Berhasilnya
misi arkeologis pembacaan Prasasti Kusambyan seakan menguak detail-detail
penting yang makin menahbiskan vitalnya peranan Jombang di masa lampau. Jombang kawasan utara Brantas melekat citranya sebagai salah satu DAS Brantas yang terkenal sebagai lokasi sentral nan subur. Di balik bentang alam sekitar pegunungan Kendeng, ternyata menyimpan kisah sejarah dan cikal bakal kejayaan kerajaan kuno di
nusantara.
Meski
Prasasti Kusambyan sudah pecah berkeping-keping, beberapa bagian bongkahannya
masih terbaca. Salah satu yang berhasil dibaca mengenai keberadaan sebuah
kediaman penting bernama Medander. Sebuah detail tentang Medander yang
disebutkan sebagai kedaton menjadi sangat penting karena tak disebutkan dalam
prasasti peninggalan Prabu Airlangga lainnya.
Madaṇḍĕr yang
dimaksud dalam Prasasti Kusambyan kemudian diidentifikasi sebagai wilayah situs kuno Jladri yang
memiliki spesifikasi lengkap sebagai lokasi persinggahan raja. Lokasinya yang
ada di ketinggian 64 mdpl di puncak Gunung Jeladri, kini masuk wilayah Dusun Bedander,
Desa Sumber Gondang, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang dan letaknya tak jauh dari lokasi
Prasasti Kusambyan berada.
Gunung
Jeladri memang tak terlalu menjulang, namun juga mencakup wilayah Dusun Dander,
Desa Manduro, yang juga masuk Kecamatan Kabuh. Desa Manduro kebetulan banyak
dihuni orang Madura yang dikenal punya dialek khas. Logat paling mudah dikenali
yaitu mereka kerap melafalkan sebuah
kosa kata dengan menghilangkan suku kata awal.
Bila
diteliti lebih lanjut, logat setempat bisa juga berpengaruh pada penyebutan
Bedander menjadi Dander yang kini menjadi kawasan dimana kompleks purbakala
berada. Jadi sangat mungkin bila toponimi Dander berasal dari nama Bedander
yang sangat mungkin berubah akibat dialek khas penduduk setempat.
Kedua
toponimi Dusun Bedander Desa Sumber Gondang dan Dusun Dander Desa Manduro jelas
memiliki kemiripan dengan Madaṇḍĕr meski tetap harus dibuktikan secara ilmiah.
Di sekitar kompleks situs banyak ditemukan benda-benda purbakala yang
disinyalir berasal dari lintas era dan jelas bernilai arkeologis tinggi.
Termasuk beberapa punden yang berada dalam satu lokasi.
Dari
pembacaan Prasasti Kusambyan yang menjadi satu-satunya bukti arkeologis tentang
eksistensi keraton Medander, dikatakan kediaman itu rusak karena sering diserang oleh musuh. Pembacaan
prasasti di baris kesebelas menyatakan : "..ri kāla nikanaŋ śatru si cbek °an tamolaḥ madwal
makadatwan °i madanḍĕr..", yang artinya
"..pada saat musuh si Cbek terus menerus merusak keraton di
Madaṇḍĕr..".
Kalimat molah madwal makadatwan i madaṇḍĕr dapat
diartikan adanya kejadian pengrusakan terhadap keraton Maḍaṇḍĕṛ yang jika
dihubungkan dengan kalimat sebelumnya, ri
kāla nikanaŋ śatru si cbek °an yang memunculkan dugaan bahwa rusaknya
keraton disebabkan oleh serangan musuh secara terus menerus.
Peristiwa
pengrusakan itu adalah hal yang sangat mungkin terjadi, karena setelah lepas
dari pelariannya di permulaan pemerintahannya Airlangga banyak melakukan
peperangan untuk membangun kembali kerajaan yang telah hancur karena serangan Raja
Wurawari. Dengan disebutkannya Maḍaṇḍĕṛ sebagai keraton yang telah rusak, maka
kediaman ini kemungkinan besar pernah menjadi tempat tinggal Airlangga.
