Prasasti
Poh Rinting ditemukan di kompleks Candi Glagahan yang berada di halaman
belakang rumah Ibu Tonah yang kini jadi kediaman putranya selaku ketua RT
setempat di Dusun Glagahan, Desa Glagahan, Kecamatan Perak, Kabupaten Jombang.
Prasasti ini merupakan peninggalan Mpu Sindok pendiri Wangsa Isyana dari
Kerajaan Medang Kamulan periode Jawa Timur. Prasasti ini punya tanggal
‘terbitan’ yang sama dengan Hari Sumpah Pemuda, yaitu 28 Oktober 929 M. Terpaut
seribu tahun setelah peristiwa bersejarah penting bagi bangsa Indonesia yang
digerakkan oleh para pemuda.
Posisinya
kini berada di Pusat Informasi Majapahit di Trowulan, setelah diboyong dari
lokasi aslinya di kompleks Candi Glagahan. Dengan
nomor inventaris 82 di Museum Purbakala, sekarang Prasasti Poh Rinting berada bersama rekan-rekan batu
bertulis lainnya dari berbagai daerah. Prasasti Jombang lainnya yang diamankan
di museum Trowulan adalah Prasasti Katemas dari peninggalan Prabu Airlangga.
Setinggi lutut manusia dewasa |
Ukuran
Prasasti Poh Rinting termasuk kecil, mungkin setinggi manusia Indonesia dewasa. Terbuat
dari batu andesit berpuncak lancip, bentuknya seperti blok tugu batu bertulis
pada umumnya. Permukaannya agak lengkung, hingga memberikan kesan prasasti Poh
Rinting serasa terlihat gemuk.
Prasasti
Poh Rinting bertuliskan aksara Jawa Kuno dan Berbahasa Sansekerta yang tertulis di bagian depan dan bagian belakang prasasti. font tulisan tampak besar memenuhi permukaan batu prasasti. Jika dilihat sekilas, 'pengerjaannya masih kalah rapi' dibanding prasasti-prasasti milik Raja Airlangga di Jombang subyektif banget yak! hehehehhe.... Beruntung, tulisannya
masih bisa dibaca, namun sepertinya ada bagian badan prasasti yang hancur kemudian
ditambal semen modern. Terbukti pembacaan tulisan di sisi bagian bawah tidak terbaca. Kondisinya kini pun sudah tanpa lapik yang biasanya
berbentuk hiasan teratai padmasana.
Selain memuat
informasi mengenai larangan melakukan pungli dan penyalahgunaan wewenang,
prasasti ini berisi tentang penetapan desa sima. Disebutkan, Dang Acaryya
membuat permohonan kepada raja supaya daerahnya dijadikan perdikan karena di
kawasannya terdapat bangunan suci. Sang Prabu pun mengabulkannya, dengan
menetapkan Desa letak prasasti Poh Rinting berada sebagai desa sima. Sedangkan masyarakat
desa setempat berkewajiban untuk memelihara bangunan suci tersebut.
Berikut hasil pembacaan Prasasti Poh Rinting yang dicatat oleh Brandes dalam OJO-nya, dari Ibu Titi Surtiti :
Berikut hasil pembacaan Prasasti Poh Rinting yang dicatat oleh Brandes dalam OJO-nya, dari Ibu Titi Surtiti :
1. swasti cakawarsatïta 851 ka(rttikamasa a)
2. stami krsnapaksa wa pa hu irika diwasa
dangacarya
3. t&ngkilanya datang mangaciwuada i crï maharaja
ma
4. rgga samgat momahumah anggehan umajarakan haswa
5. tantranikauang cïma kabikuan i poh rinting
tan kata
0. mau dening patih wahuta muang saprakaraning
mangila
7. (la) drabya haji ing dangu micra paramicra
wuluwula praka
8. (ra) pangurang kring padam manimpik( ) paranakan
limus ga
9. (luh) pangaruhan taji watu tajam halu warak
pining
10. tapa haji airhaji malandang
1 ].tangkil trpan
12. la maniga
13. mam
A c h t e r z ij d e.
1. ran sira
2. matguhakna sapnrbwa sa
3. ntati nikanang sima kabikuan i
4. poh rinting i(ng) malawas tan kawnanga pinagawayaka
5. n luir kunang deyanikanang patih wahuta muang
6. ikanang mangilala drabya haji kabaih haywa
ya
7. parabyapara rikana sima kabikuau i poh rinting
8. ubhaya ta ya i panganumoda crï maharaja i sang
hyang
9. dharmma samangkana ikanang patih wahuta tan
wehan
10. magawaya purih sakrauia nikanang sima
kabikua
11. n i poh rinting nguni ring swasthakala
atah kramanya
12. mangke tan papendahana yapwan hana patih
13. wahuta muang ikanang mangilala drabya
14. tumama muaug magawai luir rika
Siapa
jelasnya Dang Acaryya yang dimaksud di sini tak bisa diketahui karena nama
dirinya tidak terbaca. Dang Acaryya merupakan gelar untuk pendeta penganut
sekte siwa. Dang Acaryya atau Dang Acharyya ini agaknya merupakan posisi
penting di desa setempat yang punya akses langsung kepada raja. Terbukti pula,
dari permohonannya, pengukuhan desa sima diwujudkan. Jadi posisinya jelas bukan
main-main karena mampu membuat permohonan yang dikabulkan raja.
Penetapan
sima bisa dilakukan dengan menghadirkan perangkat desa beserta warga setempat
yang biasanya berasal dari penduduk sekitar wilayah perdikan. Penetapan ini
mirip dengan acara ‘peresmian’ masa kini yang disertai dengan perayaan.
Biasanya pesta diakhiri dengan pemberian pasek-pasek sebagai persembahan yang
berwujud bahan pakaian, uang, perak, bahkan emas. Bisa jadi, saat peresmian Prasasti Poh Rinting ini dulu, juga dilakukan perayaan dan persembahan dari penduduk setempat.
Pemberian status desa sima juga dilakukan untuk pengembangan wilayah
sehingga agar kawasan yang kurang penting jadi lebih menarik bagi petani. Pengembangannya
bisa berupa pemukiman, atau kawasan pertanian, atau bentuk agraris lainnya. Pada
akhirnya dapat memperluas pemukiman sehingga makin mantap jadi wilayah yang
strategis.
Pengukuhan suatu wilayah menjadi daerah perdikan dapat merupakan anugerah
raja kepada seseorang atau penduduk karena telah berjasa bagi negara. Selain
itu juga bisa karena dalam wilayah tersebut terdapat bangunan suci yang bisa
mendatangkan pendapatan dari para peziarah.
Biasanya, pendapatan yang dihasilkan dari pendapatan kunjungan bangunan
suci akan dianugerahkan pada pejabat setempat sebagai pengelola kuil. Dari
pendapatan itu pula, sebagai sumber biaya pemeliharaan bangunan suci.
Selebihnya digunakan untuk membeli lahan baru, sehingga tanah tersebut
dijadikan tambahan sawah sima bagi bangunan suci itu.
Diperkirakan,
bangunan suci yang dimaksud dalam Prasasti Poh Rinting adalah sebuah candi
pemujaan dan petirtaan yang kini sudah dikubur kembali di Glagahan, letak
dimana Prasasti Poh Rinting ditemukan bersamanya. Lokasi Candi Glagahan sendiri
berada di Dusun Glagahan Desa Glagahan, Kecamatan Perak, Kabupaten Jombang yang
berada tak jauh dari Watu Galuh tempat dimana ditemukannya srandu atau lingga
semu berelief ukiran dewa.
Bisa jadi,
Glagahan dulunya merupakan bagian dari Watu Galuh yang pernah menjadi salah
satu lokasi ibukota kerajaan. Mungkin pula Glagahan merupakan daerah penting
sehingga layak ditetapkan sebagai daerah perdikan. Selain itu, Candi Glagahan
juga tak jauh dari Candi Pundong yang juga bagian dari peninggalan Kerajaan
Medang era Mpu Sindok.
Prasasti-prasasti peninggalan Mpu Sindok tak ada yang memuat peristiwa
politik pada masa pemerintahannya. Bila pun ada, itu samar-samar dan terdapat
dalam prasasti tembaga yang tinulad, yakni yang diturunkan pada tahun-tahun
kemudian. Sepertinya Prasasti Poh Rinting bukan salah satu yang dimaksud karena
batu bertulis ini merupakan penetapan yang dikeluarkan pertama kali sejak Mpu
Sindok diangkat sebagai raja baru Kerajaan Mdang periode Jawa Timur.
Penyebutan
Prasasti Poh Rinting juga memiliki kisah tersendiri. Poh berasal dari bahasa
Jawa poh atau woh yang diartikan sebagai buah atau berbuah. Sedangkan rinting
berarti beruntai atau berjejer. Jadi Poh Rinting berarti buah yang rimbun subur
beruntai-untai.
Dinamakan
Poh Rinting karena diperkirakan, sebutan buah yang beruntai-untai ini berasal
dari pohon yang banyak tumbuh subur di sekitar lokasi. Ada pendapat bahwa pohon
yang dimaksud adalah pohon mangga berjenis Mangga Podang dan Mangga Manalagi.
Keduanya memang merupakan sejenis mangga yang buahnya beruntai-untai dalam satu
tangkai. Padahal lokasi Glagahan satu rute dari sentra Si Jambu Darsono,
Jambu Manis Gondanglegi. Jombang memang salah satu penghasil mangga yang
cukup produktif selain kabupaten tetangga yang memang dikenal sebagai sentranya.
Beberapa
kawasan di Jombang juga punya istilah yang menggunakan kata poh sebagai
namanya. Sebut saja Poh Jentrek, yang juga memiliki arti serupa yaitu buah yang
berjajar-jajar. Selain itu, di kota tetangga juga ada wisata Poh Sarang yang
dikenal sebagai kawasan destinasi religi nasrani.
Ada pula prasasti
lain yang menggunakan kata poh untuk sebutannya, yaitu Prasasti Poh (827 Saka/905
Masehi) yang ditemukan di Randusari, Klaten. Prasasti Poh dari Randusari ini
memuat informasi mengenai penetapan sima yang dikeluarkan Kerajaan Medang Jawa
Tengah yang merupakan pendahulu dari Kerajaan Mataram Kuno periode Jawa Timur.
Kesamaan unsur nama ini kadang membuat mesin pencari tersesat di bahasan
Prasasti Poh. Ada baiknya menuliskan lengkap nama Prasasti Poh Rinting ini
dalam mesin pencarian untuk mengetahui tentang detailnya.
Prasasti
Poh Rinting hanya sering disebut dalam beberapa literatur tapi tak banyak yang
membahas tuntas mengenai prasasti dari Glagahan ini. Jadi, Jombang City Guide
pun berinisiatif membuat tulisan ini untuk memberikan sedikit detail mengenai
prasasti paling sepuh di Jombang.
Beruntung,
bagian yang hancur bukan bagian angka tahun sehingga penanggalannya masih bisa
dibaca : 851 Saka yang kemudian bisa dikonversikan menjadi 28 Oktober 929 M. Dari
penanggalan Prasasti Poh Rinting, diketahui bahwa tugu batu bertulis ini sementara merupakan prasasti tertua yang ditemukan di Jombang. Penanggalan ini kemudian
dijadikan acuan untuk penetapan hari jadi Kota Santri Jombang yang menggunakan
BERIMAN sebagai slogannya.
Sayangnya,
perdebatan hingga kini masih belum usai karena ada banyak kubu yang masing-masing
memiliki pendapat yang punya dasar berbeda untuk pengajuan hari jadi Jombang. Berbagai
prasasti yang ditemukan di Kota Santri seakan menjadi dasar dan bukti yang berarti
keberadaan Jombang sendiri jauh sebelum kerajaan Majapahit ada.
Di tengah
perdebatan itu, masih belum ditemukan satu pun bukti tertulis yang menyebutkan
kawasan yang kini disebut sebagai Kota Santri dengan menyebut kata ‘Jombang’
secara jelas. Meski ada catatan dari pemisahan Jombang dari onderdistrik Mojokerto,
namun diperkirakan asal sebutan Jombang bisa lebih tua dari itu.
Dari
kesimpulan Pembelajaran Jawa Kuno Pusat di Unit Pengelolaan Informasi Majapahit
(Museum Majapahit) dalam bahasan Prasasti Poh Rinting disebutkan bahwa tugu
batu bertulis ini seakan menggambarkan Jombang di masa kini yang penuh
peradaban. Karakter Jombang pun sangat berbudaya, damai bertoleransi di tengah keberagaman
tradisi keagamaan dari masa ke masa berikut agama-agama yang dianut penduduknya.
Namun tak
bisa dipungkiri, dari perdebatan berbagai tanggal yang diajukan di tengah hiruk
pikuk warganya, misteri siapa dan kapan yang pertama menyebutkan kawasan Kota
Santri ini sebagai JOMBANG masih belum terkuak.
Prasasti
Poh Rinting
di Museum Mandala Majapahit Trowulan
Diboyong dari :
Kompleks Candi Glagahan
Belakang Rumah Pak RT
Dusun Glagahan, Desa Glagahan
Kecamatan Perak, Kabupaten Jombang
Btw, Apriliya Oktavianti dari situsbudaya.id monggo kopas-kopas sepuas-puasnya ya. Nanti silakan pura-pura lupa cantumkan sumber seperti biasanya, 'kan ya??? Haseeek, hasek hasek haseeeekkk!!!
Lugas
BalasHapusKeren
BalasHapusMantab
BalasHapus