Awal tahun
2018, Jombang digegerkan dengan adanya penemuan benda purbakala di kompleks
makam sesepuh desa yang kerap disebut Punden Mbah Blawu. Setelah tahun
sebelumnya Jombang digegerkan dengan berbagai penemuan benda pondasi bangunan
candi yang misterius di berbagai lokasi, tampaknya tren ini masih berlanjut
hingga periode berikutnya.
Punden
Mbah Blawu kerap disebut Makam Sentono oleh warga setempat. Lokasi makam
keramat yang dipercaya merupakan pesarean pembabat lahan setempat berada di
Dusun Sukosari, Desa Sumbersari, Kecamatan Jogoroto, Kabupaten Jombang. Jika
dilihat dari radius lokasi, Punden Mbah Blawu ini bertetangga dengan Candi
Pandegong yang masuk dalam kompleks makam keramat Mbah Nambi dan Mbah Ijo.
Saat Soleh
Sang Juru Kunci sedang mencangkul untuk mengambil pasir yang akan digunakan
mengurug jalan masuk makam, ujung cangkulnya mengenai benda tumpul. Ketika
melanjutkan penggalian di sebelahnya, ujung cangkulnya pun masih mengenai benda
tumpul. Lalu dilanjutkanlah penggalian hingga penemuan batu bata kuno yang
mirip sebuah bangunan mirip struktur sebuah candi.
Makam Mbah Blawu : Sudah direnovasi dengan keramik modern |
Punden
Mbah Blawu ini berada di bawah rimbunnya pepohonan besar dengan satu bangunan
makam dari keramik yang dibangun di era modern. Tampak dari tegel yang
digunakan berwarna putih-merah seperti ubin yang digunakan rumah tangga
Indonesia pada umumnya. Tanah di sekitar punden terlihat memiliki permukaan
batu bata kuno yang menyembul tersebar hampir sepanjang mata memandang.
Hamparan batu bata kuno tertata rapi |
Sempat terbersit keanehan mengenai makam ini. Struktur batu bata kuno terlihat terhampar begitu lebarnya, sedangkan makam sesepuh desa terpendam sekitar dua meter di bawahnya. Bisa jadi makam tersebut merusak struktur candi, atau mungkin Sang Sesepuh dimakamkan cukup dangkal? Apaan sih. Atau mungkin makam itu ditempatkan di tepian candi. Atau.... makam itu... ah sudahlah.
Tanpa dilakukan
penggalian maupun ekskavasi serius pun, sebenarnya bisa dilihat bahwa hamparan
batu bata sepanjang lebih dari 20 meter persegi itu merupakan sisa bangunan
kuno. Jika diamati satu persatu, batu bata itu berukuran besar, khas bahan
pondasi bangunan era kerajaan kuno. Banyak yang sudah patah, namun ada juga
yang masih utuh.
Diantara
yang utuh, tampak ukurannya begitu besar dibanding batu bata produksi zaman
modern. Jika diukur, batu bata kuno ini punya dimensi sebesar 30cmx20cm dengan
ketebalan sekitar 7cm. Dari ukuran batu bata ini bisa disimpulkan bahwa sisa
bangunan kuno ini merupakan peninggalan pra-Majapahit yang diperkirakan dari
era Kerajaan Medang.
Batu bata kuno |
Saat
dilakukan penggalian ringan sekitar satu meter dari permukaan tanah, tampak
bentuk struktur bangunan yang tak biasa, yang mirip dengan lekuk-lekuk candi
pada umumnya. Namun karena terkubur di bawah tanah, bentuknya tak terlihat
sehingga masih perlu ekskavasi lanjutan untuk mengetahui wujud aslinya.
Disinyalir ada struktur yang rumit ke dalam |
Penemuan
ini kemudian langsung dilaporkan ke BPCB, hingga diamati langsung oleh petugas.
Sekitar 15 meter dari hamparan batu bata yang tersebar, ada juga tumpukan batu
bata kuno yang juga diduga merupakan sambungan dari ‘bangunan utama’. Temuan
ini bisa dikatakan menarik, karena diperkirakan masih ada struktur bangunan
yang lebih kompleks di tatanan batu bata yang tertimbun lebih dalam. Dari
pengamatan bentuknya itu, nantinya baru bisa diketahui apakah fungsi bangunan
ini di masa jayanya.