Sayangnya,
angka tahun penanggalan Prasasti Kusambyan tak lagi terbaca sehingga tidak
diketahui kapankah kediaman itu diserang sehingga tak bisa pula ditarik
perkiraan masa dimana Medander dijadikan keraton. Penanggalan yang tak terbaca
juga mengakibatkan sulitnya memastikan di mana Airlangga berkeraton ketika
Prasasti Kusambyan dikeluarkan. Faktanya, selama masa pemerintahannya Airlangga
setidaknya tiga kali pindah keraton, yaitu di Wwatan Mas, Kahuripan, dan
Dahanapura.
Penulisan molah madwal makadatwan i madaṇḍĕr tidak lazim dalam penyebutan keraton yang
menjadi tempat tinggal raja bila dibandingkan dengan penyebutan kediaman raja dalam
prasasti-prasasti lainnya. Pada umumnya ditulis śrī mahārāja makaḍatwan i tamwlaŋ (Śrī
Mahārāja berkeraton di Tamwlang) seperti yang dituliskan dalam prasasti Turyyān
(829 M.).
Bisa juga
dituliskan maŋrakṣa
kaḍatwan rahyaŋta i mḍaŋ i bhūmi matarām i... (para
dewa yang menjaga keraton di Mḍang di kerajaan Matarām), yang kemudian disebutkan
nama lokasinya. Sedangkan dalam prasasti Paraḍaḥ (943iM.) dituliskan maŋrakṣa kaḍatwan rahyaŋta i mḍaŋ i
bhūmi matarām i watugaluḥ (para dewa yang menjaga keraton di
Mḍang di kerajaan Matarām yang terletak di Watugaluh). Tidak lazimnya kalimat
tersebut dapat dimaklumi, karena tidak seperti prasasti lainnya yang mempunyai
konteks menjaga keraton (Titi Surti, 2013)
Dalam
prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh Śrī Mahārāja Rakai Sumba/ Rakai
Pangkaja Dyah Wawa (924 M. - 928iM.), maḍaṇḍĕr adalah nama tempat kedudukan
samgat momahumah, seperti yang disebutkan dalam prasasti Sangguran (928 M.) dan
Paṇgumulan III (928 M.). Medander sudah disebutkan di dalamnya sebagai kediaman
Samgat Momahumah, yang merupakan pejabat yang mengurusi perumahan.
Dyah Wawa
merupakan raja Mataram Kuno terakhir dari periode Jawa Tengah Dinasti
Syailendra yang setelahnya baru digantikan Mpu Sindok yang memulai dinasti baru
Wangsa Isyana di Kerajaan Medang Kamulan periode Jawa Timur. Pada masa
pemerintahan Dyah Wawa, ada dua pejabat yang memegang jabatan sebagai samgat
momahumah, yaitu yang berkedudukan di Maḍaṇḍĕṛ dan yang berkedudukan di
Aṅgĕhan.
Dalam
prasasti Sangguran yang masih tertawan di Negeri Ratu Elizabeth ditulis sebagai
berikut: umiṅsor i samgat
momahumah kalih maḍaṇḍĕr pu padma aṅgĕhan pu kuṇḍala (diturunkan kepada samgat
momahumah berdua, yaitu [yang berkedudukan di] Maḍaṇḍĕr [bernama] Pu Padma dan
[yang berkedudukan di] Anggĕhan [bernama] Pu Kuṇḍala). Maḍaṇḍĕṛ
dan Anggĕhan sebagai tempat diperkuat dengan kalimat yang menyebutkan tentang
kedudukan parujar (juru bicara) dari sang
tuhān tuhān i pakaraṇān, salah satunya berasal dari Maḍaṇḍĕṛ.
Jika
berdasarkan prasasti keluaran Dyah Wawa yang masih dalam periode Jawa Tengah
dari Dinasti Syailendra, dapat dipastikan lokasi Medander sudah ada sebelum
masa Airlangga berkuasa, bahkan bisa dikatakan sudah eksis sebelum era
pemerintahan Mpu Sindok. Airlangga
sendiri merupakan penerus Wangsa Isyana, setelah Mpu Sindok mendirikan dinasti
barunya dalam kerajaan Medang Kamulan periode Jawa Timur.
