Tak
banyak yang diketahui mengenai Prasasti Katemas. Keberadaannya yang bersemayam
bersama sekumpulan prasasti lain di Museum Mandala Majapahit di Trowulan
membuat eksistensinya kurang terekspos. Berdiri tegak di antara rekan-rekannya
dalam kondisi tanpa profil, membuat sejarahnya terasa tenggelam.
Bahkan tak banyak yang tahu bahwa Prasasti Katemas merupakan salah satu inskripsi yang dari masa Prabu Airlangga yang berasal dari kawasan Jombang di utara Brantas. Bersama empat prasasti lain yang pernah ditemukan dalam jarak yang tak jauh, eksistensi tugu batu bertulis dari Katemas ini sedikit terpinggirkan.
Diboyong
dari Dusun Katemas, Desa Katemas, Kecamatan Kudu Kabupaten Jombang tahun 2003,
inskripsi ini pun dijuluki Prasasti Katemas sesuai nama tempatnya berasal.
Katemas sendiri berasal dari nama baru yang dari cerita penduduk setempat
berasal dari Bahasa Jawa yaitu kata kate yang artinya akan atau mau, dan mas
yang artinya emas atau kejayaan. Jadi Katemas bisa diartikan menuju kejayaan,
sebuah nama yang berisi doa dan pengharapan yang berasal dari potensi setempat
yang penuh dengan sejarah emas dari era Airlangga.
Awalnya tugu batu bertulis dari Katemas berada tergeletak di pinggir jalan tepat di tepian sungai Desa Katemas, dimana lapiknya ditemukan pula terpisah beberapa meter dari badan prasastinya. Lapiknya berhias padma yang masih sangat jelas tellihat kelopaknya dan punya dua tingkat hiasan.
Diceritakan
oleh Pak Badri selaku juru pelihara kawasan sekaligus penduduk setempat bahwa
tugu batu bertulis ini sering menyebabkan orang-orang yang melintas dan
memegangnya kesurupan. Karena banyaknya ‘korban’ yang mungkin sekedar iseng
atau ingin tahu tentang prasasti ini dan memerlukan penanganan non-medis,
akhirnya tugu batu bertulis ini diamankan ke rumah warga bernama Pak Aslan yang
berada tak jauh dari lokasi insitu terakhir dari inskripsi ini.
Pak
Aslan merupakan seorang tokoh yang dihormati di kawasan ini, selain itu beliau
dipercaya mampu mengobati orang-orang yang punya keluhan non-medis seperti para
korban yang menyentuh prasasti keramat ini. Dengan diamankannya prasasti ke
halaman rumah Pak Aslan, diharapkan tak ada lagi warga kesurupan akibat
penasaran pada prasasti ini.
Kini
lokasi penemuan prasasti yang sering mengakibatkan orang kesurupan karena
menyentuhnya itu menjadi pinggiran sungai yang sudah dibangun pos dam Katemas.
Bangunannya benar-benar baru, mungkin umurnya bahkan belum sampai satu tahun.
Pak Badri selaku jupel kawasan ini menyatakan bahwa diduga di dasar sungai dan
sekitar lokasi masih ada pecahan bata maupun benda bersejarah yang mungkin bisa
menjadi petunjuk tambahan mengenai tugu batu bertulis ini.
Terlebih
lagi, tak jauh dari lokasi ditemukannya kedua prasasti terdapat makam islam
Desa Katemas yang ternyata di salah satu pesarean penduduk yang semasa hidupnya
cukup dihormati, nisannya terbuat dari lingga. Batu lingga yang digunakan
tersebut merupakan tugu yang kerap difungsikan sebagai batas sima. Sangat
mungkin nisan tersebut merupakan lingga tugu batu yang dulunya digunakan
sebagai batas sima yang diperdikankan oleh Sang Prabu yang menghadiahkan
kawasan ini sebagai daerah istimewa.
Lalu, tahun 2003 diputuskan prasasti ini diboyong ke Museum Trowulan untuk diamankan secara optimal. Menariknya, selain Prasasti Katemas ditemukan pula tugu batu bertulis lainnya yang diboyong ke Museum Trowulan dari tempat yang sama dan dari era Airlangga. Bukti pemindahan kedua prasasti ke Museum Trowulan didapat dari dokumen yang dimiliki jruu pelihara kawasan ini. Terbaca dari ‘surat perintah’ pemboyongan |
Berhubung
ada dua prasasti dari Katemas yang diboyong, maka kedua inskripsi ini pun kerap
disebut Prasasti Katemas I dan Prasasti Katemas II sesuai lokasi insitunya.
