Ada sebuah
tugu mirip gapura mojopahitan di Jalan Kartosari, Dusun Banyon, Desa
Carangwulung, Kecamatan Wonosalam. Tugu ini didirikan untuk mengenang peristiwa
nahas yang pernah terjadi di Wonosalam yaitu musibah jatuhnya pesawat TNI-AL
Albatross ALR-302 tanggal 18 Januari tahun 1967. Monumen peringatan itu
dinamakan Tugu Albatross sesuai jenis pesawat yang jatuh kala itu.
Tugu
Albatross ini bewarna hitam dan terbuat dari batu bata. Ada empat sisi prasasti
yang terpasang, dimana di salah satu sisinya terukir nama-nama penumpang
pesawat yang menjadi korban. Sedangkan sisi lainnya memuat logo TNI-AL beserta
sedikit informasi terkait peristiwa nahas itu termasuk tanggal peresmian tugu.
Pesawat
Albatros sendiri, kerap digunakan dalam berbagai acara militer. Namanya kerap
disebut dengan dobel s menjadi Albatross sesuai yang tertera di prasasti yang
ada di tugu. Tipe ALR-302 merupakan salah satu jenis pesawat Albatross yang
dimiliki TNI ketika itu.
Pesawat Albatros punya banyak tipe, yang kebanyakan keluarannya
berupa pesawat amphibi. Sayangnya, Jombang City Guide masih belum menemukan potret pesawat Albatross tipe terkait untuk ilustrasi yang bisa menggambarkan bentuk pesawat sebelum jatuh. Berikut adalah pesawat Albatross milik TNI-AU yang dulu disebut AURI yang mungkin sedikit bisa mewakili bentuknya :
Nama
Albatros sendiri diambil dari sejenis burung camar yang habitatnya di samudra
pasifik dan samudra antartika. Burung Albatros termasuk burung laut terbang
yang paling besar dan memiliki panjang sayap paling besar melebihi burung
lainnya. Sayapnya itu digunakan untuk menantang angin kencang di lautan.
Burung
Albatros sangat efisien di udara. Dengan teknik terbang melayang dan
membumbung, membuat Burung Albatros mampu terbang sangat jauh tanpa
menghabiskan banyak energi. Burung Albatros ini melambangkan jiwa pelaut yang
gugur, sehingga membunuhnya dianggap membawa sial. Bisa jadi penggunaan nama
Albatros untuk pesawat TNI-AL ini karena ingin menjadikannya sebagai petarung
yang tangguh di udara.
Tak diketahui pasti mengapa pesawat itu
melintas di atas pegunungan Anjasmoro, dan terbang dalam kepentingan apa. Dikatakan
bahwa pesawat melintas dari arah tenggara menuju ke barat.
Kisah yang
beredar masih simpang siur, termasuk kepentingan terbang yang katanya untuk
menghadiri acara pernikahan. Sayangnya, tak jelas pula lokasi pernikahan yang
dituju, dan pernikahan siapa yang digelar hingga harus dihadiri TNI-AL dengan
mengendarai pesawat.
Tak banyak
catatan mengenai kronologi kejadian. Warga yang mendengar langsung dari kepala
desa yang menjabat kala itu hanya menyatakan bahwa sempat melihat ada pesawat
terbang melintas di atas Cemorosewu kemudian jatuh menukik ke bawah lalu hilang
tanpa jejak.
Cerita
lain menyebutkan bahwa awak pesawat dan penumpang juga merupakan bagian dari
keluarga mantan presiden Soeharto yang menumpang untuk perjalanan menuju sebuah
perhelatan di suatu tempat. Ada yang aneh dari pernyataan ini dimana yang jelas
pada masa itu masih terjadi gonjang-ganjing penggulingan Presiden Soekarno
sedangkan Soeharto masih berpangkat Mayjend.
Ada satu
keganjilan lain dimana untuk apa tentara angkatan laut melintasi pegunungan
dengan menggunakan pesawat yang identik dengan lautan. Memang kondisi angkatan
laut menjelajah pegunungan masih bisa terjadi. Tapi di balik itu pastinya ada sebuah
misi yang lebih penting dari sekedar menghadiri acara pernikahan.
Ada banyak
versi cerita yang menyatakan penyebab jatuhnya pesawat ini. Diantaranya yang
paling terkenal adalah terdengarnya bunyi-bunyian aneh seperti alunan gamelan
misterius yang kerap terdengar di banyak tempat di pegunungan Anjasmoro.
Legenda ini sudah menjadi cerita rakyat setempat yang kemudian dipercaya
menyebabkan gangguan sinyal radio pesawat sehingga mengacaukan radar dan fungsi
pesawat lainnya.
Versi lain
menyatakan adanya medan magnet tersembunyi di Pegunungan Anjasmoro yang
dikatakan ada di dekat Puncak Cemorosewu, sehingga pesawat jadi oleng hingga
terjadilah tragedi memilukan itu. Sayangnya peristiwa itu sudah lama berlalu
dan belum ada penelitian ulang yang bisa menguak misteri jatuhnya pesawat
tersebut.
Beberapa
versi yang beredar menyatakan adanya kaitan mistis dengan sosok Rondo Kuning
yang dulunya merupakan kembang desa setempat yang meninggal secara tidak wajar.
Sepeninggalnya, Sang Kembang Desa kemudian menjadi penguasa hutan Cemorosewu.
Konon apabila melewati kawasan Cemorosewu, maka harus melakukan ritual khusus.
Namun jika ritual tidak dilakukan, maka akan dicelakakan.
Pesawat
jatuh di dekat pesarean Rondo Kuning yang berada di sekitar Cemorosewu yang sakral
dan penuh misteri. Tiga hari pencarian korban tak menunjukkan hasil berarti. Bangkai
pesawat dan jasad korban kecelakaan diceritakan baru ditemukan beberapa hari
setelah jatuhnya pesawat setelah dilakukan ritual khusus sesuai adat setempat.
Bisa jadi
peristiwa ini juga punya keterkaitan dengan pengalaman para pendaki. Beberapa
pendaki yang melintas di kaki Cemorosewu dekat puing-puing kecelakaan di luar
jalur pendakian melalui Pos Kancil menyatakan pernah mengalami peristiwa
mistis. Diantaranya pernah mendengar panggilan suara pria dari kejauhan, tapi
tak menemukan sosok orang yang memanggilnya.
Puing-puing
pesawat nahas ini dapat ditemukan di kaki Puncak Cemorosewu, yang beberapa
diantaranya dapat dilihat sedikit terkubur di jalur pendakian Anjasmoro ke titik
seribu cemara. Sedangkan desas-desus tentang seorang bayi yang juga menjadi
korban kecelakaan ini, makamnya masih berada di antara dua pasak di Puncak
Cemorosewu.
Tugu
Albatross ini dibangun untuk mengenang untuk mengenang musibah ini. Keluarga
korban musibah jatuhnya pesawat ini masih sering berkunjung ke tugu peringatan
ini. Meski kini kondisinya kurang terawat, setidaknya generasi selanjutnya tak
boleh kehilangan kisah dari tragedi ini. Supaya sepotong sejarah TNI-AL dari
peristiwa ini tetap dikenang sepanjang masa.
Tugu
Albatross
Jalan Kartosari,
Dusun Banyon, Desa Carangwulung,
Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang
Foto masih meminjam dari berbagai sumber di internet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar