Prasasti Tengaran berada di Desa Tengaran, Kecamatan
Peterongan, Kabupaten Jombang. Karena terletak di Desa Tengaran, prasasti ini
disebut Prasasti Tengaran. Selain itu, prasasti ini disebut juga Prasasti
Geweg, karena dulunya, Geweg merupakan nama
kuno Desa Tengaran.
Untuk mencapainya, dari Terminal Kepuhsari Jombang menuju
ke utara. Lurus saja hingga menemui pertigaan, belok kiri. Setelah belok kiri,
kemudian lanjut hingga ada pertigaan lagi belok kanan. Lurus saja sampai bosen hingga dua desa dilalui
sampai jalannya hampir habis dan terlihat lintasan jalan tol Jombang-Mojokerto.
Masuk gang terakhir di kanan sebelum jembatan lintas tol, lurus hingga ada
pertigaan belok kiri. Lurus, hingga jalan mengecil menuju Makam Desa Tengaran.
Keberadaan Prasasti Tengaran masih in situ, artinya tetap
di lokasi aslinya yang berada di tengah sawah dan dibatasi tembok pelindung
yang dilengkapi pepohonan. Dulunya, lokasi ini adalah hutan belantara. Karena
perkembangan zaman, akhirnya berubah menjadi sawah.
Untuk memasuki kompleks Prasasti Tengaran, kita harus
menyusuri pematang sawah. Selama menyusuri pematang sawah yang diterpa cahaya
mentari senja, tampak dari kejauhan lukisan alam Gunung Penanggungan, dan puncak
Anjasmoro yang mempesona.
Karena akses jalan yang kecil, tidak ada lahan parkir di
sekitar lokasi. Jombang City Guide memarkir kendaraan sebisanya, diantara lalu
lalang pengendara motor yang menuju makam. Bagi yang mengendarai roda empat,
mungkin harus waspada saat memarkir kendaraannya karena warga yang berlalu
lalang dan resiko sisipan sangat mungkin terjadi.
Awas kejeblus got |
Resiko sisipan |
Kompleks Prasasti Tengaran tak jauh dari makam desa, dan cukup
dekat dengan Bangunan Rumah Kecil Makam Mbah Suro Sang Sesepuh Desa. Selain
itu, lokasi prasasti ini juga tak jauh dari jembatan penghubung jalan desa yang
dilintasi jalan tol di bawahnya. Saat berada di lokasi, kita bisa melihat
kendaraan berlalu lalang melintas di jalan tol Mojokerto-Jombang.
Prasasti ini dibuat sebagai bentuk terima kasih Sang Raja
pada warga setempat karena masyarakatnya sudah berjasa pada negara. Ada sebuah kisah yang menyatakan jasa warga dalam proses pencarian
putrinya yang hilang. Sehingga atas rasa syukur itu, Desa Tengaran yang dulunya
bernama Desa Geweg dinobatkan sebagai desa sima yang memiliki keistimewaan
bebas dari pajak.
Prasasti Tengaran terbuat dari batu andesit dan sudah
berusia lebih dari 1000 tahun. Prasasti yang dijadikan tetenger desa ini,
merupakan peninggalan Kerajaan Mdang periode Jawa Timur era Raja Mpu Sindok.
Ceritanya, Sang Raja beserta permaisuri dan anaknya
melintas ke desa ini untuk menuju Gunung Pucangan. Beberapa kisah menyatakan
Putri Sang Raja menghilang. Ada kisah lain yang menyatakan Sang Putri konon
sedang bertapa di Gunung Pucangan, sehingga Mpu Sindok ingin berkunjung
menengok anaknya. Kuat dugaan, putri yang dimaksud adalah Sri Isana
Tunggawijaya, yang kemudian menggantikan ayahandanya.
Gunung Pucangan sendiri berlokasi jauh di seberang Sungai
Brantas. Sungai Brantas ini begitu lebar dan alirannya begitu deras. Karena
Sang Prabu kesulitan menyeberang, kemudian Mpu Sindok meminta pertolongan pada
masyarakat setempat. Warga desa pun bahu membahu membuat perahu untuk Sang Raja
beserta keluarganya sehingga bisa menyeberang sungai dan sampai di utara Kali
Brantas.
Raja Mpu Sindok pun sangat berterimakasih kepada warga Desa
Geweg atas pertolongan yang mereka berikan. Sebagai wujud terima kasih, Mpu
Sindok pun memberi hadiah berupa tetenger tugu batu bertulis yang berisi penetapan
Desa Geweg sebagai Desa Sima. Desa Sima adalah desa yang diistimewakan karena
dibebaskan dari pajak.
Penetapan Desa Geweg sebagai daerah istimewa sima dilakukan
tanggal 6 Paropeteng Bulan Srawana tahun 857 Saka, yang bila dikonversi ke
dalam kalender masehi diperkirakan jatuh pada tanggal 14 Agustus 935 M. Prasasti Tengaran tampaknya hanya sebagian kecil dari
permulaan dari inskripsi keluaran Mpu Sindok terlihan dari tahun dikeluarkannya yaitu kala 857 Saka.
Berikut hasil pembacaan Prasasti Tengaran yang didapat dari OJO Brandes dalam ekspedisinya ke Jombang yang catatannya dimiliki arkeolog nasional Ibu Titi Surtiti :
am niauni üm om ganapataye namah
1. o || o om 9rï o o o o swasti
(ca)kawarsatita 857 crawanamasa, tithi astami
krsna
2. (ha of) wa, po, bu, wara, naksatra ayuswan
dewata, dhrtiyoga, irika diwasa ni ajna rakryan erï
3. mahamantri pu sindok sang
crTcanottunggadewawijaya ngüniweh rakryan crï paramecwarï crï warddhanï, kbi nmingsor
4. i samgat momahhumah wineh «nggu mangaran pu
sisikan, muaug rakryan iyanggëhan mangaran pu kundala samgat momali
5. pahaji mangaran tuhaning kanayakau barëbal,
anunggü mangaran sang wintan umanugrahe ikang mangaran ëwëg
6. sambandha siimlma wanvvanya ing dmak watak
tangkil sugih gawai ku 2 pangguhan pa 3, ariknya ma 12 af/urnya 41 ma 8 tlas tinrz
naka
7.
A c h t e r z ij d e.
1. o o dirghaynpa o o om nama
2. nihan pratyaika nikanang patih atuha iyanggëhan
sang kada
3. /, sang jaluta, sang erlma, sang bharata, sang
bakucing, dita, winaih, jangghala, rajata, puda
4. n, sang jaya, kabaih thima, prabuddha,
saddha (o/"sandha) wru, samangkana kawaihnira naya lampuran
5. niyanggëhan, i tangkil sugih, sang lupi sang
it'fljanya, sang jata, sang gespan, sang gaca?*^ sang mu, sang gawai, sang
6. tra, bisaka, gerëh buwa danya titi makamukha
sang hadyan rakucing mangaran baka lakibi innangsëan ta sira pagëh su 1 ma
7. i karela nira muf )n rancungsu, kapug, waja
tuhan tuha si bayangsu wineh ma 1 kiuabehanya sang hadyan
8. anggëhan tangkil sugih pmepa( )k denikanang
guru ri dmak ma mangaran gëwëg wineh ikanang
9. hadyan katra iyanggëhan molani i tangkil sugik
patinna nikanaug mas 1 (?) kinabehanira, kasutiga, rarai
10. nihan pratyaikanikang ayam i demmsik tda pinaricuddha
sang hadyan rakucing ta ? pinaricuddha mas su ma wdihan
11. hi tan pintan ika drabyahaji ayam de hadyan
rakucing ta 5 /uweh ngana ddha parujar
12. neh ma 4 wdihan ayam de ramanta i dmak makabaihan
13. kucing ta mwa kinabaihanya vak, prawalatrigana
mangkana kwehn(i)
14. rakryan nira dyah nuna wineh wdihan ma hanikana
15. u i burit mangaran amwil wdihan yu 1 tuhani
wadwa raray pu liruwak wi
16. tuhani dakat sang pra n sa
Sang Raja memberi nama tugu tersebut dengan nama ‘Tengoro’
yang merupakan singkatan dari kata Tengah dan Oro-Oro. Tengoro artinya jauh
dari pusat kerajaan atau jauh dari keramaian. Memang penamaan ini benar adanya
karena letak Desa Geweg cukup jauh dari pusat ibukota Kerajaan Mdang yang diperkirakan
berada di Tembelang dan Watugaluh, Diwek.
Tugu batu bertulis tersebut oleh warga kemudian disebut
Gorit yang merupakan kependekan dari tugu digarit-garit. Tugu digarit-garit
sendiri, berarti tugu yang terdapat guratan-guratan tertulis di permukaannya.
Tugu batu berukuran tinggi 124 cm dan lebar 78 cm
bertuliskan aksara jawa kuno di kedua sisinya. Bentuk inskripsi ini berupa tugu batu dengan blok berbentuk kurawal. Bagian depan dan belakang melengkung sehingga permukaannya tampak cembung.
Permukaan inskripsi dari Desa Tengaran ini agak kasar, tampaknya tidak terlalu dihaluskan dalam pembuatannya. Tulisan di permukaannya pun tidak dipahat dalam ketebalan yang sama di berbagai sisinya. Saat dicatatkan dalam OJO Brandes, kondisi bagian bawah tulisan sudah hilang sepenuhnya sedangkan bagian atasnya sudah lapuk.
Sisi pertama tertulis dalam 7 baris dan sisi kedua tertulis 16 baris yang dalam Bahasa Jawa Kuno menyatakan bahwa selama Mpu Sindok masih berkuasa, maka Desa Geweg bebas dari upeti. Selain itu juga dituliskan bahwa Mpu Sindok memimpin kerajaan dibantu permaisurinya, Dyah Kbi yang turut serta bersama Sang Raja menyeberangi sungai Brantas.
Dari Prasasti Tengaran ini, beberapa ahli sejarah menyatakan bahwa Kerajaan Mdang Kamulan dalam pimpinan Mpu Sindok sangat mengakui peranan wanita dalam menjalankan pemerintahannya. Terbukti dituliskan dalam prasasti bahwa Mpu Sindok memimpin kerajaan dibantu permaisurinya yang disebutkan bernama Pu Kbi. Bisa dipastikan, Pu Kbi juga bukan orang biasa sehingga mumpuni untuk memimpin negara dan ikut menjalankan pemerintahan.
Aksara Jawa Kuno |
Sisi pertama tertulis dalam 7 baris dan sisi kedua tertulis 16 baris yang dalam Bahasa Jawa Kuno menyatakan bahwa selama Mpu Sindok masih berkuasa, maka Desa Geweg bebas dari upeti. Selain itu juga dituliskan bahwa Mpu Sindok memimpin kerajaan dibantu permaisurinya, Dyah Kbi yang turut serta bersama Sang Raja menyeberangi sungai Brantas.
Karena berupa tugu batu, sehingga sering dijadikan
masyarakat sebagai tengeran atau
penanda sesuatu. Prasasti Tengaran kadang juga dijadikan acuan penanda lokasi,
sekaligus semacam gapura. Menurut cerita penduduk setempat, dulu sebelum
bertempur pasukan juga sering berkumpul dahulu di sini. Jadi semacam titik
kumpul untuk bersiap-siap.
Ketika itu masyarakat tidak banyak yang bisa membaca tulisan,
maka mereka hanya menyebutnya sebagai Tugu Tengeran atau Tugu Penanda. Tugu Tengeran
menjadi tetenger kebanggaan warga Desa Geweg kala itu, karena merupakan hadiah
dari Raja.
Desa Geweg pun terkenal karena jasanya pada Sang Raja,
sehingga akhirnya ikon desa berupa Tugu Tengeran ini lebih terkenal dari nama
desanya. Akhirnya untuk lebih mudah dikenali, Desa Geweg pun lebih sering dan dikenal
sebagai dengan Desa Tengeran. Karena logat atau pengaruh Bahasa Indonesia,
akhirnya nama desa ini kemudian menjadi Desa Tengaran. Desa Tengaran terdiri
dari dua dusun yaitu Dusun Tengaran dan Dusun Surobayan. Hingga kini, Desa
Geweg merupakan bagian dari Desa Tengaran.