Namun perkembangan kedepannya, prasasti Katemas II ternyata diidentifikasi
sebagai lapik dari Prasasti Garudamukha
yang berasal dari gambar lencana di pahatannya setelah dilakukan pembacaan oleh
para peneliti. Kondisi Prasasti Garudamukha sendiri lebih mengenaskan, lebih
memprihatinkan karena terpecah pecah menjadi fragmen-fragmen yang bahkan sampai
sekarang masih sulit disatukan lagi.
Bila
ditelaah lebih lanjut, kedua prasasti berada dan diamankan bersamaan dari
lokasi yang sama, kemudian diboyong bebarengan ke Museum Trowulan dalam kondisi
yang sudah tak utuh bahkan salah satunya sudah pecah berkeping-keping. Dua
prasasti, berada di tempat yang sama. Mungkinkah???
Biasanya
prasasti memuat berita, peraturan, atau perintah dari raja yang menyatakan
sebuah daerah ditetapkan sebagai daerah istimewa seperti sima. Bisa diletakkan
tak jauh dari candi sebagai inskripsi yang menjelaskan fungsi bangunan suci,
atau ditempatkan di sebuah lokasi yang kawasannya menjadi daerah perdikan.
Tapi
bila ada dua prasasti yang ditemukan tergeletak di satu tempat yang sama, apa
mungkin lokasi itu merupakan insitu keduanya??? Jombang City Guide menduga
tidak. Terutama melihat kondisi kedua prasasti yang sudah tak utuh lagi.
Keduanya bahkan terlihat sebagai korban tangan jahil oknum yang masih percaya
ada kandungan emas di dalam tugu batu bertulis itu, seperti yang dialami oleh
Prasasti Kusambyan.
Patahannya
terlihat tipis, seperti prasasti ini sengaja ‘dikuliti’ untuk dilihat bagian
dalamnya. Semacam mencari kandungan di dalam batu yang hasilnya jelas nihil.
Padahal, sebuah prasasti jelas-jelas yang terbuat dari batu
andesit biasanya bahannya diambil dari bebatuan sungai. Bongkahan bebatuan
sungai itu kemudian dibentuk sedemikian rupa sesuai kebutuhan pembuatan
prasasti.
Bila memang batu itu
mengandung unsur lain, mungkin hanya akan berupa bebatuan mulia seperti akik,
granit, giok, bahkan permata. Pastinya, tidak akan mungkin di dalamnya berisi
emas. Emangnya bikin dari adonan semen trus dicetak
lalu dalamnya diselipin emas gitu?? Kok lalar gawe. Iyo lek
lemper atau rolade gitu???
Jadi,
Jombang City Guide menduga bahwa oknum pemecah kedua batu inskripsi tersebut
tak mendapatkan apa yang dia cari kemudian mencampakkan kedua tugu batu
bertulis itu begitu saja di pinggir jalan di tepian sungai. Karena tindakan
itu, sangat mungkin insitu kedua prasasti bukanlah di tempat terakhir di
pinggir sungai itu. Bisa jadi dari dua lokasi berbeda, yang sayangnya kini tak
bisa dilacak lagi asalnya karena tak ada lagi petunjuk yang tersisa.
Setidaknya
ada lima prasasti peninggalan Airlangga dari Jombang kawasan utara Brantas.
Sebut saja Prasasti Pucangan, Prasasti Sumber Gurit / Prasasti Munggut,
Prasasti Kusambyan / Prasasti Grogol, Prasasti Garudamukha, Prasasti Sendang
Made dan Prasasti Katemas. Prasasti-prasasti itu menjadi sangat penting karena
dengan berhasilnya pembacaannya, bisa menguak peran Jombang di masa kerajaan
kuno yang ternyata sangat strategis dalam sejarah nusantara.
Terbuat
dari batu andesit yang diduga berasal dari bebatuan pegunungan terdekat,
Prasasti Katemas berbentuk blok segi empat. Bagian atasnya meruncing ke tengah
yang diperkirakan berbentuk lancip tanpa lapik. Panjang bagian bawahnya
tercatat 68,5 cm, sedangkan panjang bagian gupilnya sebesar 63,5
cm. Hampir setengah bagian badannya.
Prasasti
Katemas punya tinggi 91,5 cm dengan sisi panjangnya berbentuk cembung. Tebal
bagian bawah sisi kanan dan kiri yaitu 18 -18,5 cm, sedangkan tebal bagian
bawah sisi tengah dicatat
sebesar 25,5 cm. Tugu batu bertulis dari Katemas ini dipahat tulisan aksara
Jawa Kuno di kedua sisi panjangnya.
Berdiri dengan sebagian puncak yang entah
dimana cuilannya, Prasasti Katemas bersebelahan di samping lapiknya yang
membentuk padmasana. Masih lengkap pula dengan pasaknya yang berupa tonjolan
untuk ‘akar’ prasasti. Pasak ini berfungsi sebagai pijakan saat tugu batu
bertulis ini ditancapkan ke dalam lokasi insitunya. Kedua bagian prasasti yang
terpisah ini, diletakkan berdampingan bersama prasasti-prasasti lainnya di
Museum Trowulan.
Berbeda dengan rekan-rekan prasasti satu
kawasan lainnya seperti Prasasti Sumber Gurit yang
masih utuh sehingga informasinya sangat lengkap dan bisa dibaca, kondisi
Prasasti Katemas sudah sulit diteliti. Huruf-hurufnya sudah aus, sehingga
Bahasa Jawa Kuno dalam guratannya sangat sulit dibaca. Akibatnya misteri
informasi yang terkandung di dalamnya jadi terlalu menantang untuk diungkap
karena tingkat kesulitannya.
Tak
diketahui apa sebab rompalnya sebagian badannya, karena kondisinya
sudah demikian saat ditemukan kemudian diboyong ke Trowulan. Tapi dilihat dari
bentuk patahannya sepertinya memang akibat dari ulah oknum putus asa yang punya
level ketotolan tingkat dewa. Beberapa prasasti dari kawasan Jombang regional utara
Brantas punya nasib serupa seperti Prasasti Garudamukha dan Prasasti Kusambyan.
Tulisannya
yang hanya terlihat samar membuat peneliti susah membaca isi Prasasti Katemas.
Penanggalan prasastinya pun tak terlihat, mungkin juga karena patahan bagian
kanannya yang sudah hilang. Biasanya angka tahun tercatat berada di puncak
prasasti, sedangkan bagian kaki juga masih terlihat ada tulisannya tapi sudah
aus. Catatan peristiwa yang tercantum dalam kandungan prasasti juga tak bisa
dibaca.
Dikatakan
dalam catatan mengenai profil Prasasti Katemas, guratan tulisan aksara jawa
kuno berada di keempat sisinya yang cenderung cembung itu. Terlihat ada tulisan
sebanyak 34 baris di bagian depan (recto) yang bagian kanannya cuil, dan bagian
belakang (verso) yang agak utuh. Namun dari pengamatan Jombang City Guide,
bagian samping (margin) tidak terlihat ada tulisannya. Sangat mungkin
pengamatan ini disebabkan keawaman Jombang City Guide yang sama sekali tak
punya latar belakang di bidang arkeologi.
Para
ahli epigrafi jelas kesulitan menetapkan dari mana Prasasti Katemas
berasal, namun tertulis dalam catatan pengamatan prasasti ini bahwa di baris
ketiga tertulis : Swasti saka warsatita 9… Setelah
angka 9 batunya sudah pecah. Namun dilihat dari masanya, tahun saka berawalan
angka 9 biasanya berada di masa Prabu Airlangga.
Beruntung,
di baris kelima terbaca : …. warista Airlangga Anantawikramotunga ….
Dimana bisa dipastikan bahwa prasati ini merupakan peninggalan dari Sang Raja
Pembangun Bendungan seperti keempat rekannya yang juga berasal dari kawasan yang
sama.
Keausan inskripsi memang menyulitkan para ahli epigrafi, dimana kondisi ini
umumnya terjadi karena faktor alam maupun usia. Bisa pula karena faktor dihapus
karena dianggap sudah tak berlaku lagi. Memang, beberapa hukum dan kandungan
prasasti hanya berlaku kala Sang Raja penetap prasasti bertakhta. Sehingga saat
raja turun dari singgasananya prasasti terkait tak lagi relevan dengan situasi
saat itu.
