Ada dua
buah patok batu yang ditancapkan di pinggir jalan dengan posisi berseberangan.
Patok batu itu, bukan patok biasa, melainkan benda cagar budaya yang
diperkirakan dari era Kerajaan Majapahit. Dua patok batu itu memang sudah masuk
data benda cagar budaya di Kabupaten Jombang. Secara berkala, petugas masih
mengecek dan mendata kondisinya di lokasi. Tapi misterinya tetap belum terkuak.
Dua patok
batu itu ditanam paten di tanah, saat pembangunan jalan desa. Lokasinya ada di
Dusun Tugu, Desa Sebani, Kecamatan Sumobito tepat di perempatan Masjid Assyuro.
Dari toponim Dusun Tugu, tampaknya patok ini seakan menjadi cikal bakal
penamaan dusun dimana lokasinya berada. Patok yang disebut penduduk setempat sebagai tugu ini sedikit
menggambarkan bahwa dulunya memang punya fungsi sebagai penanda sesuatu.
Tugu
Sebani, kini berada persis di batas desa antara Desa Sebani dan Desa Badas yang
berada dalam satu kecamatan Sumobito. Menariknya Desa Sebani juga bersebelahan
dengan Desa Mentoro dan Desa Madiopuro. Keempat desa ini dikenal sebagai lokasi
yang memiliki banyak jejak peninggalan kerajaan kuno yang sayangnya sudah
tinggal sisanya saja. Meski demikian, puzzle informasi masih beredar di
masyarakat sehingga menyisakan misteri yang belum terkuak.
Tugu Jalan Desa Sebani |
Satu patok
berukuran agak tinggi ditancapkan di semacam prasasti penanda pembangunan jalan
desa, sedangkan pasangannya agak rendah. Bisa jadi memang karena beda ukuran,
atau memang beda kedalaman saat penancapan.
Dipasang permanen dalam prasasti pembangunan jalan paving |
Patok
pertama, dipercaya masih insitu alias berada di lokasi aslinya. Sedangkan patok
kedua merupakan hasil dari perpindahan tak jauh dari tugu pertama. Lokasi patok
kedua sebenarnya dulunya ada di utara patok pertama. Namun karena pembangunan
jalan, akhirnya dipindah dan dipasang permanen di seberang timur patok pertama.
Patok Kedua : Lokasi di seberang timur patok pertama |
Kedua
patok ini terbuat dari batu andesit, dengan bentuk balok persegi panjang yang
ditancapkan tegak. Meski sudutnya lengkung, namun masih terlihat lekuk baloknya
yang memanjang. Patok pertama yang agak tinggi, terlihat agak kasar
permukaannya. Meski tak bisa dikatakan halus, masih tampak ada satu cekungan
besar di sisi atasnya. Cekungan seperti ini biasa disebut lekuk dakon yang
mengingatkan kita semua pada permainan tradisional dakonan.
Patok pertama : punya satu cekungan besar |
Patok
kedua yang ukurannya lebih kecil, tampak halus permukaannya. ‘Kebalokannya’
tampak lebih jelas dengan bagian atas penuh cekungan. Bila dihitung, ada
sepuluh cekungan di sisi yang menghadap ke atas, dengan deskripsi empat
cekungan besar dan enam cekungan kecil. Sayangnya, cekungan dakon ini letaknya
semburat. Tak beraturan seperti watudakon yang umumnya punya deretan cekungan
rapi.
Patok kedua : Punya sepuluh cekungan |
Di masa
lalu, cekungan-cekungan seperti dakon ini kerap digunakan untuk menghaluskan
bahan makanan atau sesuatu yang mungkin memerlukan sarana untuk diuleg di dalam
batu. Bila berjumlah lebih dari sepuluh lubang, maka dipergunakan untuk
menghitung masa tanam. Sedangkan bila berjumlah lebih dari 50 maka dipergunakan
untuk kepentingan penanggalan. Sayangnya, cekungan di patok kedua hanya ada
sepuluh sedangkan bentuknya pun tak beraturan. Mungkin ada penjelasan tentang
ini?
Berseberangan |
Cekungan-cekungan
ini bahkan kerap dijadikan mainan anak-anak setempat. Saat Jombang City Guide
berkunjung, cekungan dakon ini bahkan dijadikan sarana iseng oknum yang
menuangnya dengan cairan dari minuman probiotik. Sisa botolnya bahkan masih ada
di sampingnya, sedangkan oknumnya sudah lanjut bermain entah kemana. Atau
mungkin sudah pulang karena waktunya tidur siang.
Dituangi yakult, cobak... |
Dalam hati
Jombang City Guide hanya bisa mbatin, bisa jadi Si Oknum ini ternyata tak cocok
rasanya. Mungkin awalnya dikira seperti thaitea
atau apa gitu kali ya. Jadi sisa
minuman probiotiknya dituang sekenanya di media yang kelihatannya dia tak tahu
kalau benda itu adalah cagar budaya yang erat kaitannya dengan sejarah desanya,
bahkan asal-usul kotanya!
Grrrrrrrr..................................................
Tugu tapal batas |
Penduduk
setempat mempercayai bahwa patok ini merupakan tugu tapal batas untuk memasuki
Kerajaan Majapahit. Kepercayaan ini didapat dari cerita turun-temurun yang
beredar di kalangan masyarakat setempat.
Bisa jadi
kedua patok ini merupakan lingga semu, atau bahkan srandu penanda lokasi. Memang,
lokasi kedua patok ini bersebelahan desa dengan Desa Madiopuro yang dipercaya sebagai
kotaraja Majapahit. Bahkan bisa jadi dulunya desa lokasi tugu patok batu ini adalah
bagian dari Sang Kutaraja.
Cekungan
dakon di sisi atas tugu juga mungkin menjadi penanda bahwa dulunya patok ini
digunakan sebagai alat untuk menghaluskan sesuatu. Misteri sungai yang hilang
dalam kisah Patok Menturo agaknya bisa menjadi petunjuk bahwa mungkin saja
kedua tugu ini dulunya berlokasi di area yang tak jauh dari sungai. Jalur masuk
ke ibukota Majapahit bisa jadi juga punya akses dari perairan meski tetap punya
benteng khusus yang membuatnya tetap aman dari jangkauan musuh.
Lokasi
kedua patok yang berada di Dusun Tugu, Desa Sebani yang bersebelahan dengan
Desa Badas mungkin menjadi sebuah petunjuk bahwa lokasi ini mungkin satu area
dengan titik keempat dari misteri yoni naga raja badas yang hilang atau diboyong
paksa ke museum nasional. Titik keempat ini masih belum diketahui keberadaannya,
namun diperkirakan memang berada di Desa Badas dan sekitarnya sesuai pemetaan.
Nurhadi
Rangkuti dalam penelitiannya melakukan survey berdasarkan sebaran penemuan
benda purbakala peninggalan Majapahit. Keberadaan empat Yoni Kepala Naga Raja
melambangkan empat penjuru mata angin yang kemudian menguatkan dugaan bahwa
pembuatannya yang difungsikan sebagai tapal batas kota. Meski tidak tercantum
dalam Kitab Negarakertagama namun diyakini Yoni Gambar diyakini sebagai tapal
batas barat daya Kota Raja.
Keyakinan
mengenai fungsi yoni-yoni cantik berhias kepala naga raja ini karena adanya
jarak antar yoni yang hampir presisi. Jarak antara Yoni Klintorejo dengan Situs
Yoni Lebak Jabung di bagian selatannya adalah 11 km. Sedangkan Jarak dari Situs
Yoni Lebak Jabung ke Yoni Gambar di bagian baratnya adalah 9 km.
Masing-masing jarak antar situs memiliki kemiringan 5 derajat. Berdasarkan
jarak itu pula, letak tapak batas sisi barat laut diperkirakan terdapat di
Kecamatan Sumobito tepatnya di Dusun Tugu dan Desa Badas.
Titik
terakhir yang menghubungkan Yoni Klintorejo dan Yoni Gambar di Badas-Sumobito
ini sayangnya titik ini masih menjadi misteri. Bila ditarik garis lurus yang
menghubungkan keempat yoni cantik ini, akan didapat bentuk segi empat yang
disinyalir sebagai batas Kota Raja Majapahit yang disebut Madyopuro yang secara
toponim posisi desanya bersebelahan dengan kedua patok batu ini. Kota Raja
Majapahit pun bisa diperkirakan dari jarak-jarak ini dan diestimasi berukuran
sebesar 11 x 9 km, tanpa dibatasi tembok keliling.
Meski
tidak tercantum di kitab manapun, perdebatan mengenai yoni naga raja sebagai
tapal batas kota raja Majapahit ini masih belum usai. Bantahan mengenai yoni
naga raja sebagai tapal batas kota Majapahit muncul ketika ditemukannya yoni
yang juga berhiaskan kepala naga raja di Kediri dan di reruntuhan Candi Tamping
Mojo.
Dalam
pemikiran praktis, bisa jadi yoni naga raja yang ada di daerah lain itu
merupakan tapal batas kerajaan lain, ‘bukan? Yoni naga raja di Kediri mungkin
merupakan tapal batas Kerajaan Kadiri, sedangkan pecahan yoni naga raja di
reruntuhan Candi Tamping Mojo merupakan tapal batas Kerajaan Medang. Bila
memang keduanya masuk wilayah Majapahit, bisa jadi penggunaannya hanya beda
masa karena periode tiap kerajaan pun berbeda. Tak menutup kemungkinan wilayah
terkait kemudian masuk menjadi kekuasaan Sang Wilwatikta.
Sayangnya,
tak banyak penduduk setempat yang peduli dengan peninggalan sejarah di
kawasannya. Beberapa penemuan yang dibuang, dihancurkan maupun dijual tampaknya
merupakan bukti bahwa penguakan misteri ini menjadi semakin rumit.
Patok
lainnya di Desa Badas yang dikatakan berada di dekat jalur rel kereta api pun
kini tak diketahui lagi keberadaannya. Seorang penduduk mungkin menggalinya
lalu mengambinya untuk kepentingannya. Mungkin oknum tersebut sedang tidak
memiliki uang, kemudian menjualnya dan kebetulan pula ada yang membelinya.
Dari
penuturan perangkat Desa Badas, seorang penduduk bahkan pernah menemukan lumpang
berhias ukiran ular. Mengenai deskripsi tepatnya mungkin sudah tak bisa diingat
lagi karena sudah dijual di pasar gelap oleh oknum yang tak bertanggung jawab.
Tugu Sebani |
Kedua patok
ini jelas menjadi saksi sejarah dari kerajaan kuno yang bertahta di kawasan
ini. Dari patok ini sebenarnya bisa melengkapi puzzle informasi yang tercecer
tentang lokasi yoni naga raja keempat maupun lokasi tepatnya ibukota kerajaan
Majapahit yang bisa merujuk pada lokasi dimana istana Sang Wilwatikta bertahta.
Adalah
tugas kita semua untuk menjaga peninggalan bersejarah ini untuk mengetahui
asal-usul desa yang menjadi bagian dari sejarah kota kita tercinta. Kesadaran
dari seluruh lapisan masyarakat untuk menjaga benda cagar budaya ini menjadi
hal yang sangat penting untuk kelestarian situs purbakala. Tentunya, harus pula
dengan bantuan pemerintah untuk meresmikannya sebagai benda yang diindungi negara
bila ada penemuan baru, baik yang utuh maupun yang sudah tinggal sisanya.
Jadi, ada info
apalagi terkait kedua tugu ini???
Tugu Sebani
Perempatan Masjid Assuro,
Jalan KH. Arief Syahid,
Dusun Sebani, Desa Badas,
Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang
Btw, Apriliya Oktavianti dari situsbudaya.id monggo kopas-kopas sepuas-puasnya ya. Nanti silakan pura-pura lupa cantumkan sumber seperti biasanya, 'kan ya??? Haseeek, hasek hasek haseeeekkk!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar