Petilasan Damarwulan di tengah sawah |
Sebuah petilasan sejatinya bukanlah makam. Petilasan adalah
tempat singgah seorang tokoh yang dihormati. Seperti Maqam Ibrahim di Mekkah, yang
merupakan bukti autentik Sang Bapak Para Nabi singgah dan membangun kembali
kiblat manusia di muka bumi bersama putra sulungnya, Ismail.
Terdengar seperti nama perempuan, Damarwulan sebenarnya
adalah seorang pria yang diyakini sebagai seorang ksatria dari kerajaan
Majapahit. Pendapat lain, Damarwulan adalah nama kecil dari Prabu Brawijaya I,
salah satu Raja Majapahit. Beberapa kisah menyatakan Damarwulan memang pernah menguasai
Majapahit, tapi hanya sebentar.
Eksistensi Damarwulan sebagai seorang raja masih diperdebatkan.
Beberapa memang meyakini dialah Prabu Brawijaya I seperti yang tertera di papan
nama petilasan. Di sisi lain, kelompok peneliti sejarah Jombang dari Tim Laskar
Mdang cenderung menyatakan bahwa Damarwulan bukan seorang raja, melainkan
hanyalah seorang ksatria penting kerajaan Majapahit.
Di beberapa titik petilasan masih sering ditemukan sisa sesajen yang digunakan oleh para pertapa yang mengunjungi dan bermeditasi di tempat ini. Terpasang
pula papan nama lokasi petilasan yang menyatakan lokasi ini adalah petilasan
Maharesi Maudoro yang merupakan ayah Damarwulan. Sedangkan Damarwulan sendiri
dipercaya sebagai Prabu Brawijaya I.
Dugaan Damarwulan adalah Prabu Brawijaya I memunculkan
sebuah keraguan. Sebuah kejanggalan kembali muncul, dimana Majapahit adalah
sistem kerajaan yang jelas menganut sistem dinasti untuk para suksesinya. Bila
ayah dari Damarwulan adalah Maharesi Maudoro yang bukan seorang raja, berarti
Damarwulan jelas bukan seorang raja. Karena seorang raja dari kerajaan besar
seperti Majapahit pasti mewariskan tahtanya pada keturunannya sendiri, bukan
pada orang lain. Jadi misteri ini juga belum terkuak.
Cerita rakyat tentang Damarwulan juga simpang siur, antara
kisah cintanya dengan Dewi Anjasmoro, pernikahannya dengan Ratu Kencono Wungu dan cerita paling terkenal tentang pertempurannya
dengan Raja Minakjinggo dari Kerajaan Blambangan. Yang pasti, Sang Ksatria Damarwulan
memang tokoh utama dalam penaklukan Raja Minak Jinggo dari Banyuwangi.
Alkisah, Minakjinggo ingin lepas dari Majapahit karena merasa dikhianati Ratu Kencono Wungu yang awalnya bersedia menikah dengannya. Damarwulan
adalah ksatria yang ditugaskan untuk menumpas perlawanan dari kerajaan bawahan Majapahit ujung timur pulau Jawa itu. Pertarungan yang begitu sengit terjadi hingga
Damarwulan berhasil membunuh Minakjinggo dan sukses menumpas pemberontakan dari
Blambangan. Sistem kerajaan jaman dulu memang saling bunuh untuk meperluas
kekuasaan.
Meski seorang panglima perang yang sukses menorehkan
sejarah menumpas pemberontakan kerajaan bawahan, Damarwulan tetaplah rakyat
biasa yang bukan bangsawan. Dia hanyalah seorang kstaria apalagi seorang raja,
wajarlah namanya tak tercantum di dalam Negarakertagama.
Cerita Damarwulan sendiri hanya bukti artefak dan tak ada bukti
autentik yang paling bisa dipercaya tentang Damarwulan selain sebuah naskah
kuno berupa Serat Damarwulan yang ditulis tahun 1815. Majapahit hidup di era
1300-1500an. Laskar Mdang, memperkirakan Sang Ksatria Damarwulan hidup di era
Raja Jayanegara yang ada di awal Majapahit. Para peneliti sejarah dan
kesusastraan kuno masih mengeksplorasi Serat Damarwulan untuk menggali lebih
dalam lagi kisah Sang Ksatria.
Rentang waktu yang begitu panjang antara era Majapahit dan
penulisan serat selama hampir 500 tahun jelas membersitkan keraguan tentang
kisah-kisah yang ada di dalam naskah kuno ini. Tentunya, di tahun 1815, penulis
Serat Damarwulan nyata-nyata tidak pernah berjumpa langsung ataupun mengenal
sosok Damarwulan.
Cerita di dalam naskah kuno ini belum bisa dipastikan jelas
realitanya. Apakah benar kisah nyata seutuhnya, atau kisah fiktif semuanya,
atau mungkin kisah yang benar sebagian dan sisanya ala dongeng? Hmm… jadi
menyesal kenapa tidak ambil jurusan sejarah saat kuliah dulu.
Sedangkan yang disebut raja adalah Minakjinggo, Sang Raja
dari Blambangan. Catatan sejarah tentang Prabu Blambangan, masih ada. Ini
disebabkan Minakjinggo adalah seorang raja sehingga sepak terjangnya pasti
dituliskan dalam bentuk bukti autentik. Beberapa pendapat menduga bahwa dalam
relief Candi Minakjinggo menceritakan kisah Sang Raja Blambangan, meski
akhirnya Minakjinggo yang akhirnya menjemput maut di tangan Damarwulan. Artefak
itu merupakan bukti ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan di hadapan lembaga
ilmu pengetahuan.
Karena dikira kosong, situs Petilasan Damarwulan boleh
dibangun. Untuk menarik pengunjung, petinggi desa setempat pernah punya ide
untuk membuat kolam pancing di lokasi, mengingat terdapat dua kolam yang
mungkin dipandang mampu dikomersilkan dan sebuah pendopo yang kerap dijadikan
lokasi pertemuan oleh penganut kepercayaan.
Tak disangka, saat penggalian ditemukan banyak pecahan
artefak peninggalan kerajaan kuno. Penemuan batu bata kuno ini diduga dari era
Kerajaan Mdang. Batu bata kuno yang beberapa memiliki ukiran ini m iuirip dengan batu bata di Situs Sugihwaras dan sesuai dengan karakteristik batu bata era kerajaan yaitu
ukurannya yang jumbo. Batu bata ini yang
begitu besar dibanding batu bata produksi zaman modern. Selain itu juga banyak
ditemukan pecahan gerabah bekas sebuah peradaban kuno, yang kini beberapa
sampelnya dikirim ke Malang untuk diamati.
Karena proyek pembangunan kolam pancing, akhirnya situs
menjadi rusak. Perusakan ini sempat masuk banyak berita nasional. Akhirnya
pembangunan kolam dibatalkan.
Melihat video yang tersebar tentang lokasi persinggahan
Sang Ksatria, dulunya petilasan Damarwulan benar-benar rindang seperti Sendang
Made. Sejak ditemukannya berbagai artefak seperti pecahan tembikar, batu bata
kuno, dan arca mini, maka dilakukan perbaikan dan pemugaran di lokasi oleh para
penganut kepercayaan.
Jalan masuk situs masih berupa semacam pematang sawah, namun akses ini sudah bisa
dilalui kendaraan roda empat. Gerbang petilasan dibuat mirip dengan bentuk candi
Wringin Lawang, dengan batu bata merahnya sebagai pondasi penyusun gerbang.
Gerbang model ini, semacam bentuk bangunan gerbang selamat datang yang menjadi
ciri khas bangunan era Majapahit.
Terdapat kolam yang dulunya hampir dijadikan kolam pancing
oleh pemerintah desa setempat. Dan pendopo yang bisa digunakan untuk acara desa
maupun pertemuan para pertapa. Situs petilasan ini sudah dilengkapi dengan
toilet, sehingga pengunjung tak perlu kebingungan bila kebelet tiba-tiba. Heheheheh….
Berada di tengah areal sawah, pengunjung bisa menyaksikan
pak tani yang sedang membajak sawah yang begitu subur khas lading bumi pertiwi.
Di dekat selasar terdapat hamparan rerumputan yang rencananya akan dibangun
pagar oleh pemerintah sebagai pembatas lokasi. Hamparan rerumputan ini ditumbuhi
tanaman liar yang kadang memunculkan bunga yang cukup indah.
Pemerintah Kabupaten Jombang kini mulai mengucurkan dana
sebesar satu milyar rupiah untuk pembangunan situs Petilasan Damarwulan tahun
2018, setelah sebelumnya beberapa bagian pembangunan situs seperti pendirian
selasar berupa altar telah didanai donatur. Btw, Candi aRimbi, kapan direstorasi, Pak???? Padahal lebih prestisius lho...
Dengan adanya selasar berupa altar yang cukup instaragamble,
akhirnya banyak remaja dan pemuda setempat yang sering nongkrong di tempat ini
untuk mengambil potret lalu diposting di media sosial. Lumayanlah untuk ajang
pamer tipis-tipis nan kece.
Sayangnya, selain para pemuda pemburu like di instagram, banyak
pula warga yang kerap melakukan ritual tertentu di tempat ini. Meski
melakukannya dengan mengaji ayat-ayat Al-Quran, namun dilengkapi dengan ritual kejawen plus berbagai sesajennya.. Entah apa yang dicari di petilasan
ini. Yang pasti bila ingin mendekatkan diri dengan Allah harusnya ke masjid,
bukan bakar menyan sambil merapal mantra...
Beberapa orang bahkan menganggap tempat ini adalah makam
Damarwulan, yang terkesan angker dan banyak aura mistis. Padahal tempat ini
sejatinya hanyalah persinggahan seorang tokoh di masa lalu. Lagipula, penduduk
Majapahit maupun pra-Majapahit seperti Mataram Kuno yang dulunya juga pernah
mendiami Jombang, umumnya tidak memiliki makam.
Tak adanya makam ini disebabkan agama yang dianut
masyarakat kala itu, yaitu Hindu atau Budha yang umumnya dilakukan kremasi dan
abunya disimpan dalam sebuah candi perabuan. Jadi adanya makam baru bisa
dipastikan bila ditemukan catatan tertulis seperti di Kitab Negarakertagama
atau penemuan peripih penyimpan abu. Jika dua elemen itu tidak ditemukan, maka
eksistensinya perlu diragukan.
Tahun 2011, Tim Laskar Mdang melakukan peninjauan ke
lokasi. Ditemukan dua buah makam dengan patok batu layaknya sebuah kuburan.
Sayangnya saat dikonfrimasi pada penduduk setempat, para penduduk tidak bisa
menjelaskan siapakah yang dimakamkan di dalamnya. Entah karena memang tidak ada
makam betulan, akhirnya patok mirip nisan itu pun hilang dengan sendirinya.
Mungkin pemasangnya sudah sadar bahwa umat hindu tak memiliki makam.
Sayangnya, seperti kisah Damarwulan sendiri, tidak ada catatan
apapun mengenai petilasan di Megaluh ini. Bahkan tak ada bukti apapun tentang kegiatan
Damarwulan saat singgah di Megaluh. Jadi sebenarnya tokoh Damarwulan sebenarnya
tak ada hubungan sama sekali dengan situs petilasan ini.
Entah siapa yang pertama kali menyatakan petilasan ini
jejak Damarwulan singgah, dan mengapa Damarwulan sebagai subyeknya. Mengapa
bukan Mpu Sindok atau Sang Panglima Lembu Tal. Mungkin, kisah ini bisa jadi
berasal dari kisah penduduk setempat yang turun temurun. Seorang penduduk
setempat menyatakan bahwa lokasi ini dulunya memang disembunyikan, karena
merupakan tempat Damarwulan bersembunyi dari musuh-musuhnya dan kemudian membuat padepokan hingga menggelar acara wayang untuk warga sekitar.
Tim Laskar Mdang, cenderung berpendapat situs ini bukanlah
peninggalan era Majapahit, tetapi dari masa pra-Majapahit. Umumnya, peninggalan
yang ada di daerah Megaluh, Tembelang, dan Jombang Utara berasal dari Kerajaan
Mdang dan Kerajaan Kahuripan. Pendapat ini didasarkan sebaran peninggalan
Majapahit tidak berada di daerah barat Jombang, meski kemungkinan itu tetap ada.
Pendapat Laskar Mdang didasarkan sejarah bahwa Megaluh
sendiri adalah dermaga besar tempat kapal-kapal besar berlabuh. Memang, lokasi
Megaluh diyakini sebagai pelabuhan internasional kala itu, dimana Sungai
Brantas adalah jalur transportasi utamanya. Ketika itu, jalur transportasi
utama adalah rute perairan, dimana ukuran Sungai Brantas bisa jadi dua atau
tiga kali lebih besar dari sekarang.
Galuh dalam Bahasa Sansekerta artinya intan. Sungai Brantas
nanti menuju Surabaya, yang dulunya disebut Hujung Galuh atau Ujung Galuh.
Ujung Galuh dan Megaluh merupakan pusat perdagangan penting karena lokasinya
begitu strategis dan menjadi pertemuan antara Sungai Brantas arah dari Kediri
dan Sungai Widas dari Madiun.
Selain itu batu bata kuno yang ditemukan juga berukuran sangat besar. Beberapa bata kuno memang berukuran sangat besar dibanding bata modern. Namun batu bata Majapahit memiliki ukuran agak kecil dibanding bata kuno era Mdang. Meski lebih kecil dari ukuran bata periode Kerajaan Mdang, batu bata era Majapahit tetap lebih besar dibanding ukuran bata modern. Batu bata jenis kerajaan Mdang bisa dikenali dari tipikal bata kuno di Situs Sugihwaras dan Candi Pundong.
Sayangnya, candi era Mpu Sindok di Megaluh belum ditemukan,
meski sudah ada reruntuhan Candi Tamping Mojo yang belum terkuak fungsinya. Asal usulnya sendiri masih misteri, meski yoni naga raja
kecil yang ditemukan di sampingnya sepertinya sebuah pertanda bahwa Candi
Tamping Mojo merupakan sebuah check point
di era itu.
Sedangkan candi di Megaluh dari periode Kerajaan Majapahit sudah bisa dilihat eksistensinya. Sesuai dengan yang tertera dalam Kakawin Negarakertagama, Tim Laskar Mdang bahkan berhasil melakukan penelusuran dan penelitian sehingga mampu menemukan Candi Mireng, yang merupakan candi pendermaan Lembu Tal, bangsawan dan ksatria Majapahit.
Selain itu, peninggalan-peninggalan kuno yang berada di
sekitar Petilasan Damarwulan di Sudimoro juga masih penuh misteri. Candi Dempok yang masih berlokasi di Megaluh juga punya kisah tentang Damarwulan. Paling dekat dari Dempok,
terdapat Watu Gilang yang dipercaya sebagai bakalan prasasti. Selain itu
terdapat Candi Mireng yang jelas-jelas tertera asal-usulnya sebagai candi
pendermaan Lembu Tal, ayahanda Raden Wijaya pendiri Majapahit.
Sedangkan candi di Megaluh dari periode Kerajaan Majapahit sudah bisa dilihat eksistensinya. Sesuai dengan yang tertera dalam Kakawin Negarakertagama, Tim Laskar Mdang bahkan berhasil melakukan penelusuran dan penelitian sehingga mampu menemukan Candi Mireng, yang merupakan candi pendermaan Lembu Tal, bangsawan dan ksatria Majapahit.
Kini artefak-artefak kuno yang ditemukan di Petilasan
Damarwulan sedang diteliti oleh pakar sejarah di Universitas Brawijaya, setelah
beberapa sampel pecahannya dikirim ke Malang. Belum ada publikasi hasil
penelitian, bisa jadi identifikasi masih belum selesai. Eksistensi persinggahan
Damarwulan di tempat ini masih menjadi tanda tanya. Sebagai pecinta sejarah
utamanya kerajaan kuno di Jombang, mohon bantuan doa supaya para pakar
dimudahkan dalam penelitiannya. Kita tunggu saja hasilnya. Entah sampai
kapan?
Petilasan
Damarwulan
Desa Sudimoro,
Mbah raden damar wulan adalah brawijaya 1... jgn percaya dg ctatan sejarah yg d tuliskan belanda, salah semua...
BalasHapusSelain Raden Damar Wulan... Pernah dengar istilah Eyang Tumenggung Abdi Kuoso??
BalasHapusMohon pencerahanya