Beberapa foto diambil dari gmaps, |
Di sekitar
hamparan batu bata kuno tersebut, terdapat sebuah yoni yang masih terpendam bagian
badannya. Penemuan lingga di lokasi sepertinya menjadi pendukung yoni pasangannya
sebagai perlambang kesuburan. Lingga
dan yoni ditemukan paling sering berada dekat candi, atau bertempat di satu
area dengan bangunan suci. Karena itu biasanya yoni ditemukan bersama sisa
bangunan. Dengan adanya pasangan lingga dan yoni di suatu tempat adalah bukti
bahwa dulunya lokasi Candi Blawu di Makam Sentono adalah lokasi yang bisa jadi
berupa pemujaan.
Yoni |
Bentuk yoni
di Makam Sentono terlihat persegi, namun
karena tubuhnya masih terkubur sehingga tak bisa dilihat bentuk maupun
lekuknya. Adanya ukiran maupun lekuk bisa mengindikasikan era dan corak candi
sehingga memungkinkan untuk dilakukannya identifikasi. Apalagi bila ditemukan
patung atau elemen lainnya yang menjadi bagian dari pemujaan seperti di Candi
Pandegong, maka akan memudahkan pengidentifikasian.
Semacam pecahan candi atau benda arkeologis lain |
Ada dua
sumur jobong yang dindingnya juga terbuat dari batu bata kuno yang bisa jadi
keduanya merupakan bagian dari kelengkapan candi. Memang, sebelum memasuki
candi maupun ketika akan melakukan prosesi, biasanya peribadatan didahului
dengan menyucikan diri dengan air. Sangat mungkin kedua sumur ini merupakan
tempat untuk mengambil air dalam prosesi pemujaan.
Lihat, ada gayungnya : Masih dipakai hingga sekarang |
Dikatakan
oleh juru kunci, memang kedua sumur ini tak pernah kering. Bisa jadi pula, air dari
kedua sumur inilah yang dikucurkan ke lingga yoni yang ada di lokasi untuk
prosesi. Miriplah dengan umat islam yang harus mengambil wudhu terlebih dahulu
sebelum sholat. Peribadatan di bangunan suci pun harus membasuh wajah dan
beberapa bagian tubuh terlebih dahulu sebelum dilakukannya prosesi pemujaan.
Sayangnya,
upaya ekskavasi harus terhambat karena adanya bahan limbah beracun berupa timbal
yang memenuhi lokasi. Beberapa tahun belakangan, Jombang memang dibanjiri
limbah beracun dari pabrik yang tak mampu menghasilkan limbah yang aman bagi
lingkungan. Ironisnya, limbah ini pun didapat dari restu perangkat desa terkait
murni karena ketidaktahuan mengenai bahaya yang terkandung di dalamnya.
Ada pihak
yang menawari secara gratis, tanpa menginformasikan bahwa isi glangsing berupa
serbuk abu kehitaman itu adalah limbah yang sangat berbahaya. Pihak desa
merestui areanya dijadikan lokasi diletakkannya limbah beracun itu karena
didapat secara gratis dari pabrik pembuangnya. Daripada membeli bersak-sak
tanah yang mahal dan susah keras, glangsingan limbah gratis yang sepertinya
kokoh itu agaknya cukup menggiurkan untuk dijadikan pengokoh jalan masuk dan
pinggiran punden.
Selain di
kompleks Makam Sentono, limbah beracun itu juga bertebaran di seluruh penjuru
desa dan Kota Santri. Tak hanya di Jogoroto, tapi juga di kecamatan lain seperti
Sumobito, Kesamben, bahkan Wonosalam. Kebanyakan glangsingan limbah ini
difungsikan sebagai plengsengan sungai, penahan tanah, maupun pematang sawah.
Ada pula yang bahkan menggunakannya untuk mengurug jalan ke sawah, bendungan
saluran air, menambal jalan yang rusak, pondasi warung bahkan ada pula yang
menggunakannya sebagai pengganti tanah untuk mengurug halaman rumah.
Tampaknya
celah jalan rusak dan kelalaian pemerintah untuk segera membangun plengsengan
sungai menjadi kesempatan para pembuang limbah beracun ini untuk mendapatkan
lokasi pembuangan yang tepat. Jalan desa yang diurug limbah dirasa jadi lebih
enak, tanggul sungai pun dianggap jadi lebih kuat setelah diberi limbah
tersebut.
Limbah abu
aluminium disukai bahkan untuk bahan pondasi situs purbakala karena mudah
keras, sungguh ironis. Meski disukai penduduk setempat, glangsing limbah
beracun itu kemudian baru terasa mengeluarkan hawa panas yang menyesakkan dada
bahkan membuat mata perih berair.
Glangsingan limbah beracun |
Setelah
rutin menjadi lokasi pembuangan limbah, akhirnya baru diketahui bahwa efek
pencemarannya tak hanya mempengaruhi kesuburan tanah dan lingkungan tapi juga
meracuni kesehatan makhluk hidup. Jelas, tumpukan limbah itu juga bisa
mencemari kelestarian sawah dan kondisi tanah. Bangunan punden yang terpendam
di dalamnya yang diurug dengan glangsingan timbal pun bisa rusak karena efek
berbahaya dari limbah beracun tersebut.
Limbah
bekas pembakaran aluminium itu sangat berbahaya karena punya kandungan logam
berat di dalamnya. Peleburan dross aluminium itu menggunakan bahan berupa flux
garam KCl dan NaCl, sedangkan pencuciannya menggunakan larutan asal sulfat
kemudian asam ammonia. Dari situ dihasilkanlah limbah asalum yang sangat
berpotensi mencemari udara, tanah, air di permukaan bahkan air tanah.
Dari hasil
penelitian dan pengamatan oleh ECOTON, limbah beracun dari abu aluminium itu
baru akan hilang efeknya setelah sepuluh tahun. Ekskavasi pun tidak bisa
dipaksakan dilakukan sekarang, karena mempertimbakan keselamatan petugas. Misalnya
dipaksa untuk rehabilitasi, pastinya diperlukan dana yang tidak sedikit untuk
pengangkatannya. Estimasi biaya minimal untuk clearing limbah sekitar 10M yang
didapat dari penelitian sampel limbah di Kesamben. Biaya restorasi candi pun biasanya
tak sampai setengahnya angka tersebut. Apa daya, tak ada yang bisa dilakukan
selain menunggu masanya berakhirnya efek racun limbah.
Belum selesai
masalah limbah, lokasi ini pun menjadi ramai kembali bukan karena kegiatan
ekskavasi tapi adanya peristiwa memilukan berupa pembunuhan pemuda bermotif
ekonomi. Korban ditemukan bersimbah darah di kompleks makam keramat. Kondisi
makam keramat yang sepi, mungkin cocok untuk berteduh sehingga memungkinkan
pelaku menjalankan aksinya. Makam keramat jadi makin angker rasanya karena
peristiwa ini.
Istilah
Makam Sentono agaknya cukup menimbulkan kerancuan dengan nama kompleks makam yang
punya sebutan yang sama. Di sebelah Makam Troloyo Trowulan, terdapat Kompleks
Makam Sentonorejo yang juga sarat sejarah dan menjadi pesarean Ratu Kencono
Wungu dan Dewi Anjasmoro. Sedangkan di Sukodono, Jepara juga terdapat Makam
Sentono yang juga dihormati penduduk karena serta berdampingan dengan makam
nasrani.
Bahkan
bila ditelusuri di gmaps, maka setiap kota bahkan punya makam sentono yang
kebanyakan punya nilai sejarah tersendiri. Ada Sentono Dowo dan Sentono nDalem
Tawangsari di Blitar, Sentono Sedah di Lamongan, Sentono Kragas di Tulungagung,
Sentono Krapyak di Sidoarjo, Sentono Kaliboto di Kediri, Sentono Rutan
Ambarsari di Mojokerto, Sentono Kunir di Lumajang dan masih banyak lagi.
Supaya tak
menimbulkan kerancuan, Jombang City Guide kemudian lebih suka menyebutnya
dengan Makam Sentono Punden Mbah Blawu sehingga punya ciri-ciri tersendiri yang
memang merujuk pada lokasi yang ada di Jombang. Candi Blawu menjadi sebutan
yang merujuk pada punden dimana terpendamnya candi yang masih menanti untuk
diungkap misterinya ini.
Sebutan Blawu
sendiri merupakan nama sesepuh desa yang dulunya membabat alas daerah setempat.
Penduduk mempercayai beliaulah yang pertama kali membuka lahan dan menjadikan
desa yang mereka tempati kini. Sayangnya tak ada kisah tertentu mengenai sosok
Sang Pembabat Alas ini.
Blawu
dalam Bahasa Jawa diartikan sebagai sesuatu yang diwarnai atau terwarnai.
Sedangkan daerah lain malah menyebutkan Blawu sebagai salah satu hantu yang
mendiami rumah kosong dan tubuhnya kotor karena ternoda sesuatu. Kawasan Sukosari
yang menjadi lokasi dimana Mbah Blawu dimakamkan malah tak mengenal arti tertentu
mengenai nama Sang Sesepuh.
Tak
ditemukan catatan maupun petunjuk lain apapun yang merujuk tentang Candi Blawu
ini. Identifikasi hanya didapat dari ukuran batu bata yang disimpulkan oleh
Asmara Garudhara sebagai peninggalan Kerajaan Medang. Tak menutup kemungkinan
masih digunakan di era selanjutnya sampai masa Majapahit.
Bila dilihat
dari lokasinya yang tak jauh dari Candi Pandegong, sepertinya bisa dikatakan
keduanya punya keterhubungan. Sayangnya, keterkaitan itu belum diketahui
sehingga belum bisa didapat kesimpulan apapun mengenai bangunan ini. Atau mungkin ada keterkaitan pula dengan Kedaton, Sugihwaras, bahkan Sumberbeji???
Berada
di lahan desa sebagai makam keramat, Pemerintah Kabupaten Jombang dari dinas
terkait sudah menetapkan kompleks makam Mbah Blawu sebagai bangunan cagar
budaya dan menunjuk juru pelihara Candi Pandegong sebagai perawatnya.
Sayangnya, banner penanda lokasi bahwa kompleks Candi Blawu sudah dilindungi
undang-undang sudah hilang terbawa angin, dan menyisakan papan penanda
dilarang menembak dan berburu satwa.
|
Selain
itu, guru-guru sejarah di Jombang dan seluruh nusantara hendaknya memotivasi
para siswanya untuk menghargai peninggalan sejarah bangsanya, supaya bila
ditemukan lagi situs bersejarah yang menjadi cikal bakal perjalanan bangsa ini,
benda kuno tersebut bisa diselamatkan dengan sebaik-baiknya. Sehingga niat
menjual benda cagar budaya seperti yang dilakukan oknum-oknum tak bertanggung
jawab tidak lagi terjadi karena sudah adanya kesadaran tinggi atas nilai-nilai
sejarah bangsa ini.
Diurug kembali |
Keseriusan
pemerintah untuk menjaga dan melestarikan benda cagar budaya ini sangat
dinantikan karena merupakan kewenangan pemerintah daerah sesuai UU nomor 11
Tahun 2010. Terutama setelah periode efek berbahaya limbahnya habis.
Kini kondisi candi diurug kembali supaya strukturnya tidak rusak sembari menanti efek timbalnya hilang. Sebenarnya
pihak BPCB bersedia melakukan ekskavasi karena menilai temuan di Punden Mbah Blawu
sangat menarik, asal pemerintah mau mengangkat limbah timbal berbahaya tersebut.
Jadi gimana, mau keluar 10M atau mau nunggu 10 tahun???
Candi Blawu
Kompleks Makam Sentono – Punden Mbah Blawu
Dusun Seumbersari, Desa Sukosari,
Kecamatan Jogoroto, Kabupaten Jombang
Makasih Mas Asmara Garudhara yang sudah menemani kunjungan ke Candi Blawu |
Btw, Apriliya Oktavianti dari situsbudaya.id monggo kopas-kopas sepuas-puasnya ya. Nanti silakan pura-pura lupa cantumkan sumber seperti biasanya, 'kan ya??? Haseeek, hasek hasek haseeeekkk!!!
Mantap om...saya suka analisisnya..ada runtutan sejarah,kritik sejarah, dan yang penting adalah kritik limbah pabrik yh dibuang dekat makam serta kritik atas guru sejarah agar peka sejarah lokal...semoga sukses dalam menawarkan warna budaya lokal...
BalasHapusMinta tolong dikupas perbedaannya dengan mbah sentono lainnya om..
Trims
Salam budaya
Memang situs yg layak diperhatikan serius.
BalasHapus