Pak Hadi selaku Juru Pelihara Situs Tengaran sekaligus juru
kunci seluruh benda purbakala di Jombang adalah orang yang biasanya menjaga
lokasi ini. Pak Hadi mengetahui banyak hal mengenai tempat dan lokasi ini,
sehingga Jombang City Guide yang sedang berkunjung merasa senang sekali ketika
berjuma dengan beliau. Alhamdulillah, sebagai pecinta sejarah bisa melakukan
wawancara singkat yang diabadikan dalam video berikut :
Tulisan di prasasti ini sudah tidak begitu jelas, meski
Jombang City Guide juga gak bisa
bacanya sih.. Bisa jadi karena
font-nya yang cukup kecil, atau sebab termakan usia. Atau bisa jadi karena
sudah tidak relevan. Memang biasanya sebuah prasasti ada yang disamarkan tulisannya, atau bahkan ada pula yang dihapus paksa karena isinya sudah tidak sesuai dengan kondisi saat itu.
Isi prasasti ini menyatakan Desa Geweg bebas pajak selama
Mpu Sindok berkuasa. Setelah Sang Mpu tidak lagi duduk di tahta, tentunya isi
prasasti ini tidak lagi relevan dengan situasi saat itu, sehingga ada kemungkinan
tulisannya disamarkan meski kala itu masyarakat pun banyak yang tidak bisa
membaca tulisan.
Ada beberapa peneliti yang menyatakan pendapat berbeda mengenai
peninggalan-peninggalan Mpu Sindok di Jombang. Mereka berpendapat bahwa
peninggalan-peninggalan Mpu Sindok sebenarnya kebanyakan dibuat oleh Raja Airlangga.
Dugaan ini masih belum terbukti kebenarannya.
Namun memang, Sang Prabu muda tersebut mungkin melakukannya
sesaat setelah keluar dari persembunyian dan penyamarannya di Sendang Made, tak
jauh dari gunung Pucangan. Sang Prabu dari Bali ini melakukannya hanya untuk
makin meyakinkan rakyatnya bahwa dia benar-benar keturunan Mpu Sindok dan suksesi selanjutnya sehingga layak menjadi menduduki tahta.
Meski demikian, ada satu hal yang menarik kala dilihat posisi Prasasti Tengaran dan Prasasti Gurit di Kudu. Lokasinya memang dipisahkan oleh Sungai Brantas yang menjadi sumber kehidupan dan transportasi di masa itu. Yang paling unik, lokasi keduanya tepat sejajar seakan berhadapan sisi utara dan selatan.
Prasasti Tengaran seperti berdiri di Selatan, Sedangkan Prasasti Gurit agaknya di bagian Utara. Seperti membuat sebuah garis lurus yang mungkin terhubung dengan garis-garis lainnya. Sementara ini ada Prasasti Watu Gilang yang menjadi bakalan inskripsi di bagian barat Tengaran. Bisa jadi di bagian barat Sumber Gurit mungkin ada juga prasasti yang sejajar dengan Watu Gilang sehingga keempatnya bisa dihubungkan menjadi satu area yang mungkin merupakan daerah khusus atau mungkin lokasi ibukota kerajaan.
Meski Prasasti Tengaran peninggalan Mpu Sindok dan Prasasti Gurit adalah peninggalan Airlangga, keduanya berasal dari trah yang sama dan kerajaan milik Airlangga memang kelanjutan dari dinasti kakeknya. Adanya kecurigaan mengenai prasasti yang dibuat Mpu Sindok adalah buatan Airlangga juga menjadi makin menarik untuk diteliti, sementara menanti penemuan baru yang mungkin akan terkuak.
Diterpa sinar mentari sore |
Di kompleks Prasasti Tengaran terdapat beberapa batu bata
ukuran jumbo. Batu bata kuno berukuran jumbo adalah batu bata khas bahan
pondasi bangunan kuno yang mengindikasikan bahwa benda itu adalah peninggalan
zaman kerajaan kuno.
Beberapa batu bata kuno juga diambil dan dipindahkan dari
makam desa yang berada tak jauh dari lokasi prasasti untuk mengamankan benda
purbakala ini. Batu bata kuno ini kemudian diletakkan di sepanjang jalan
setapak dalam kompleks yang menuju prasasti.
Batu bata kuno itu tidak
polos permukaannya, tetapi memiliki semacam guratan setengah lingkaran yang
juga mirip dengan tipikal batu bata kuno di Petilasan Damarwulan dan Situs
Sugihwaras yang disinyalir juga merupakan peninggalan kerajaan Mdang.
Selain papan nama yang sudah berkarat dimakan waktu, secara
umum kondisi kompleks Prasasti Tengaran termasuk baik. Terutama karena sudah
ditetapkannya payung hukum akan perlindungannya, sehingga memiliki tempat yang
sudah berpagar dan dilengkapi taman yang asri di sekelilingnya.
Prasastinya juga tampak masih utuh dan berdiri tegak. Di
samping prasasti terdapat dua batu andesit yang lebih kecil, yang diduga adalah
umpak yang diletakkan di kanan-kirinya. Prasasti Tengaran juga masih sering
dikunjungi oleh para penganut aliran kepercayaan untuk berziarah dan
memanjatkan doa. Tampak ada kendi dan dupa bekas pakai di depan prasasti, bukti
bahwa ada pengunjung sebelumnya yang menggunakannya.
Genting cungkup atap yang melindungi prasasti bersejarah
ini terlihat dalam kondisi yang kurang baik dan agak berserakan. Bila
dibiarkan, mungkin lama kelamaan akan mengakibatkan kebocoran dan beresiko
roboh seperti cungkup Yoni Gambar.
Pak Hadi Sang Juru Pelihara sudah melaporkannya ke Balai
Purbakala Trowulan, sayangnya belum ada tanda-tanda perbaikan. Seperti biasa,
alasan klise adalah dana membuat upaya perbaikan menjadi begitu lama, selak
rusak cyiiiin. Selain itu memang
adanya kecenderungan lebih mendahulukan benda cagar budaya lain yang dengan
tingkat kunjungan yang lebih populer.
Taman kompleks situs yang asri |
Meski demikian, kondisi kompleks Prasasti Tengaran jauh
lebih baik dibandingkan Situs Sugihwaras, Situs Karobelah, Situs Pandegong dan
banyak benda purbakala lain di Jombang yang belum dilindungi kelestariannya menanti
sebuah kepastian maupun belum memiliki kompleks berupa pagar pembatas untuk
mengamankannya.
Sayangnya, kadang lokasi Prasasti Tengaran ini digunakan
oleh oknum-oknum yang memanfaatkan kesakralan tempat ini, seperti orang-orang
yang ingin mencari wangsit untuk mendapatkan nomor togel. Entah apa yang mereka
dapatkan dari sini, yang jelas ritual ini termasuk syirik dan tindakan mengadu
nasib dengan berjudi tentunya bukan hal yang dibenarkan.
Hingga kini, lokasi kompleks Prasasti Tengaran juga masih
rutin digunakan para penduduk setempat untuk berkumpul, maupun acara syukuran
setelah panen. Biasanya mereka menggelar makan bersama sambil mayoran, atau
tumpengan sederhana di halaman kompleks Prasasti Tengaran.
Perayaan Panen : Makan-Makan di Kompleks Prasasti Tengaran |
Sedekah Desa Tengaran : Tumpeng dan Mayoran Seru |
Rutinitas ini bukti bahwa warga desa setempat masih menjaga
tradisi yang baik dan bentuk gotong royong cerminan kebersamaan. Sebuah
kebanggaan dari sebuah ‘prestasi’ yang turun-temurun yang diwariskan oleh nenek
moyang. Semoga dengan adanya prasasti ini, selalu mengingatkan kita untuk
menjaga kelestariannya dan meneladani perbuatan baik yang telah dilakukan para
leluhur.
Prasasti Tengaran
Dusun Kuno Geweg, Desa Tengaran,
Samping Rumah Makam Mbah Suro
Kecamatan Peterongan, Kabupaten Jombang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar