribusi dalam mencetak
anak-anak yang berkarakter dan berbudi pekerti luhur. Unggah-ungguh dalam tutur
kata adalah cerminan keluhuran budi pekerti yang sudah sangat mendesak. Mari
kita lestarikan bersama.
Hayooo…. Awakmu, faseh boso kromo pisan gak???
http://forumsastrajombang.blogspot.com/2010/07/geladak-sastra-saat-menapaki-sebuah.html
Terima kasih. Sangat membantu
BalasHapusKata CAKUT(baru saja) sering jadi olok2an cakut lagi wae shg arek Jombang kdg malu mengucapkannya sekarang mari kita nasionalkan seperti kata KUDU(harus)
BalasHapusEnek maneh.... :
BalasHapus- "Gak lali" yang berarti "lagian" yang juga dipake di daerah pare an.
- "Kakikmu" dg pelafalan "i" agak ke "e" yg kita artinya "enak aja" atau "ngawur"
Kalo artinya gak lemon?
BalasHapusLemos artine opo cak
BalasHapus