Minggu, 09 Agustus 2015

Prasasti Poh Rinting : Mengenal Tugu Batu Bertulis Tertua dari Jombang



Prasasti Poh Rinting ditemukan di kompleks Candi Glagahan yang berada di halaman belakang rumah Ibu Tonah yang kini jadi kediaman putranya selaku ketua RT setempat di Dusun Glagahan, Desa Glagahan, Kecamatan Perak, Kabupaten Jombang. Prasasti ini merupakan peninggalan Mpu Sindok pendiri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang Kamulan periode Jawa Timur. Prasasti ini punya tanggal ‘terbitan’ yang sama dengan Hari Sumpah Pemuda, yaitu 28 Oktober 929 M. Terpaut seribu tahun setelah peristiwa bersejarah penting bagi bangsa Indonesia yang digerakkan oleh para pemuda.

Posisinya kini berada di Pusat Informasi Majapahit di Trowulan, setelah diboyong dari lokasi aslinya di kompleks Candi Glagahan. Dengan nomor inventaris 82 di Museum Purbakala, sekarang Prasasti Poh Rinting berada bersama rekan-rekan batu bertulis lainnya dari berbagai daerah. Prasasti Jombang lainnya yang diamankan di museum Trowulan adalah Prasasti Katemas dari peninggalan Prabu Airlangga.


Setinggi lutut manusia dewasa

Ukuran Prasasti Poh Rinting termasuk kecil, mungkin setinggi manusia Indonesia dewasa. Terbuat dari batu andesit berpuncak lancip, bentuknya seperti blok tugu batu bertulis pada umumnya. Permukaannya agak lengkung, hingga memberikan kesan prasasti Poh Rinting serasa terlihat gemuk.


Prasasti Poh Rinting bertuliskan aksara Jawa Kuno dan Berbahasa Sansekerta yang tertulis di bagian depan dan bagian belakang prasasti. font tulisan tampak besar memenuhi permukaan batu prasasti. Jika dilihat sekilas, 'pengerjaannya masih kalah rapi' dibanding prasasti-prasasti milik Raja Airlangga di Jombang subyektif banget yak! hehehehhe.... Beruntung, tulisannya masih bisa dibaca, namun sepertinya ada bagian badan prasasti yang hancur kemudian ditambal semen modern. Terbukti pembacaan tulisan di sisi bagian bawah tidak terbaca. Kondisinya kini pun sudah tanpa lapik yang biasanya berbentuk hiasan teratai padmasana.


Selain memuat informasi mengenai larangan melakukan pungli dan penyalahgunaan wewenang, prasasti ini berisi tentang penetapan desa sima. Disebutkan, Dang Acaryya membuat permohonan kepada raja supaya daerahnya dijadikan perdikan karena di kawasannya terdapat bangunan suci. Sang Prabu pun mengabulkannya, dengan menetapkan Desa letak prasasti Poh Rinting berada sebagai desa sima. Sedangkan masyarakat desa setempat berkewajiban untuk memelihara bangunan suci tersebut.

Berikut hasil pembacaan Prasasti Poh Rinting yang dicatat oleh Brandes dalam OJO-nya, dari Ibu Titi Surtiti :
1. swasti cakawarsatïta 851 ka(rttikamasa a)
2. stami krsnapaksa wa pa hu irika diwasa dangacarya
3. t&ngkilanya datang mangaciwuada i crï maharaja ma
4. rgga samgat momahumah anggehan umajarakan haswa
5. tantranikauang cïma kabikuan i poh rinting tan kata
0. mau dening patih wahuta muang saprakaraning mangila
7. (la) drabya haji ing dangu micra paramicra wuluwula praka
8. (ra) pangurang kring padam manimpik( ) paranakan limus ga
9. (luh) pangaruhan taji watu tajam halu warak pining
10. tapa haji airhaji malandang
1 ].tangkil trpan
12. la maniga
13. mam
A c h t e r z ij d e.
1. ran sira
2. matguhakna sapnrbwa sa
3. ntati nikanang sima kabikuan i
4. poh rinting i(ng) malawas tan kawnanga pinagawayaka
5. n luir kunang deyanikanang patih wahuta muang
6. ikanang mangilala drabya haji kabaih haywa ya
7. parabyapara rikana sima kabikuau i poh rinting
8. ubhaya ta ya i panganumoda crï maharaja i sang hyang
9. dharmma samangkana ikanang patih wahuta tan wehan
10. magawaya purih sakrauia nikanang sima kabikua
11. n i poh rinting nguni ring swasthakala atah kramanya
12. mangke tan papendahana yapwan hana patih
13. wahuta muang ikanang mangilala drabya

14. tumama muaug magawai luir rika

Siapa jelasnya Dang Acaryya yang dimaksud di sini tak bisa diketahui karena nama dirinya tidak terbaca. Dang Acaryya merupakan gelar untuk pendeta penganut sekte siwa. Dang Acaryya atau Dang Acharyya ini agaknya merupakan posisi penting di desa setempat yang punya akses langsung kepada raja. Terbukti pula, dari permohonannya, pengukuhan desa sima diwujudkan. Jadi posisinya jelas bukan main-main karena mampu membuat permohonan yang dikabulkan raja.

Penetapan sima bisa dilakukan dengan menghadirkan perangkat desa beserta warga setempat yang biasanya berasal dari penduduk sekitar wilayah perdikan. Penetapan ini mirip dengan acara ‘peresmian’ masa kini yang disertai dengan perayaan. Biasanya pesta diakhiri dengan pemberian pasek-pasek sebagai persembahan yang berwujud bahan pakaian, uang, perak, bahkan emas. Bisa jadi, saat peresmian Prasasti Poh Rinting ini dulu, juga dilakukan perayaan dan persembahan dari penduduk setempat.

Pemberian status desa sima juga dilakukan untuk pengembangan wilayah sehingga agar kawasan yang kurang penting jadi lebih menarik bagi petani. Pengembangannya bisa berupa pemukiman, atau kawasan pertanian, atau bentuk agraris lainnya. Pada akhirnya dapat memperluas pemukiman sehingga makin mantap jadi wilayah yang strategis.


Pengukuhan suatu wilayah menjadi daerah perdikan dapat merupakan anugerah raja kepada seseorang atau penduduk karena telah berjasa bagi negara. Selain itu juga bisa karena dalam wilayah tersebut terdapat bangunan suci yang bisa mendatangkan pendapatan dari para peziarah.

Biasanya, pendapatan yang dihasilkan dari pendapatan kunjungan bangunan suci akan dianugerahkan pada pejabat setempat sebagai pengelola kuil. Dari pendapatan itu pula, sebagai sumber biaya pemeliharaan bangunan suci. Selebihnya digunakan untuk membeli lahan baru, sehingga tanah tersebut dijadikan tambahan sawah sima bagi bangunan suci itu.

Diperkirakan, bangunan suci yang dimaksud dalam Prasasti Poh Rinting adalah sebuah candi pemujaan dan petirtaan yang kini sudah dikubur kembali di Glagahan, letak dimana Prasasti Poh Rinting ditemukan bersamanya. Lokasi Candi Glagahan sendiri berada di Dusun Glagahan Desa Glagahan, Kecamatan Perak, Kabupaten Jombang yang berada tak jauh dari Watu Galuh tempat dimana ditemukannya srandu atau lingga semu berelief ukiran dewa.

Bisa jadi, Glagahan dulunya merupakan bagian dari Watu Galuh yang pernah menjadi salah satu lokasi ibukota kerajaan. Mungkin pula Glagahan merupakan daerah penting sehingga layak ditetapkan sebagai daerah perdikan. Selain itu, Candi Glagahan juga tak jauh dari Candi Pundong yang juga bagian dari peninggalan Kerajaan Medang era Mpu Sindok.

Prasasti-prasasti peninggalan Mpu Sindok tak ada yang memuat peristiwa politik pada masa pemerintahannya. Bila pun ada, itu samar-samar dan terdapat dalam prasasti tembaga yang tinulad, yakni yang diturunkan pada tahun-tahun kemudian. Sepertinya Prasasti Poh Rinting bukan salah satu yang dimaksud karena batu bertulis ini merupakan penetapan yang dikeluarkan pertama kali sejak Mpu Sindok diangkat sebagai raja baru Kerajaan Mdang periode Jawa Timur.

Penyebutan Prasasti Poh Rinting juga memiliki kisah tersendiri. Poh berasal dari bahasa Jawa poh atau woh yang diartikan sebagai buah atau berbuah. Sedangkan rinting berarti beruntai atau berjejer. Jadi Poh Rinting berarti buah yang rimbun subur beruntai-untai.

Dinamakan Poh Rinting karena diperkirakan, sebutan buah yang beruntai-untai ini berasal dari pohon yang banyak tumbuh subur di sekitar lokasi. Ada pendapat bahwa pohon yang dimaksud adalah pohon mangga berjenis Mangga Podang dan Mangga Manalagi. Keduanya memang merupakan sejenis mangga yang buahnya beruntai-untai dalam satu tangkai. Padahal lokasi Glagahan satu rute dari sentra Si Jambu Darsono, Jambu Manis Gondanglegi. Jombang memang salah satu penghasil mangga yang cukup produktif selain kabupaten tetangga yang memang dikenal sebagai sentranya.

Beberapa kawasan di Jombang juga punya istilah yang menggunakan kata poh sebagai namanya. Sebut saja Poh Jentrek, yang juga memiliki arti serupa yaitu buah yang berjajar-jajar. Selain itu, di kota tetangga juga ada wisata Poh Sarang yang dikenal sebagai kawasan destinasi religi nasrani.

Ada pula prasasti lain yang menggunakan kata poh untuk sebutannya, yaitu Prasasti Poh (827 Saka/905 Masehi) yang ditemukan di Randusari, Klaten. Prasasti Poh dari Randusari ini memuat informasi mengenai penetapan sima yang dikeluarkan Kerajaan Medang Jawa Tengah yang merupakan pendahulu dari Kerajaan Mataram Kuno periode Jawa Timur. 

Kesamaan unsur nama ini kadang membuat mesin pencari tersesat di bahasan Prasasti Poh. Ada baiknya menuliskan lengkap nama Prasasti Poh Rinting ini dalam mesin pencarian untuk mengetahui tentang detailnya.

Prasasti Poh Rinting hanya sering disebut dalam beberapa literatur tapi tak banyak yang membahas tuntas mengenai prasasti dari Glagahan ini. Jadi, Jombang City Guide pun berinisiatif membuat tulisan ini untuk memberikan sedikit detail mengenai prasasti paling sepuh di Jombang.

Beruntung, bagian yang hancur bukan bagian angka tahun sehingga penanggalannya masih bisa dibaca : 851 Saka yang kemudian bisa dikonversikan menjadi 28 Oktober 929 M. Dari penanggalan Prasasti Poh Rinting, diketahui bahwa tugu batu bertulis ini sementara merupakan prasasti tertua yang ditemukan di Jombang. Penanggalan ini kemudian dijadikan acuan untuk penetapan hari jadi Kota Santri Jombang yang menggunakan BERIMAN sebagai slogannya.


Sayangnya, perdebatan hingga kini masih belum usai karena ada banyak kubu yang masing-masing memiliki pendapat yang punya dasar berbeda untuk pengajuan hari jadi Jombang. Berbagai prasasti yang ditemukan di Kota Santri seakan menjadi dasar dan bukti yang berarti keberadaan Jombang sendiri jauh sebelum kerajaan Majapahit ada.

Di tengah perdebatan itu, masih belum ditemukan satu pun bukti tertulis yang menyebutkan kawasan yang kini disebut sebagai Kota Santri dengan menyebut kata ‘Jombang’ secara jelas. Meski ada catatan dari pemisahan Jombang dari onderdistrik Mojokerto, namun diperkirakan asal sebutan Jombang bisa lebih tua dari itu.

Dari kesimpulan Pembelajaran Jawa Kuno Pusat di Unit Pengelolaan Informasi Majapahit (Museum Majapahit) dalam bahasan Prasasti Poh Rinting disebutkan bahwa tugu batu bertulis ini seakan menggambarkan Jombang di masa kini yang penuh peradaban. Karakter Jombang pun sangat berbudaya, damai bertoleransi di tengah keberagaman tradisi keagamaan dari masa ke masa berikut agama-agama yang dianut penduduknya.

Namun tak bisa dipungkiri, dari perdebatan berbagai tanggal yang diajukan di tengah hiruk pikuk warganya, misteri siapa dan kapan yang pertama menyebutkan kawasan Kota Santri ini sebagai JOMBANG masih belum terkuak.

Prasasti Poh Rinting
di Museum Mandala Majapahit Trowulan
Diboyong dari :
Kompleks Candi Glagahan
Belakang Rumah Pak RT
Dusun Glagahan, Desa Glagahan
Kecamatan Perak, Kabupaten Jombang


Btw, Apriliya Oktavianti  dari situsbudaya.id monggo kopas-kopas sepuas-puasnya ya. Nanti silakan pura-pura lupa cantumkan sumber seperti biasanya, 'kan ya??? Haseeek, hasek hasek haseeeekkk!!!

3 komentar:

Tentang Jombang Lainnya

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...