Jadi
jelas, Maḍaṇḍěr yang bahkan sudah eksis sebelum era Wangsa Isyana adalah daerah
penting sehingga keputusan Airlangga mendirikan keraton di wilayah itu sangat masuk
akal. Airlangga tak perlu lagi membuka lahan dan membangun bangunan baru lagi
untuk dijadikan kediaman. Wilayah itu sudah menjadi tempat dari pejabat tinggi
kerajaan yang mengurusi perumahan, jauh sebelum Airlangga bertakhta.
Bedander
juga semakin menarik kala disebutkan dalam teks Kitab Pararaton yang menjadi
titik balik karir Mahapatih Amangkubumi Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit.
Disebutkan dalam kisah terkait Raja Jayanegara :
"..Kemudian muncul peristiwa
(pemberontakan) Ra Kuti. Ketika Ra Kuti belum mati, raja (Jayanagara) bermaksud
diungsikan pergi ke Badander. Perginya pada waktu malam, tidak ada seorangpun
yang tahu, hanya diiringi oleh pasukan Bhayangkara, semuanya yang kebetulan
menjaga ketika raja pergi, ada sebanyak lima belas orang.
Pada waktu itu Gajah Mada menjadi
Bekel (kepala pasukan) Bhayangkara, kebetulan waktu itu mendapat tugas menjaga,
itulah sebabnya dia mendampingi raja ketika pergi. Lamalah raja di
Badander.."
Dari kisah
yang tertera di Kitab Pararaton didapat bahwa Baḍaṇḍĕṛ merupakan nama desa yang
menjadi lokasi evakuasi Raja Jayanagara akibat pemberontakan yang dilakukan Ra
Kuti. Memang, selama pemerintahan Prabu Jayanegara, banyak terjadi
pemberontakan akibat ketidaksukaan para pejabat kerajaan pada yang berjuluk
Kalagemet itu. Pemberontakan bahkan dilakukan oleh darmaputra yang merupakan
pejabat istimewa semasa ayahandanya yaitu Raden Wijaya bertahta.
Dikatakan
pemberontakan Ra Kuti ini merupakan yang paling parah, sehingga Jayanegara
harus diungsikan keluar istana. Istana Majapahit berhasil diduduki oleh
pemberontak sehingga harus dilakukan upaya penyelamatan Raja Jayanegaran pada
malam hari menuju Baḍaṇḍĕṛ. Sang Raja ditemani oleh lima belas bhayangkari yang
merupakan pasukan pengawal raja pimpinan Gajah Mada.
Pararaton
kembali menyatakan bahwa cukup lama raja mengungsi di Badander, namun tak
disebutkan berapa lama tepatnya berada di sana. Beberapa riwayat ada yang
menyatakan seminggu, dan lainnya menyatakan dalam hitungan bulan. Namun belum
ada bukti sejarah konkret mengenai lamanya raja berada di pengungsian, selain
kisah penduduk setempat yang menyatakan raja berdiam selama seminggu.
Selama
dalam masa pelarian, Gajah Mada melarang keras semua pengawalnya meninggalkan
Bedander demi menjaga rahasia lokasi persembunyian. Diceritakan, suatu hari
seorang abdi pengalasan minta izin pulang. Pengawal tadi
bersikeras untuk pulang sedangkan Gajah Mada tetap tak mengizinkannya. Berhubung
pengawal tadi tetap memaksa, akhirnya Gajah Mada pun menusuknya dengan keris. Pengawal
yang tak disebutkan namanya itu pun tewas. Pertanyaannya : Jika
satu tewas tertusuk keris, tinggal berapa pengawal dari pasukan bhayangkari
yang tersisa??? Apaan sih.
Maksud
tindakan Gajah Mada jelas. Tidak boleh ada yang mengetahui lokasi pengungsian
raja di Bedander. Gajah Mada khawatir jika tempat pengungsian raja sampai
bocor, Kuti akan memerintahkan pasukannya mengejar dan membunuh raja. Gajah
Mada pun masih ingat betul bagaimana peristiwa terbunuhnya Ken Arok, moyang
Raja Jayanagara, pendiri dinasti Rajasa yang mati ditusuk keris juga oleh
seorang pengalasan,
ketika sedang makan malam. Setelah itu selama lima hari di Bedander, Gajah Mada
mohon diri untuk melihat keadaan Majapahit pasca pendudukan pemberontak.
Dari
catatan peristiwa ini, terjadi banyak klaim dimana lokasi tepatnya Bendander
berada. Desa Bedander di Blitar dan Dusun Dander di Bojonegoro menjadi daerah
lain yang juga mengklaim wilayahnya sebagai lokasi pelarian Jayanegara. Kedua
wilayah tersebut juga mengklaim kawasannya sebagai lokasi pengungsian Sang
Raja. Namun, klaim tersebut agaknya tak didukung data historis dan bukti
arkeologis berupa peninggalan purbakala dan jejak sejarah yang mendukung
peristiwa ini di sana.
Sedangkan
buku sejarah nasional menuliskan Dander yang dimaksud adalah yang di
Bojonegoro, sebuah kesalahan kecil yang luput dari detail kronologis pelarian
Jayanegara. Dari analisa asal usul Gajah Mada, agaknya Dusun Bedander di
Jombang menjadi kawasan yang paling kuat sebagai lokasi pelarian Jayanegara.
Ini didapat dari lokasi Kecamatan Kabuh yang berbatasan langsung dengan
Lamongan Selatan, kampung halaman Sang Mahapatih Amangkubumi.
Letak
Bedander berada sangat dekat dengan Gunung Ratu yang merupakan lokasi makam
Dewi Andongsari, Ibunda Gajah Mada. Bedander juga tak jauh dari Desa Modo, yang
merupakan tempat Gajah Mada dilahirkan. Diduga kuat, Gajah Mada mengungsikan
Raja Jayanegara ke Bedander karena pertimbangan penguasaan medan dan
perlindungan warga setempat karena dekat dengan tanah kelahirannya.
Lokasi Bedander
juga masih tak jauh dari Mojoagung dan Trowulan. Yang bisa dianalisa bila
sebuah pelarian yang terhitung dilakukan malam hari kala gelap gulita, dan detail
yang menyebutkan setelah lima hari di lokasi persembunyian Gajah Mada pun
kembali ke istana. Bisa dihitung bahwa lokasi Bedander yang dimaksud pasti tak
terlalu jauh dari Mojoagung dan Trowulan, yang bisa ditempuh dalam waktu cepat.
Bayangkan bila ada di Bojonegoro atau Blitar, pastinya durasi perjalanan jelas
lebih panjang.
Seperti
dalam ekspedisi Laskar Mdang yang menyatakan kawasan ibukota Majapahit
mayoritas berada di wilayah Jombang yang istananya dilindungi oleh sabuk kanal.
Pengungsian Sang Raja dilakukan ke tempat yang aman tapi harus tersembunyi
namun harus dilakukan secara cepat. Bila dilakukan hingga Blitar dan Bojonegoro
agaknya terlalu jauh, sedangkan di sisi lain kawasan Gunung Jaladri yang
terpencil namun memenuhi segala kelengkapan standar kerajaan sepertinya jadi
pertimbangan utama Sang Bekel Muda.
Ada sebuah
detail tambahan lain yang menarik yang didapat dari cerita penduduk desa lain. Dari
kisah penduduk Jatiduwur dikatakan, awalnya rombongan prajurit Bhayangkari
pimpinan Gajah Mada sempat singgah ke Jatiduwur untuk menempatkan raja dan
melihat situasi keamanan. Kemudian, setelah kondisi lebih kondusif Jayanegara
kemudian dinaikkan ke perahu menyeberangi Sungai Brantas dari kanal Jatiduwur
menuju Modo. Namun, sebelum sampai ke Modo, Jayanegara minta berhenti dan tak
mau melanjutkan perjalanan. Kawasan tempat berhenti itu diyakini adalah
Bedander.
Merupakan suatu
kecenderungan dimana jika dalam situasi gawat, penguasa akan berusaha
menyelamatkan diri ke daerah asalnya dimana dia dilahirkan dan dibesarkan. Ada
kawan semasa kecil dan guru silat yang bisa dimintai pertolongan. Keakraban
dengan penduduk setempat jelas merupakan senjata yang ampuh karena menjadi
suatu dukungan tersendiri berupa perlindungan tanpa batas yang berguna untuk
perjuangan selanjutnya.
Dikatakan
pula, pemuka desa setempat yaitu Ki Ageng Bedander atau Ki Blander menyanggupi
permintaan Gajah Mada untuk mengamankan raja yang berlindung di kawasannya.
Gajah Mada juga dipercaya pernah berguru silat pada ‘Pak Lurah’ Bedander ini,
sebelum merintis karirnya sebagai prajurit Majapahit. Jaminan perlindungan dari
Sang Guru tersebut agaknya membuat Gajah Mada tenang untuk menitipkan
keselamatan rajanya sehingga lima hari setelah kedatangannya bisa kembali ke
ibukota kerajaan untuk melihat situasi.
Karena
adanya penguasaan medan dan familiar dengan kawasan tersebut, pastinya Gajah
Mada juga mengetahui eksistensi bangunan peninggalan raja leluhurnya di kawasan
itu yaitu kompleks kedaton milik Airlangga. Berhubung Jayanegara tak mau
melanjutkan ke Modo sedangkan di Bedander ada kompleks peninggalan raja
sebelumnya, agaknya Bendander dirasa jadi lokasi yang aman untuk perlindungan. Seperti
semacam penggunaan candi dari masa ke masa, pastinya kedaton peninggalan
Airlangga meski agak rusak tapi masih berfungsi kala itu sehingga layak
dijadikan lokasi persembunyian Jayanegara.
Lokasi
Bedander yang bersebelahan dengan letak insitu Prasasti Kusambyan seakan makin
menguatkan dugaan kedaton Madander yang ada di Jombang-lah yang dimaksud
sebagai pelarian Jayanegara. Dikatakan pula dalam prasasti Jayanegara II yang
menyatakan bahwa Kusambyan kembali dianugerahi predikat perdikan karena bisa
jadi kala itu kawasan tersebut dianggap berjasa karena melindungi raja dan
menimbulkan kesan tersendiri bagi Jayanegara selama persembunyiannya.
Dikatakan,
selama di Bendander raja berlindung di sebuah lokasi yang aman. Kedaton
Medander yang menjadi lokasi pelarian Jayanegara berada jauh dari pemukiman
penduduk tapi terlihat pantas untuk menjadi kediaman raja yang sering dikaitkan
dengan gunung sebagai simbol dewa. Selain itu, letaknya yang tersembunyi di
puncak rimba, memungkinkannya menjadi lokasi persembunyian yang aman dari
musuh.
Bahkan
hingga era modern seperti saat ini, lokasi kompleks purbakala Jaladri ini tak
memiliki jalur yang bisa dilewati kendaraan roda empat. Pemilik kendaraan yang
ingin berkunjung harus menitipkan tunggangannya ke rumah penduduk atau juru
pelihara yang ada di kaki bukit. Perjalanan kemudian dilanjutkan berjalan kaki
sejauh 500 meter dengan medan menanjak untuk menggapai puncak sunyi lokasi
persembunyian Sang Raja.
Sesampainya
di lokasi yang berada sekitar 64 mdpl, sebuah dataran luas yang rimbun
dilindungi pepohonan tua tampak bersih terawat. Di bawah pohon banyak tumpukan
bata kuno, termasuk timbangan, lumpang dan umpak yang mungkin menjadi bagian
dari kelengkapan kedaton sebagai kediaman Sang Raja kala itu. Ada tugu yang
mungkin merupakan prasasti dan beberapa batu bergambar yang mungkin
menggambarkan siapa yang merupakan penghuni lokasi penting itu.
Di dataran
itu berdiri semacam benteng dari batu bata kuno yang kondisinya masih tertata
meski sudah ditumbuhi lumut di sekujur permukaannya. Situs ini diperkirakan
seluas 25mx30m yang termasuk besar untuk sebuah kediaman. Tangga dari batu
andesit tampak menjadi undak-undakan yang berfungsi sebagai pintu masuk ke
bangunan utama. Bangunan utamanya sepertinya sudah runtuh dan tinggal pagarnya
saja, tapi pondasinya masih tersisa sehingga masih bisa dibayangkan bentuknya.
Dari
kompleks situs purbakala Bedander ini, juga terdapat pecahan-pecahan keramik
yang berasal dari berbagai era mulai dari Dinasti Song dan Dinasti Ming berikut
pecahan-pecahan gerabah untuk perlengkapan rumah tangga. Ditemukan pula pecahan
era kolonial yang mungkin sisa era penjajahan Belanda yang mungkin pernah
meneliti lokasi ini.
Selain
itu, ditemukan pula dorpel yang menjadi bagian dari bangunan kuno di situs
jladri. Dorpel merupakan sebuah artefak dari batu andesit yang berguna sebagai
tempat menambatkan pintu agar bisa digerakkan seperti layaknya fungsi engsel.
Penggunaan dorpel ini berupa kusen untuk membuka dan menutup pintu yang
penempatannya ada di atas dan di bawah. Bila dilihat masanya di kala itu, dorpel
yang terbuat dari batu andesit itu pasti tidak dimiliki oleh rakyat jelata dan
pemiliknya jelas punya keterkaitan dengan istana.
Ada dua
dorpel yang kerap disebut giritan lawang ini. Fungsinya memang sebagai alas
engsel pintu. Kini dorpel yang menjadi alas kerangka pintu itu disimpan di
rumah Pak Ngateno, warga setempat yang berdiam di dekat kompleks Jladri. Salah
satu masih utuh, sedangkan lainnya digunakan untuk pondasi rumah yang sudah menyatu
karena disemen.
Dari
berbagai penemuan di lokasi, terlihat bahwa lokasi ini begitu lengkap dan pantas
diduga sebagai kediaman orang penting kerajaan. Jadi tak heran bila misalnya
Gajah Mada punya pertimbangan untuk menempatkan maharajanya di tempat yang baik
lagi aman dari serangan musuh.
Lokasi
yang diyakini sebagai Keraton Medander ini sudah menjadi situs purbakala yang
secara berkala dicek kondisinya oleh Balai Purbakala Trowulan beserta para juru
pelihara yang bertugas. Tentunya, bila sudah menjadi bangunan dan benda cagar
budaya, pastilah sudah jelas payung hukumnya sebagai benda dan bangunan purbakala
yang dilindungi.
Menariknya,
kebanyakan bebatuan di lokasi seperti memiliki sisa fosil dari cangkang kerang.
Fosil serpihan cangkang kerang itu kemudian mendukung banyak penemuan
arkeologis di kawasan utara brantas yang memiliki artefak serupa. Seakan
dulunya kawasan ini direndam perairan sehingga bebatuan yang ada jadi punya
banyak fosil binatang air.
Di samping
bangunan kuno sudah dibangun rumah dan kamar mandi untuk lokasi membersihkan
diri yang menjadi kelengkapan situs cagar budaya. Ada pula sumur kuno yang tak
pernah kering, yang dipercaya sebagai lokasi Raja Jayanegara membersihkan diri
selama persembunyian. Meski kini sumur sudah dibangun dengan polesan modern,
penduduk setempat masih ingat betul bahwa dulunya sumur itu terbuat dari batu
bata kuno hingga bagian bawah sumurnya.
Terdapat sembilan
makam yang membujur ke utara-selatan layaknya makam muslim, yang diduga sebagai
pesarean leluhur desa. Jadi tak heran bila penduduk setempat juga menyakralkan
lokasi ini karena adanya punden yang merupakan sesepuh desa setempat.
Pohon-pohon
besar yang menaungi kompleks Jladri ini agaknya menjadikannya terasa teduh,
cocok untuk bersemedi. Pohon-pohon Kosambi yang berdiri kokoh di pelataran
kompleks Jladri ini diduga juga punya keterkaitan dengan istilah Kusambyan yang
tertera dalam Prasasti Grogol sebagai daerah yang dianugerahi predikat sima
baik oleh Airlangga maupun Jayanegara. Lokasi Prasasti Grogol yang menyebutkan
Kusambyan pun hanya berjarak sekitar lima kilometer dari jalur jalan desa.
Meski
masuk kawasan Jombang, namun kompleks situs kuno Gunung Jaladri ini masuk dalam
wilayah hutan naungan PERHUTANI Mojokerto. Memang biasanya, kawasan hutan yang
dikuasai perhutani tak memperhatikan batas kota, melainkan dibatasi dengan
batas alam sesuai kondisi lingkungan terkait. Jadi tak heran bila Gunung
Pucangan yang bertetangga dengan Candi Jaladri ini sering dikira wilayah
Mojokerto.
Nama
Jladri sendiri merupakan istilah yang berasal dari kata Jaladri yang berarti
langit. Jadi bisa disimpulkan bila lokasi ini juga dihubungkan dengan kahyangan
tempat para dewa bersemayam, dan tempat roh para leluhur berada. Dalam budaya
kerajaan kuno, para raja kerap dianggap sebagai titisan para dewa sehingga tak
jarang lambang kerajaan menggunakan simbol gunung yang identik dengan
kahyangan. Lokasi kompleks Jladri agaknya menjadi salah satu simbol tersebut,
hingga dijadikan punden yang dikeramatkan warga setempat.
Warga setempat
bahkan punya kepercayaan dan ritual khusus bagi pasangan yang akan menikah.
Ritual tersebut berupa mengelilingi pagar banon. Banon sendiri artinya bata,
yang merupakan pondasi penyusun pagar di kompleks situs Jladri. Pasangan
pengantin setempat diharuskan melakukan ritual ‘thawaf’ di kompleks Candi
Jladri ini. Jika berani melewatkan prosesi ritual itu, dipercaya pengantin akan
menjadi gila atau terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
Ritual ini
masih dipercaya oleh penduduk setempat, yang mengingatkan kita pada prosesi
pernikahan dalam adat hindu berupa mempelai yang harus mengelilingi api suci.
Selain ritual keliling situs juga mengingatkan kita pada prosesi sirkumabulasi
yang ada dalam upacara hindu-budha yang juga melakukan peribadatan dengan
berdoa sambil mengelilingi bangunan yang disakralkan.
Meski
tidak seorang pun penduduk Desa Bedander tahu alasan mengapa pengantin harus
menjalankan ritual berupa mengelilingi pager banon, tradisi sirkumabulasi
pengantin di kompleks Candi Jladri ini agaknya merupakan bentuk menghormati
bangunan kuno yang ada di desanya. Meski tidak mengelilingi api suci seperti
dalam upacara pernikahan hindu, namun ritual ini jelas berasal dari prosesi
peribadatan yang mengelilingi obyek yang sakral. Miriplah dengan prosesi thawaf
dalam ibadah haji dan umroh dalam Islam.
Lokasi
Bendander hanya bertetangga desa dari Prasasti Kusambyan dan Prasasti Sumber
Gurit. Letaknya yang ada di utara Brantas, membuatnya menjadi kawasan yang
berbatasan dengan Lamongan yang juga memiliki banyak peninggalan sejarah dari
masa Airlangga . Mungkin bahkan dulunya kedua kota ini merupakan satu kesatuan
dalam pemerintahannya, sehingga kebijakan yang diambil pun juga berasal tak
jauh dari lokasi kedaton.
Kompleks
Sendang Made dan Gua Made pun masih dalam satu rute, berikut sumur kuno gurit
yang belum dikupas kisahnya. Selain itu pertapaan Dewi Kili Suci di Gunung
Pucangan sepertinya makin menahbiskan lokasi utara Brantas kawasan Jombang ini
merupakan deretan tempat penting dari kepemimpinan Sang Raja Pembangun
Bendungan.
Dugaan
kediaman Airlangga jadi makin menarik bila dibahas dari toponim Wwatanmas.
Wwatan Mas artinya jembatan emas, sedangkan wonogiri yang merupakan hutan
pelarian Airlangga diartikan gunung berhutan. Memang dimana-mana hampir semua
gunung pasti berhutan, dan kompleks Candi Jaladri juga berada di puncak gunung
yang rimbun oleh pepohonan.
Melihat
toponim wwatanmas yang mirip artinya dengan Watu Galuh yang juga ada di lingkup
Jombang. Terlebih lagi dari pembacaan Watu Mbah-Mbeh pendapat Asmara Garudhara
yang merujuk pada era Airlangga. Sedangkan Wonogiri yang masih menjadi
teka-teki agaknya bisa juga diduga sebagai Gunung Pucangan, tempat putri
mahkota Airlangga moksa hingga diterbitkannya Prasasti Pucangan yang kini
telantar di Kalkuta, India. Gunung Pucangan pun berada tak jauh dari kompleks
situ kuno Jladri yang sudah jelas pernah menjadi lokasi kedaton Airlangga.
Candi
Jaladri yang ada di Bedander memang masih menyimpan banyak misteri. Penguakan
fakta masih terus dilakukan, namun perlu juga upaya penelitian ilmiah untuk
membahas lebih lanjut tentang kedaton peninggalan Airlangga ini.
Sebuah
detail yang terpisah, tapi tersambung satu sama lain mirip puzzle. Makin
diteliti makin terlihat benang merahnya. Namun tetap perlu bukti-bukti
arkeologis untuk mendukungnya sebagai fakta yang ilmiah. Bisa jadi masih ada
peninggalan lain yang masih terkubur dan belum ditemukan. Sambil melakukan
identifikasi dan penelitian, pasti tinggal menunggu waktu untuk menyeruak ke
permukaan.
Candi Keraton
Bedander
Kompleks Situs Kuno Gunung Jladri
Gunung Jaladri, 64 mdpl
Dusun Bendander, Desa Sumber Gondang,
Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang
Btw,
Apriliya Oktavianti dari situsbudaya.id monggo kopas-kopas sepuas-puasnya ya.
Nanti silakan pura-pura lupa cantumkan sumber seperti biasanya, 'kan ya???
Haseeek, hasek hasek haseeeekkk!!!
Makamnya siapa ya, yang ada didalam situs tsb...
BalasHapusMakamnya makam palsu, tidak ada jasad/jenasah/sisa tengkorak disana... ???
BalasHapusKami penduduk asli desa sumbergondang, sebenarnya juga belum pernah mendapat cerita dari orang tua kami tentang istana airlangga, namun situs jeladri memang kami kenal dengan sentono jeladri, yang sudah tentu artinya istana jeladri,
BalasHapusCerita terakhir yang kami dengar dari orang tua kami ketika masa kerajaan majapahit, mulai dari pelarian jayanegara sampai dengan masa runtuhnya majapahit, yang mana proses runtuhnya majapahit sudah di perkirakan oleh wali songo dan sentono jeladrilah tempat berkumpulnya wali songo untuk membahas keruntuhan majapahit,
Dan kebetulan di kala itu ada putra sunan geseng dari tuban yang bertempat di jeladri yang bernama joko bumi atau sunan condromoto bergelar raden elang putih dan diberi tugas oleh sunan geseng untuk menjamu setiap kedatangan wali songo,
Karena kejadian inilah kami yakini di sentono jeladri terdapat sembilan makam yang kami yakini pula sebagai petilasan wali songo,
Petilasan ini kami menyebut dengan makam wali wolu songo tinari,
Sudah barang tentu wali ke sembilan adalah sunan kali jaga, sebagai tinari, penutup dan menjadikan lengkapnya sebuah keluarga yang mewujudkan kebahagiaan,