Prasasti Katemas memang masih tegak berdiri dan keberadaannya sudah diamankan di museum. Rencana kedepannya semua prasasti di museum akan diberdirikan, namun harus direkonstruksi dulu sebelumnya.
Prasasti Katemas masih lebih aman keberadaannya
dan baik kondisinya dibanding Prasasti Grogol yang sudah pecah jadi sembilan
bagian dan telantar di tengah ladang. Namun karena keausan pahatan tulisannya,
tugu batu bertulis dari Katemas ini serasa masih kalah dari segi pembacaan
dibanding Prasasti Kusambyan yang meski pecah tapi masih bisa diambil informasi
yang terkandung di dalamnya.
Sedangkan
Prasasti Pucangan yang memuat informasi penting tentang silsilah kerajaan,
meski kondisinya masih utuh namun wujudnya tak berada di bumi pertiwi.
Keberadaannya yang masih tersandera tapi telantar di negeri
Taj Mahal membuatnya susah untuk diteliti. Untuk memulangkannya perlu jalur
diplomasi yang sangat kuat luar biasa untuk melobi India yang kebetulan sesama
negara berkembang.
Prasasti
Katemas, berdiri berjajar bersama kawan-kawannya di samping replika rumah
majapahit tapi tanpa petunjuk apapun mengenai asal-usulnya. Padahal catatan
informasi mengenai prasasti harusnya dicantumkan di dekatnya. Seharusnya tiap
benda cagar budaya termasuk prasasti diberi petunjuk atau keterangan di
sampingnya. Sehingga memudahkan pengunjung untuk mengetahui kisahnya, meski
datang tanpa panduan guide dan petugas museum yang hadir.
Beruntung
Jombang City Guide bisa mengenal Pak Badri juru pelihara regional Katemas dan
Bu Eva selaku petugas di Museum Trowulan sehingga penelusuran bisa dilakukan.
Foto insitu pun didapat dari Mas Yogi Mahadev yang menjadi dasar ide penulisan
artikel ini. Jadi bisa didapat profil singkat tentang Prasasti Katemas yang
belum banyak diangkat dalam ulasan arkeologi maupun artikel amatir.
Perlu
adanya sinergi yang baik antara petugas balai purbakala dan penduduk setempat.
Sehingga bila ada penemuan baru di wilayah utara Brantas agaknya bisa segera
dilakukan upaya penyelamatan. Jadi, bukti sejarah dan jejak arkeologis dari
kawasan penuh sejarah ini tak hilang ditelan kapitalisasi dalam era modern ini.
Keberadaan
Prasasti Katemas yang sudah aman di Museum Trowulan harusnya menjadi aset
generasi muda pecinta sejarah terutama dari Jombang. Sebuah bukti arkeologis
yang sangat berharga sebenarnya, yang meski sulit untuk dibaca namun setidaknya
harus diketahui eksistensinya. Tak boleh terpinggirkan apalagi terlupakan.
Prasasti
Katemas dan empat tugu batu bertulis lainnya mungkin hanyalah beberapa diantara
inskripsi peninggalan Airlangga dari Jombang bagian utara Brantas yang diduga
sebagai ibukota kerajaan kala Sang Prabu Pembangun Bendungan bertakhta. Inskripsi
penting lainnya, bisa jadi berupa bakalan prasasti atau masih terkubur.
Menunggu untuk ditemukan lalu dikuak misterinya.
Prasasti Katemas
Museum Mandala Majapahit
Sebelah Replika Rumah Majapahit
Insitu :
Dusun Katemas, Desa Katemas,
Kecamatan Kudu, Kabupaten Jombang
Terimakasih banyak untuk Mas Yogi Mahadev
atas foto insitunya, Pak Badri atas datanya dan Bu Eva atas informasinya, dan
Pak Ikhwan yang sudah dengan sangat baik menunjukkan tugu batu bertulis dari
Jombang ini kala berkunjung ke Musem Trowulan.
Btw, Apriliya Oktavianti dari situsbudaya.id monggo kopas-kopas sepuas-puasnya ya. Nanti silakan pura-pura lupa cantumkan sumber seperti biasanya, 'kan ya??? Haseeek, hasek hasek haseeeekkk!!! Lovyu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar