Candi Rimbi pertama kali ‘ditemukan’ dan dipublikasikan oleh Alfred
Russel Wallace yang sedang berkunjung ke Wonosalam untuk mengambil spesimen
burung merak dan hewan-hewan endemik dari Gunung Anjasmoro. Ilmuwan Inggris itu
sedang melakukan penjelajahan dan pencatatan dalam ekspedisinya menguak
jenis-jenis flora dan fauna di nusantara. Rupanya, Wonosalam di Jombang menjadi
salah satu destinasi dalam ekspedisinya.
Catatan Wallace tersebut dirangkum dalam buku The Malay Archipelago. Dalam catatan kunjungannya itu, Wallace melalui Surabaya sebagai pelabuhan tempatnya mendarat setelah perjalanannya ke Ternate, Kepulauan Maluku. Dengan mengendarai kereta sapi jantan atau biasa kita sebut dengan cikar, Wallace melanjutkan ekspedisinya ke Mojokerto, lalu Mojoagung. Dari Mojoagung, Wallace melanjutkan perjalanannya ke Wonosalam dengan menunggang kuda.
Berikut cuplikan dari catatan Wallace yang menggambarkan Candi Rimbi :
"……. Having decided to stay some
time at Wonosalem, on the lower slopes of The Arjuna Mountain, where I was
informed I should find forest and plenty of game,…………
The road to Wonosalem led through a
magnificent forest in the depths of which we passed a fine ruin of what
appeared to have been a royal tomb or mausoleum. It is formed entirely of
stone, and elaborately carved. Near the base is a course of boldly projecting
blocks, sculptured in high relief, with a series of scenes which are probably
incidents in the life of the defunct. These are all beautifully executed, some
of the figures of animals in particular, being easily recognisable and very
accurate. The general design, as far as the ruined state of the upper part will
permit of its being seen, is very good, effect being given by an immense number
and variety of projecting or retreating courses of squared stones in place of mouldings.
The size of this structure is about thirty feet square by twenty high, and as
the traveller comes suddenly upon it on a small elevation by the roadside,
overshadowed by gigantic trees, overrun with plants and creepers, and closely
backed by the gloomy forest, he is struck by the solemnity and picturesque
beauty of the scene, and is led to ponder on the strange law of progress, which
looks so like retrogression, and which in so many distant parts of the world
has exterminated or driven out a highly artistic and constructive race, to make
room for one which, as far as we can judge, is very far its inferior.
Few Englishmen are aware of the number and beauty of
the architectural remains in Java. They have never been popularly illustrated
or described, and it will therefore take most persons by surprise to learn that
they far surpass those of Central America, perhaps even those of India. To give
some idea of these ruins, and perchance to excite wealthy amateurs to explore
them thoroughly and obtain by photography an accurate record of their beautiful
sculptures before it is too late, I will enumerate the most important, as
briefly described in Sir Stamford Raffles' "History of Java''."
''…………..Saya telah memutuskan untuk mengunjungi Wonosalem, yang
berada di kaki Pegunungan Arjuna. Saya diberi informasi bahwa saya harus
mengunjungi hutan tersebut dan mencoba menemukan banyak hal di sana……..
Jalan menuju Wonosalem menyusuri hutan belantara di mana kami
melewati sebuah reruntuhan yang tampaknya merupakan mausoleum atau makam
kerajaan. Bangunan itu seluruhnya terbuat dari batu, dan diukir dengan rumit.
Di dekat bagian dasar ada tatanan balok yang diproyeksikan dengan mencolok,
dipahat dengan relief tinggi dengan serangkaian adegan yang mungkin merupakan
episode kehidupan orang terkait yang dimakamkan di sini.
Semua dikerjakan dengan sangat indah, khususnya beberapa figur
hewan dapat dikenali dengan mudah dan sangat akurat. Secara umum, bisa dilihat
dengan jelas kondisinya sudah rusak di bagian atasnya.
Bangunan ini kira-kira ukurannya tiga puluh kaki dan tingginya dua
puluh kaki. Ketika pengendara berkunjung kemari, lokasinya ada di pinggir jalan
dengan posisi tanah yang lebih tinggi. Reruntuhan tertutup pohon-pohon
menjulang, ditumbuhi tanaman merambat, dan berada di tengah kegelapan hutan
belantara.
Sungguh mengejutkan, pemandangan sekitar begitu mempesona. Kembali
merenungi betapa majunya peradaban kuno ini, yang terlihat seperti kemunduran
di masa sekarang. Telah begitu banyak di belahan dunia karya artistik yang
konstruktif seperti ini, rusak dan musnah. Sedangkan apresiasi yang sejauh ini
harusnya bisa dilakukan, masih begitu rendah nilainya.
Hanya sedikit orang Inggris yang menyadari jumlah dan keindahan
peninggalan arsitektur di Jawa. Peninggalan kuno ini tak pernah ramai digambarkan
dan dijelaskan, padahal jika demikian pastinya akan mengejutkan banyak orang
setelah mereka mengetahu bahwa arsitektur kuno di Jawa jauh melampaui Amerika
Tengah, bahkan mungkin India.
Untuk memberikan gambaran tentang reruntuhan ini, demi menarik perhatian para amatir yang kompeten untuk menjelajahinya secara menyeluruh dan sebelum terlambat memperoleh potret dokumentasi akurat dari relief indah ini, saya merekomendasikan literatur paling penting, yang dijelaskan secara singkat dalam buku 'History of Java' karya Sir Stamford Raffles.''
Ilmuwan Inggris itu menyebutkan ‘Wonosalem’ di kaki Gunung Arjuno,
padahal nyatanya berada di lereng Pegunungan Anjasmoro. Bisa jadi Sang Ilmuwan
ini memang salah sebut, atau salah informasi karena kedua gunung memang
bertetangga. Nama kedua gunung juga mirip karena sama-sama diawali huruf a, dan
diakhiri huruf o, dengan ada getaran r di tengahnya. Tapi bisa dipastikan,
Wonosalem yang dimaksud adalah Wonosalam yang kita kenal sekarang sebagai
bagian dari Pegunungan Anjasmoro.
Disebutkan di tengah perjalanan, dia menemukan sebuah bangunan yang
luasnya kira-kira 30 kaki dengan tinggi sekitar 20 kaki. Wallace menceritakan
bahwa bangunan yang dia kira monumen makam raja itu terletak di daerah yang
lebih tinggi dari sisi jalan, dan tertutupi oleh pohon raksasa yang dipenuhi
oleh tumbuhan menjalar.
Bisa dipastikan bangunan yang dimaksud adalah Candi Rimbi, mengingat
Candi Rimbi memang berada di tepi jalur utama Wonosalam dengan posisi tanah
yang lebih tinggi daripada bangunan di sekitarnya hingga sekarang. Bangunan suci
era klasik memang kerap dibangun dengan konsep sitinggil, yaitu lebih tinggi
dari posisi tanah dan bangunan lain di sekitarnya.
Dengan melihat peta kuno Belanda, bisa diperkirakan perjalanan Wallace melalui jalur utama satu-satunya menuju Wonosalam lewat Ngrimbi. Karena di peta terdapat tanda merah berupa titik peninggalan cagar budaya yang ada di Ngrimbi. Di Ngrimbi itulah, Candi Rimbi dulunya berada. Sangat mungkin kala itu batas desa dan kecamatan sudah berbeda dengan yang sekarang.
Terimakasih banyak untuk Mas Faisol Radar Dolkin atas petanya |
Kala pencatatan itu, Jombang bahkan masih menjadi bagian dari Mojokerto.
Jadi lokasi Wonosalem yang disebutkan dalam dokumentasi Candi Rimbi jelas
merupakan Desa Pulosari, Bareng di masa kini. Dari dokumentasi Belanda mengenai
Candi Rimbi didukung peta kuno titik bangunan cagar budaya, bisa disimpulkan Ngrimbi
dulu masih tercatat sebagai bagian dari Wonosalam.
Detail yang digambarkan Wallace agaknya didukung oleh foto-foto kuno Candi
Rimbi yang sempat dipublikasikan sekitar tahun 1890-1956 yang kini bisa dilihat
secara online di direktori potret Universiteit Leiden. Foto-foto kuno tersebut
memang menjadi satu-satunya gambaran kondisi candi rimbi kala pertama kali
didokumentasikan dengan potret hitam-putih.
Kondisi Candi Rimbi sangat memprihatinkan, dengan badan yang sudah runtuh sebelah. Terlihat ada satu pohon besar yang berdiri di sampingnya, sedangkan permukaan candi ditumbuhi rumput-rumput liar. Pelataran sekitar candi juga bernasib serupa, dikelilingi ilalang yang mungkin di dalamnya tersimpan puing-puing batu andesit yang dulunya menjadi bagian bangunan suci.
Om Wallace ini, bahkan juga begitu terkejut dengan panorama bumi Wonosalam yang begitu mempesona. Ilmuwan Inggris itu juga sangat terkesan dengan begitu majunyakebudayaan jawa terutama arsitekturnya yang begitu canggih. Dikatakan bahwa Jawa bahkan lebih maju daripada Amerika Tengah, bahkan India. Wallace pun sangat menyayangkan begitu rendahnya apresiasi terhadap benda-benda purbakala yang sangat berharga ini, begitu pula minimnya perhatian dan penelitian mengenai arsitektur Jawa yang begitu mutakhir.
Dokumentasi tentang arca juga ditampilkan, setidaknya ada tiga arca
yaitu Arca Parwati, Arca Agastya dan Arca Durga Mahesasuramandini yang
ditemukan berada di sekitar candi. Sedangkan Arca Ganesha yang biasanya ada
bersama dua arca sakti siwa, tak ada dalam dokumentasi.
Menariknya, meski kondisinya sangat memprihatinkan masih tampak ada
beberapa potret yang mungkin tak bisa lagi dilihat dari tampilan Candi Arimbi
yang sekarang. Beberapa potret relief menunjukkan Candi Rimbi masih dipenuhi
oleh relief dengan ragam hias yang sangat cantik. Dan ada pula tampilan semacam
antefix yang kini sudah tidak ada lagi. Keberadaannya sekarang tak diketahui. Entah
rusak, hilang, atau berada dalam simpanan tangan orang yang mengambilnya.
Catatan lawas Alfred Russel Wallace itu menjadi satu-satunya dokumentasi penting mengenai Candi Rimbi. Potret-potret yang dipublikasikan dalam rentang waktu 1890 hingga 1956 juga menjadi memori yang tak ternilai pentingnya. Dari catatan kuno tersebut, masih bisa diperkirakan bentuk awal kala Candi Rimbi pertama kali didokumentasikan, sebelum kini dipugar setelah beberapa bagiannya makin banyak yang rusak dan dijarah oknum tak bertanggung jawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar